Selamatan Kematian menurut Islam

[Maktabah Thibbul Qulub]
Selamatan Kematian menurut Islam
Kajian Literatur terhadap Selamatan Kematian
Oleh dr. M Faiq Sulaifi
4 Dzulqa’dah 1438 H

 

 

 


 

Daftar Isi

Daftar Isi 1

Mukaddimah. 3

Definisi Selamatan Kematian. 5

Hadits Larangan Selamatan Kematian. 7

Makna Hadits Larangan Selamatan Kematian. 9

Wasilah menuju Ma’tam.. 10

Pelarangan Secara Bertahap. 11

Atsar as-Salaf terhadap Selamatan Kematian. 13

Kesepakatan Para Ulama. 14

Tradisi Kaum Yahudi 16

Bid’ah Kaum Syiah Rafidhah. 17

Upaya Umar bin Abdul Aziz. 18

Penukilan dari Ulama Hanafiyah. 19

Penukilan dari Ulama Malikiyah. 21

Penukilan dari Ulama’ Syafi’iyah dan Biaya Selamatan. 23

Penukilan dari Ulama Hanabilah dan Rukhsah. 27

Dianjurkan Membuat ‘Atirah’ 29

Acara Aqr. 32

Open House untuk Takziyah. 33

Salah Tulis dan Salah Cetak. 37

Ratsa’ Mubah dan Ratsa’ Jahiliyah. 40

Membaca al-Quran pada Acara Ma’tam.. 43

Berhujah dengan Atsar al-Imam Thawus. 45

Berhujah dengan Atsar Ubaid bin Umair. 47

Sikap as-Suyuthi 50

Bersedekah untuk Mayit. 54

Wanita Bertakziyah. 59

Hindarilah Pendapat yang Menyendiri 61

Jawaban Mufti Makkah. 66

Terus-Menerus Terjadi 69

Khotimah. 70

 

 

 

Mukaddimah

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا ، من يهده الله فلا مضل له ، ومن يضلل فلا هادي له ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله

Amma ba’du:

Agama Islam tidak mengenal perpaduan budaya baik perpaduan Islam dengan ajaran Jahiliyah, perpaduan Islam dengan ajaran Yahudi atau Islam dengan ajaran kejawen. Allah ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208).

Ayat di atas turun berkenaan dengan sebagian Ahlul Kitab yang masuk Islam kemudian meminta ijin agar tetap bisa mengagungkan hari Sabtu dan tetap bisa membaca Taurat ketika shalat malam. Kemudian turunlah ayat ini. (Fathul Qadir lisy Syaukani: 1/322, Tafsir al-Baghawi: 1/240 dan Tafsir Ibnu Katsir: 1/565).

Maka ketika seseorang telah masuk Islam, ia harus meninggalkan ajaran Yahudi, ajaran Jahiliyah dan lainnya yang ia anut sebelum masuk Islam.

Di antara ajaran Jahiliyah yang dihapus oleh Islam adalah tradisi selamatan kematian yang merupakan acara ikutan dari kegiatan meratapi mayit.

Anehnya di masa akhir-akhir ini muncul sebagian kaum muslimin yang membolehkan acara selamatan kematian untuk mayit selama tujuh hari dengan alasan riwayat dari Thawus bin Kaisan al-Yamani (ulama tabi’in wafat tahun 106 H) rahimahullah yang membolehkannya. Beliau berkata:

إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

“Sesungguhnya orang-orang mati itu mendapatkan fitnah (pertanyaan Munkar dan Nakir) di kubur mereka selama 7 hari. Mereka senang memberikan makan atas nama mereka (orang-orang mati) pada hari-hari tersebut.”

Atsar seperti ini disebarkan oleh mereka yang mendukung acara ini di dalam kajian-kajian mereka dan di dalam ‘Bahtsul Masail’ mereka. Seolah-olah para ulama kita sejak berabad-abad yang lalu tidak mengetahui atsar ini kemudian mereka menemukannya untuk digunakan sebagai dalil tentang bolehnya selamatan kematian. Dan karena begitu banyaknya pendukung selamatan kematian maka terkesan seolah-olah selamatan kematian itu adalah sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam dan orang yang tidak mengadakannya apalagi mengingkarinya akan dianggap asing.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam mulai dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing. Maka berbahagialah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim: 389, at-Tirmidzi: 2629 dan Ibnu Majah: 3986).

Mereka juga mempersempit arti kata ‘Niyahah’ (meratap mayit) dalam bahasa Arab dengan arti menangis dan meraung-raung saja. Padahal arti ‘niyahah’ mencakup berkumpul di dalam suatu majelis untuk bersedih atas kematian. Al-Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi (pakar bahasa Arab, guru al-Imam Sibawaih, wafat tahun 173 H) rahimahullah berkata:

النَّوْحُ مصدر ناح يَنوحُ نَوْحاً ويقال نائحة ذات نياحة ونوّاحة ذات مناحة والمناحة أيضاً الاسم ويجمع على المناحات والمناوح والنَّوائح اسم يقع على النِّساء يَجْتمِعْنَ في مَناحة ويجمع على هذا المعنى على الأَنْواح

“An-Nauh (meratap), masdar dari Naaha-Yanuuhu-Nauhan. Disebut Na’ihah bagi wanita yang meratap dan Nawwahah bagi wanita yang mempunyai majelis meratap kesedihan. Manahah adalah majelis niyahah. Nawa’ih adalah wanita yang berkumpul di tempat meratap dan bentuk jamaknya adalah ‘Anwah’.” (Kitabul Ain: 3/304).

Pada tulisan ini, akan dibahas selamatan kematian dan seluk beluknya. Tidak lupa Penulis juga menukil pendapat ulama Syafi’iyah dan madzhab yang lainnya dalam permasalahan ini karena mayoritas kaum muslimin Indonesia mengamalkan fikih Syafi’iyah. Kemudian Penulis menjelaskan atsar al-Imam Thawus rahimahullah, atsar Ubaid bin Umair rahimahullah, sikap as-Suyuthi rahimahullah serta perbuatan penduduk Madinah yang dijadikan sandaran oleh mereka yang menasionalisasi kegiatan tahlilan atau selamatan kematian 7 hari.

Untuk membaca tulisan ini, dibutuhkan sikap terbuka dan membebaskan diri dari fanatisme atau ta’ashub madzhab atau hizbiyah serta memohon petunjuk kepada Allah Azza wa Jalla. Watsilah bin al-Asqa’ radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْعَصَبِيَّةُ قَالَ « أَنْ تُعِينَ قَوْمَكَ عَلَى الظُّلْمِ ».

“Wahai Rasulullah! Apakah fanatisme (ta’ashub) itu?” Beliau menjawab: “Kamu membantu kaummu di atas kezaliman.” (HR. Abu Dawud: 5121 dan al-Baihaqi dalam al-Kubra: 21606 (10/234). Di-hasankan oleh Syu’aib al-Arnauth dalam tahqiq Sunan Abu Dawud: 5119 (7/44)). Sehingga kita dilarang membela suatu pendapat yang jelas-jelas salah, hanya karena itu merupakan pendapat guru kita atau kelompok kita.

Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak. Segala kebaikan adalah dari Allah ta’ala dan segala kekurangan adalah dari diri Penulis. Semoga tulisan ini bisa menambah ilmu dan ditulis sebagai amal shalih bagi Penulis. Amien.

Lamongan, 4 Dzulqa’dah 1438 H

Dr. M Faiq Sulaifi

Definisi Selamatan Kematian

Acara selamatan kematian dalam bahasa Arab disebut ‘ma’tam’ dan ‘wadhimah’. Acara berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit disebut dengan ‘ma’tam’. Sedangkan jamuan makanan pada acara itu disebut ‘wadhimah’.

Al-Imam Mufadh-dhal bin Salamah (wafat 290 H) rahimahullah berkata:

أصل المأتم: مجتمع النساء والرجال على كل حزنٍ أو فرحٍ. ثم كثر حتى صيروه في الموت خاصة

Ma’tam secara asal adalah tempat berkumpulnya laki-laki dan perempuan pada acara bergembira (tasyakuran, pen) atau acara duka (kematian, pen). Kemudian kata ini banyak dipakai sehingga dikhususkan pada acara kematian saja.” (Al-Fakhir lil Mufadh-hlal bin Salamah: 75).

Al-Allamah Syamsuddin al-Haththab ar-Ru’aini al-Maliki (wafat tahun 954 H) rahimahullah juga menjelaskan:

اجتماع الناس في الموت يسمى المأتم بهمزة ساكنة ثم مثناة فوقانية

“Acara berkumpulnya manusia pada kematian disebut dengan ‘ma’tam’.” (Mawahibul Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil: 3/57).

Adapun jamuan acara ‘ma’tam, maka disebut dengan jamuan ‘wadhimah’. Al-Allamah Abu Nashr al-Jauhari (wafat tahun 393 H) rahimahullah mengutip ucapan al-Farra’:

الوَضيمَةُ طعام المأتم

Wadhimah’ adalah jamuan makan pada acara ‘ma’tam’.” (Ash-Shihhah Tajul Lughah wa Shihhahul Arabiyah: 2/284).

Waktu acara ma’tam tidak terbatas pada hari kematian saja. Tetapi bisa saja dilakukan beberapa hari setelah kematian seperti 7 hari, 40 hari dan bahkan setahun kematian. Di dalam syair Arab yang diucapkan oleh Zaid al-Khail ath-Tha’i radliyallahu anhu di masa jahiliyah:

أفي كل عام مأتم تجمعونه …الخ

“Apakah dalam setiap tahun terdapat acara ma’tam yang kalian himpun… dst.” (Al-Amali fi Lughatil Arab: 3/25, Khazanatul Adab: 9/499).

Acara ‘ma’tam’ dan ‘wadhimah’ ini termasuk golongan acara walimah atau pesta jamuan makan. Orang-orang arab jaman dahulu merayakan acara ini seperti merayakan pernikahan, kelahiran bayi, khitanan dan sebagainya.

Al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy- Syafi’i (wafat 974 H) rahimahullah berkata:

وَالْوَلِيمَةُ طَعَامُ الْعُرْسِ أَوْ كُلُّ طَعَامٍ صُنِعَ لِدَعْوَةٍ وَغَيْرِهَا .ثُمَّ رَأَيْت شَيْخَنَا اعْتَمَدَ فِي شَرْحِ الرَّوْضِ مُخَالِفًا لِشَرْحِ الْبَهْجَةِ أَنَّ الْوَضِيمَةَ مِنْ الْوَلَائِمِ وَأَنَّ التَّعْبِيرَ بِالسُّرُورِ لِلْغَالِبِ

“Walimah adalah jamuan untuk pernikahan atau semua jamuan yang dibuat untuk undangan atau selainnya. Kemudian aku melihat Syaikh kami berpegang dalam Syarh ar-Raudh (yakni Raudhatuth Thalibin, pen) dengan menyelisihi Syarh al-Bahjah (yakni al-Bahjah al-Wardiyah, pen) bahwa acara ‘wadhimah’ adalah termasuk golongan walimah dan bahwa mengungkapkan dengan rasa gembira (pada batasan walimah, pen) adalah untuk keumuman saja.” (Tuhfatul Muhtaj li Syarhil Minhaj: 31/373). Ini karena acara ‘ma’tam’ dan ‘wadhimah’ adalah untuk duka cita bukan rasa gembira.

Acara ma’tam bisa berisi tangisan atau bahkan tidak ada tangisan sama sekali. Bahkan bisa berisi nyanyian dan ‘ar-ratsa’, yaitu pujian tentang kebaikan-kebaikan mayit.

Dr. Jawwad Ali berkata:

وكلمة “الرثاء” من الكلمات الجاهلية وهي تعني بكاء الميت وتعديد محاسنه، ونظم الشعر فيه

“Kata ‘ar-ratsa’ adalah termasuk kata-kata jahiliyah, yang berarti menangisi mayit, menyebut-sebut kebaikannya dan melantunkan syair untuknya.” (Al-Mufash-shal fi Tarikhil Arab qablal Islam: 9/153).

Orang-orang terpandang di kalangan jahiliyah Arab seringkali menyewa wanita pelantun syair, dan peratap untuk digunakan pada acara ma’tam-ma’tam mereka. (Al-Mufash-shal fi Tarikhil Arab qablal Islam: 9/152).

Akan tetapi isi acara ‘ma’tam’ berubah setelah berakhirnya generasi as-Salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, pen) dan sejak munculnya berbagai tarekat sufiyah. Acara tersebut tidak lagi berisi ratapan, ‘ar-ratsa’ dan nyanyian, tetapi berisi pembacaan ayat-ayat al-Quran dan dzikir-dzikir tertentu, sebagaimana yang kita kenal sekarang dengan acara tahlilan.

Al-Allamah Muhammad bin Thulun ash-Shalihi al-Hanafi (wafat tahun 953 H) rahimahullah berkata:

وهذه القضية يقع فيها كثير من فقراء الزوايا، ومجاوري الترب والمدارس ونحوهم، فإن كثيراً من الناس يأتي إليهم فيتبرك بهم ويدعوهم إلى منزله ليقرأوا للميت ختماً… فمنهم من يذكر في دعائه ما يهيج أهل الميت على البكاء، ومنهم من يحسن صوته ويرفعه بلا خشوع ولا خضوع، ومنهم من يظهر الصلاح في هيئته ونطقه، ثم يقول في دعائه وإهدائه: وأجعل اللهم ثواب هذه الختمة المعظمة المبجلة المشرفة الميمونة إلى صحائف سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم…الخ

“Pada permasalahan ini (yakni: acara ma’tam, pen), banyak kaum fakir zawiyah (pondok kaum sufi, pen), penghuni sekitar pekuburan dan madrasah yang terjatuh ke dalamnya. Banyak manusia mendatangi mereka kemudian ngalap berkah dan meminta mereka untuk datang ke rumahnya dalam rangka membacakan al-Quran atas mayit… Di antara mereka terdapat orang yang menyatakan di dalam doanya sesuatu yang menyebabkan tangisan keluarga mayit. Di antara mereka ada yang mengeraskan dan meninggikan suara bacaannya tanpa rasa khusyuk. Di antara mereka ada yang menampakkan kesalihan dalam sikap dan ucapannya kemudian ia mengirimkan hadiah bacaan dengan berkata: “Ya Allah! Jadikanlah pahala khataman yang agung ini kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam…dst.” (Fash-shul Khawatim fi Ma Qila fil Wala’im: 6). Wallahu a’lam.

Hadits Larangan Selamatan Kematian

Acara ‘ma’tam’ dan jamuan ‘wadhimah’ menjadi acara yang dilarang setelah kedatangan Islam karena dikategorikan sebagai perbuatan niyahah (meratap kematian mayit, pen) dan amalan jahiliyah.

Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata:

كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ

“Kami (para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, pen) menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat pesta makan termasuk perbuatan meratap mayit (yang tercela, pen).”  (HR. Ibnu Majah: 1601 dan ath-Thabrani dalam al-Kabir: 2280 (2/307). Al-Kinani dalam Mishbahuz Zujajah (2/53) men-shahih-kan isnadnya. Demikian pula al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (4/67). Al-Albani juga men-shahih-kan hadits ini dalam Shahih Sunan Ibni Majah: 1308).

Dalam redaksi lain Jarir berkata:

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ

“Kami (para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, pen) menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat pesta makan setelah dimakamkannya mayit, sebagai perbuatan meratap mayit (yang tercela, pen).” (HR. Ahmad: 6905. Isnadnya di-shahih-kan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’: 5/320, asy-Syaukani dalam ad-Darari al-Mudhiyyah: 1/148 dan al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi: 4/67).

Dalam redaksi lain Jarir berkata:

كانوا يرون أن اجتماع أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة

“Mereka (para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, pen) menganggap bahwa berkumpulnya keluarga mayit dan membuat hidangan makanan termasuk perbuatan meratap mayit.” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Kabir: 2279 (2/307)).

Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu juga berkata:

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الميت بعد ما يدفن من النياحة.

“Kami (para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, pen) menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit setelah dikuburkannya, sebagai perbuatan meratap mayit (yang tercela, pen).” (HR. Aslam dalam Tarikh Wasith hal: 126. Isnadnya shahih, hanya saja Sayyar bin al-Hakam tidak pernah bertemu dengan Umar).

Al-Imam Thalhah bin Musharrif (ulama tabi’in Kufah, wafat tahun 112 H) rahimahullah bercerita:

قَدِمَ جَرِيرٌ عَلَى عُمَرَ، فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ قِبَلَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ؟ قَالَ: لاَ قَالَ فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَيُطْعَمُ الطَّعَامُ، قَالَ نَعَمْ، فَقَالَ: تِلْكَ النِّيَاحَةُ

“Jarir datang (dari Kufah) kepada Umar bin al-Khaththab. Umar bertanya: “Apakah mayit diratapi di sisi kalian?” Jarir menjawab: “Tidak.” Umar bertanya: “Apakah para wanita berkumpul di sisi kalian pada mayit dan memberikan makanan?” Ia menjawab: “Iya.” Maka Umar berkata: “Itulah yang disebut meratapi mayit.” (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 11467 (3/291). Isnadnya shahih, hanya saja Thalhah bin Musharrif tidak bertemu Jarir).

Beberapa jalan riwayat di atas saling memperkuat sehingga minimal hadits ‘larangan selamatan kematian’ kalau tidak shahih maka hasan. Wallahu a’lam.

Makna Hadits Larangan Selamatan Kematian

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa selamatan kematian atau ‘ma’tam’ termasuk perbuatan meratapi mayit, meskipun tidak ada tangisan. Dan perkara tersebut termasuk larangan syariat. Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa larangan acara ‘ma’tam’ itu merupakan:

Pertama: ‘Ijma’ (kesepakatan) para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan

Kedua: sunnah taqririyah Rasulullah shallallahu alahi wasallam.

Al-Allamah Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi as-Sindi al-Hanafi (wafat tahun 1138 H) berkata:

قَوْله ( كُنَّا نَرَى ) هَذَا بِمَنْزِلَةِ رِوَايَة إِجْمَاع الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ أَوْ تَقْرِير النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى الثَّانِي فَحِكْمَة الرَّفْع عَلَى التَّقْدِيرَيْنِ فَهُوَ حُجَّة

“Ucapan beliau “kami menganggap” ini menduduki riwayat ijma’ sahabat radliyallahu anhum atau taqrir (pengakuan) Nabi shallallahu alaihi wasallam. Jika dipahami yang kedua maka hadits ini dihukumi  marfu’. Atas kedua pemahaman ini, riwayat ini menjadi hujjah.” (Hasyiyah as-Sindi ala Sunan Ibni Majah: 3/385).

Demikianlah pengakuan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan kesepakatan (ijma’) Sahabat bahwa mengadakan acara selamatan kematian (baik ‘ma’tam’ ataupun ‘wadhimah’) di rumah mayit adalah termasuk meratapi mayit.

Jika acara ma’tam telah dihapus, maka sebagai konsekuensinya jamuan ‘wadhimah’ juga ikut dilarang. Al-Allamah Kamaluddin Abul Baqa’ ad-Damiri asy-Syafi’i (wafat tahun 808 H) rahimahullah berkata:

ويكره الأكل من طعام المأتم.

“Dan dibenci (makruh) memakan dari hidangan ‘ma’tam’ (selamatan kematian).” (An-Najmul Wahhaj fi Syarhil Minhaj: 3/88).

Begitu pula al-Allamah Abdurrahman al-Ba’li al-Hanbali (wafat 1192 H) rahimahullah. Beliau  berkata:

و(تسن) الإجابة لكل دعوة مباحة غير مأتم فتكره

“Dan dianjurkan mendatangi segala undangan jamuan yang mubah (seperti wakirah, naqi’ah, i’dzar dsb, pen) kecuali undangan jamuan ma’tam (yaitu wadhimah, pen), maka dibenci.” (Kasyful Mukhaddarat: 2/616).

Bahkan al-Allamah Abul Ala Muhammad al-Mubarakfuri (wafat tahun 1352 H) rahimahullah berkata:

والوضيمة من هذه الأنواع الثمانية ليست بجائرة بل هي حرام

“Acara ‘wadhimah’ di antara kedelapan acara jamuan ini adalah tidak boleh bahkan haram.” (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi: 4/183).

Maksud al-Mubarakfuri dengan delapan (8) acara jamuan adalah jamuan makan yang dikenal di kalangan bangsa Arab ketika jahiliyah. Seperti jamuan walimah untuk pernikahan, jamuan ‘khurs’ untuk kelahiran bayi, jamuan i’dzar untuk khitanan, naqi’ah untuk pulang safar, wakirah untuk menempati rumah baru, wadlimah untuk kematian dan sebagainya. Di antara macam acara jamuan tadi, jamuan wadhimah telah dilarang oleh Islam.

Wasilah menuju Ma’tam

Ketika agama Islam menghapus acara ‘ma’tam’ dan  jamuan ‘wadhimah’, maka Islam juga melarang tradisi “is’ad”. Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ عَلَى النِّسَاءِ حِينَ بَايَعَهُنَّ أَنْ لَا يَنُحْنَ فَقُلْنَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ نِسَاءً أَسْعَدْنَنَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَفَنُسْعِدُهُنَّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا إِسْعَادَ فِي الْإِسْلَامِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengambil perjanjian atas para wanita ketika membai’at mereka untuk tidak melakukan niyahah (meratapi mayit, pen). Maka mereka bertanya: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya para wanita meminta kami melakukan ‘is’ad’ di masa jahiliyah. Maka bolehkah kami memenuhi ‘is’ad’ mereka?” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Tidak ada (tradisi) ‘is’ad di dalam Islam.” (HR. An-Nasai: 1829, Ahmad: 12559, al-Baihaqi dalam al-Kubra: 7359 (4/62), Ibnu Hibban dalam Shahihnya: 3146 (7/415-6). Isnadnya di-shahih-kan oleh al-Bushiri dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah: 3236 (4/102). Al-Albani juga men-shahih-kan hadits ini dalam Shahih wa Dhaif Sunan an-Nasai: 1852).

Al-Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi (wafat 388 H) rahimahullah berkata:

قوله (لا إسعاد) من إسعاد النساء في المناحات وهو أن تقوم المرأة في المأتم فتقوم معها أخرى فيقال قد أسعدتها وهي مسعدة

“Sabda beliau “Tidak ada ‘is’ad di dalam Islam.” diambil dari kata is’adnya (bantuan) wanita di dalam pertemuan niyahah. Maknanya adalah jika seorang wanita menghadiri acara ‘ma’tam’ kemudian wanita lain ikut hadir bersamanya, maka dikatakan kepada wanita tersebut bahwa dia telah melakukan ‘is’ad’.” (Gharibul Hadits lil Khaththabi: 1/368).

Mungkin tradisi is’ad bisa diartikan dengan perbuatan saling membantu dan saling mengundang pada acara ma’tam (selamatan kematian). Alasan pengharamannya adalah karena tradisi ini merupakan ta’awun (tolong-menolong) untuk meramaikan acara ma’tam’.

Pelarangan Secara Bertahap

Di dalam menghapuskan tradisi jahiliyah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menempuh pelarangan yang bertahap. Di antara contohnya adalah pelarangan khamer, riba dan tradisi is’ad.

Pada awal Islam, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan rukhsah tentang tradisi ‘is’ad pada acara ma’tam. Ummu Athiyah radhiyallahu anha berkata:

بَايَعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخَذَ عَلَيْنَا فِيمَا أَخَذَ أَنْ لَا نَنُوحَ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ إِنَّ آلَ فُلَانٍ أَسْعَدُونِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَفِيهِمْ مَأْتَمٌ فَلَا أُبَايِعُكَ حَتَّى أُسْعِدَهُمْ كَمَا أَسْعَدُونِي فَقَالَ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَافَقَهَا عَلَى ذَلِكَ فَذَهَبَتْ فَأَسْعَدَتْهُمْ ثُمَّ رَجَعَتْ فَبَايَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَقَالَتْ أُمُّ عَطِيَّةَ فَمَا وَفَتْ امْرَأَةٌ مِنَّا غَيْرُ تِلْكَ وَغَيْرُ أُمِّ سُلَيْمٍ بِنْتِ مِلْحَانَ

“Kami membai’at Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau mengambil perjanjian atas kami, di antaranya agar kami tidak melakukan niyahah (meratapi mayit, pen). Maka seorang wanita dari Anshar berkata: “Sesungguhnya keluarga Fulan memintaku untuk melakukan ‘is’ad di masa jahiliyah. Dan di kalangan mereka diadakan acara ‘ma’tam’. Dan aku tidak akan berbai’at kepadamu sebelum aku memenuhi permintaan is’ad mereka sebagaimana mereka melakukan is’ad untukku.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyetujuinya. Maka wanita itu pun pergi untuk melakukan ‘is’ad. Setelah itu ia kembali dan berbai’at kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Ummu Athiyah berkata: “Tidak ada wanita dari kami yang bisa memenuhi baiat beliau selain wanita itu dan Ummu Sulaim bintu Milhan.” (HR. Ahmad: 26044. Syuaib al-Arnauth men-shahih-kan isnadnya dalam Ta’liq Musnad Ahmad, hadits: 27348).

Untuk mengkompromikan hadits Anas di atas yang melarang is’ad dan hadits Ummu Athiyah yang memberikan keringanan atasnya, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat tahun 852 H) rahimahullah berkata:

وظهر من هذا كله أن أقرب الأجوبة أنها كانت مباحة ثم كرهت كراهة تنزيه ثم تحريم والله أعلم

“Dan jelaslah dari ini semua bahwa jawaban yang paling mendekati (kebenaran) adalah bahwa acara tersebut (niyahah) awalnya adalah mubah, kemudian dimakruhkan dengan makruh tanzih kemudian diharamkan. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari: 8/639).

Faedah hadits Ummu Athiyah:

Pertama: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mengingkari ucapan wanita Anshar tersebut bahwa acara ‘ma’tam’ dan tradisi is’ad termasuk tradisi jahiliyah. Beliau menghapuskan tradisi ini secara bertahap sebagaimana penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar di atas. Pengharaman secara total terhadap tradisi ini dan tradisi jahiliyah lainnya terjadi pada haji wada’. Beliau bersabda:

أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوعٌ

“Ingatlah! Segala sesuatu dari perkara jahiliyah adalah dibatalkan di bawah kedua telapak kakiku.” (HR. Muslim: 2137, at-Tirmidzi: 3012, Abu Dawud: 1628, Ibnu Majah: 3046 dari Jabir radliyallahu anhu).

Kedua: wanita Anshar tersebut memahami bahwa acara ma’tam dan tradisi is’ad dimasukkan ke dalam perbuatan niyahah (meratapi mayit) –meskipun tidak ada tangisan di dalamnya- yang menjadi point yang dijauhi dalam pembai’atan para wanita tersebut. Ini memperkuat hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali radliyallahu anhu yang menganggap berkumpul di rumah mayit (ma’tam, pen) dan jamuan makan (wadlimah, pen) termasuk meratapi mayit sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

Ketiga: hadits ini juga mengandung larangan bagi keluarga mayit untuk mengundang orang lain agar menghadiri acara ma’tamnya, dan juga mengandung larangan memenuhi undangan acara ini. Ini karena di dalamnya terkandung tolong-menolong di dalam dosa dan kesesatan.

Keempat: rukhsah yang diberikan oleh beliau kepada wanita Anshar tersebut adalah sebagai bentuk ta’liful qulub (menjinakkan hati) dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar ia mau berbaiat dan menerima Islam.

Atsar as-Salaf terhadap Selamatan Kematian

Di masa as-Salaf, acara ‘ma’tam’ dan jamuan ‘wadhimah’ merupakan acara yang diingkari.

Al-Imam Sa’id bin Jubair (ulama tabi’in wafat tahun 95 H) rahimahullah berkata:

ثلاث من عمل الجاهلية النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة عند أهل الميت ليست منهم

“Ada 3 perkara yang termasuk amalan jahiliyah: meratapi mayit, jamuan makan di rumah mayit, dan menginapnya wanita yang bukan keluarga mayit di rumah mayit.” (Atsar riwayat Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 6664 (3/550), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 11465 (3/290). Di dalam isnad Abdur Razzaq terdapat Laits bin Abi Sulaim yang lemah. Akan tetapi ia mendapatkan mutaba’ah dari Abdul Karim bin Malik dalam isnad Ibnu Abi Syaibah. Sehingga isnadnya menjadi hasan dengan mutaba’ah).

Al-Imam Sa’id bin Fairuz Abul Bakhtari (ulama tabi’in wafat tahun 82 H) rahimahullah juga berkata:

الطَّعَامُ عَلَى الْمَيِّتِ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ وَالنَّوْحُ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ

“Jamuan makan di rumah mayit adalah termasuk perkara jahiliyah. Meratapi mayit juga termasuk perkara jahiliyah.” (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 11464 (3/290) dan Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 6689 (3/559). Perawinya tsiqat dan isnadnya shahih. Lihat at-Ta’ziyah: 13).

Al-Imam Malik bin Anas (wafat tahun 179 H) rahimahullah juga berkata:

أكره أن يُرْسِل للمناحة طعاماً

“Aku membenci jika dikirimkan makanan untuk acara ‘manahah’ (selamatan kematian, pen).” (Syifa’ul Ghalil fi Hilli Muqaffal Khalil: 1/377).

Kata ‘manahah’ dalam ucapan Malik di atas berarti acara ‘ma’tam’ atau selamatan kematian. Ibnu Bari berkata:

لا يمتنع أَن يقَع المَأْتَم بمعنى المَناحةِ والحزْن والنَّوْحِ والبُكاءِ لأَن النساء لذلك اجْتَمَعْنَ والحُزْن هو السبب الجامع

“Ma’tam juga bisa bermakna ‘manahah’, kesedihan, ratapan dan tangisan karena para wanita berkumpul untuk tujuan itu. Kesedihan adalah tujuan berkumpulnya mereka.” (Tajul Arus: 7599 dan Lisanul Arab: 1/23).

Al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (imam madzhab Syafi’i, wafat tahun 204 H) rahimahullah berkata:

وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لم يَكُنْ لهم بُكَاءٌ فإن ذلك يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مع ما مَضَى فيه من الْأَثَرِ

“Dan aku membenci acara ‘ma’tam’, yaitu berkumpulnya manusia (di rumah mayit, pen), walaupun tidak ada tangisan. Karena ini bisa memperbaharui kesedihan dan menambah beban biaya (bagi keluarga mayit, pen) beserta atsar yang telah lalu.” (Al-Umm: 1/279).

Dan ketika al-Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) rahimahullah ditanya tentang jamuan acara ma’tam, maka beliau menjawab:

هُوَ مِنْ أَفْعَالِ الْجَاهِلِيَّةِ ، وَأَنْكَرَهُ شَدِيدًا

“Acara tersebut (ma’tam dan wadhimah, pen) termasuk perbuatan jahiliyah.” Dan beliau sangat mengingkarinya.” (Al-Furu’: 3/344, Syarh Muntahal Iradat: 3/7, Mathalib Ulin Nuha Syarh Ghayatil Muntaha: 4/496).

Demikianlah pendapat ulama dari masa sahabat sampai masa al-Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka semua melarang acara ma’tam (selamatan kematian, pen).

Kesepakatan Para Ulama

Acara selamatan kematian (ma’tam dan wadhimah) itu sudah disepakati pelarangannya oleh para ulama. Al-Qadhi Abu Bakar ath-Thurthusi al-Maliki (wafat 520 H) rahimahullah berkata:

فأما المآتم , فممنوعة بإجماع العلماء, والمأتم هو الاجتماع على المصيبة, وهو بدعة منكرة , لم ينقل فيه شيء , وكذا ما بعده من الاجتماع في الثاني والثالث والرابع والسابع والشهر والسنة , فهو طامة

“Adapun acara-acara ma’tam, maka itu dilarang berdasarkan ijma’ ulama. Ma’tam adalah acara berkumpul atas musibah. Ia adalah bid’ah yang diingkari dan tidak ada penukilan dalam hal ini sedikit pun. Demikian pula acara ma’tam pada hari kedua, ketiga, keempat, ketujuh, sebulan, setahun dari kematian. Itu adalah bencana.” (Al-Bida’ wal Hawadits: 175).

Al-Allamah Ahmad bin Abdurrahman al-Banna as-Sa’ati (wafat tahun 1378 H) rahimahullah berkata:

واتفق الأئمة الأربعة على كراهة صنع أهل الميت طعاماً للناس يجتمعون عليه، مستدلين بحديث جرير بن عبدالله المذكور في الباب وظاهره التحريم، لأن النياحة حرام، وقد عده الصحابة رضي الله عنهم  من النياحة فهو حرام..الخ

“Para imam empat bersepakat atas dibencinya keluarga mayit membuat jamuan makanan untuk manusia yang berkumpul padanya, dengan berdalil pada hadits Jarir bin Abdullah yang tersebut dalam bab ini. Zhahir dari hadits tersebut adalah pengharaman, karena niyahah (meratap) hukumnya haram. Dan para sahabat radhiyallahu anhum menganggapnya sebagai perbuatan niyahah (meratapi mayit) dan itu hukumnya haram..dst.” (Al-Fathur Rabbani li Tartib Musnad Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 8/95).

Asy-Syaikh Dr. Shadiq al-Ghuryani hafizhahullah juga berkata:

اتفق العلماء على أن اجتماع الناس للطعام الذي يصنعه أهل الميت بدعة مكروهة؛ لأن الموت ليس مما تنصب فيه  الولائم

“Para ulama bersepakat bahwa berkumpulnya manusia untuk memakan hidangan yang disediakan oleh keluarga mayit adalah bid’ah yang dibenci, karena kematian bukanlah untuk mengadakan walimah..dst.” (Mudawwanatul Fiqhil Maliki wa Adillatuhu: 1/591).

Dan disebutkan pula di dalam ‘al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah’:

واتّفق الفقهاء على أنّه تكره الضّيافة من أهل الميّت لأنّها شرعت في السّرور لا في الشّرور ، وهي بدعة مستقبحة..الخ

“Para fuqaha (ulama fikih, pen) bersepakatan bahwa dibenci membuat jamuan makanan dari pihak keluarga mayit, karena jamuan walimah itu disyariatkan untuk kegembiraan, bukan kesedihan (seperti kematian, pen). jamuan tersebut adalah bid’ah yang dianggap jelek..dst.” (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah: 17/46).

Demikianlah bahwa acara selamatan kematian atau ma’tam atau wadhimah dilarang berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.

Tradisi Kaum Yahudi

Acara ‘selamatan kematian’ atau ‘ma’tam’ merupakan tradisi kaum Yahudi. Ka’ab al-Ahbar rahimahullah berkata:

كان أبي من أعلم الناس بما أنزل الله على موسى وكان لا يدخر عني شيئا مما يعلم فلما حضره الموت دعاني فقال لي يا بني قد علمت أني لم أدخر عنك شيئا مما كنت أعلم إلا أني كنت قد حبست عنك ورقتين فيهما ذكر نبي يبعث قد أظل زمانه….. قال ثم مات فلم يكن شئ أحب إلي من أن ينقضي المأتم حتى أنظر في الورقتين فلما انقضى المأتم فتحت الكوة ثم استخرجت الورقتين فإذا فيهما محمد رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) خاتم النبيين لا نبي بعده مولده بمكة ومهاجره طيبة لا فظ ولا غليظ ولا صخاب في الأسواق…الخ

“Ayahku termasuk orang yang paling mengerti kitab Taurat Musa alaihissalam. Beliau tidak pernah menyembunyikan ilmunya dariku sedikitpun. Ketika beliau akan meninggal, maka beliau memanggilku dan berkata: “Wahai anakku! Kamu mengetahui bahwa aku belum pernah menyembunyikan sedikit pun apa yang aku ketahui kepadamu, hanya saja aku menahan dua lembar yang di dalamnya terdapat berita nabi yang akan diutus dan semakin dekat masanya…dst.” Ka’ab berkata: “Ketika ayahku mati, maka tidak ada sesuatu yang paling aku harapkan selain agar acara ‘ma’tam’ (selamatan kematian, pen) cepat selesai. Ketika acara ‘ma’tam’ sudah selesai, maka aku membuka celah atap kemudian aku mengeluarkan dua lembar Taurat tersebut. Ternyata di dalamnya terdapat berita: “Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, penutup para nabi. Tidak ada nabi setelahnya. Tempat lahirnya di Makkah. Tempat hijrahnya di Madinah. Beliau tidak keras, tidak kasar perangainya, bukan orang yang suka berteriak di pasar..dst.” (Atsar riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Damsyiq: 50/161).

Kisah di atas terjadi ketika Ka’ab al-Ahbar rahimahullah belum memeluk agama Islam. Ini juga menunjukkan bahwa tradisi Yahudi tidak jauh berbeda dengan tradisi Arab Jahiliyah. Dr. Jawwad Ali menyatakan:

وليست عادة استئجار النادبات بعادة خاصة بالعرب الجاهليين، فقد كان العبرانيون يستأجرون النادبات كذلك ليندبن الميت، وقد أشير إلى ذلك في التوراة، ولعلها من العادات السامية القديمة المعروفة عند بقية الساميين.

“Tradisi menyewa wanita peratap dalam acara ma’tam bukanlah merupakan tradisi Arab Jahiliyah secara khusus, karena bangsa Ibrani (yakni: Yahudi, pen) juga menyewa wanita peratap agar meratap di acara ma’tam mereka. Dan ini disinggung dalam kitab Taurat, mungkin ini termasuk tradisi bangsa Semit kuno yang masih dikenal oleh bangsa Semit lainnya.” (Al-Mufash-shal fi Tarikhil Arab qablal Islam: 9/155).

Bid’ah Kaum Syiah Rafidhah

Di antara sekte bid’ah yang menghidupkan kembali acara ma’tam yang telah dihapus oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sekte Syiah Rafidhah. Mereka menghidupkannya dengan mengadakan acara ma’tam pada kematian Husain bin Ali radliyallahu anhuma.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وقد كان أبوه أفضل منه فقتل، وهم لا يتخذون مقتله مأتما كيوم مقتل الحسين، فإن أباه قتل يوم الجمعة وهو خارج إلى صلاة الفجر في السابع عشر من رمضان سنة أربعين، وكذلك عثمان كان أفضل من علي عند أهل السنة والجماعة، وقد قتل وهو محصور في داره في أيام التشريق من شهر ذي الحجة سنة ست وثلاثين، وقد ذبح من الوريد إلى الوريد، ولم يتخذ الناس يوم قتله مأتما، وكذلك عمر بن الخطاب وهو أفضل من عثمان وعلي، قتل وهو قائم يصلي في المحراب صلاة الفجر ويقرأ القرآن، ولم يتخذ الناس يوم مقتله مأتما، وكذلك الصديق كان أفضل منه ولم يتخذ الناس يوم وفاته مأتما، ورسول الله صلى الله عليه وسلم سيد ولد آدم في الدنيا والآخرة، وقد قبضه الله إليه كما مات الانبياء قبله، ولم يتخذ أحد يوم موتهم مأتما يفعلون فيه ما يفعله هؤلاء الجهلة من الرافضة يوم مصرع الحسين

“Dan adalah ayah Husain (yaitu Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu, pen) lebih utama daripada Husain. Maka ketika Ali terbunuh, mereka tidak menjadikan hari terbunuhnya sebagai acara ‘ma’tam’ sebagaimana hari terbunuhnya Husain. Karena ayah Husain ini terbunuh pada hari Jumat ketika keluar menuju shalat subuh pada tanggal 17 bulan Ramadlan tahun 40 H. Demikian pula Utsman radliyallahu anhu. Ia lebih lebih utama daripada Ali radliyallahu anhu menurut pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ia terbunuh dalam keadaan terkepung di rumahnya pada hari tasyriq bulan Dzulhijjah tahun 36 H dalam keadaan disembelih dari urat nadi satu ke urat yang lain. Dan manusia tidak menjadikan hari terbunuhnya sebagai acara ‘ma’tam’. Demikian pula Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu. Ia lebih utama daripada Utsman dan Ali radliyallahu anhuma. Ia terbunuh ketika sedang shalat subuh di mihrab dan membaca al-Quran. Dan manusia tidaklah menjadikan hari terbunuhnya sebagai acara ‘ma’tam’. Demikian pula Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallahu anhu. Ia lebih utama daripada Umar radliyallahu anhu. Dan manusia tidaklah menjadikan hari wafatnya sebagai acara ‘ma’tam’. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai penghulu anak Adam di dunia dan akhirat. Allah telah telah mewafatkan beliau sebagaimana mewafatkan para nabi sebelum beliau. Dan tidak ada seorang pun yang menjadikan hari kematian mereka (para nabi, pen) sebagai acara ‘ma’tam’ sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang dungu dari kalangan Rafidlah ini di hari terbunuhnya Husain.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 8/221).

Dari penjelasan Ibnu Katsir di atas, dapat diambil pelajaran bahwa acara ‘ma’tam’ tidak pernah dikenal di masa as-Salaf. Yang menghidupkan kembali adalah sekte sesat Rafidhah. Wallahu a’lam.

Upaya Umar bin Abdul Aziz

Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah (wafat 101 H) dikenal sebagai khalifah yang adil. Beliau berperilaku seperti Khulafaur Rasyidin radliyallahu anhum. Beliau sangat giat di dalam menghidupkan as-Sunnah dan mematikan serta menghapuskan kebid’ahan. Tak terkecuali bid’ah ma’tam dan wadlimah (selamatan kematian, pen) yang ketika itu mulai muncul. Beliau menghapuskan bid’ah ini pada masa pemerintahan beliau.

Tsabit bin Qais Abul Ghashni (ulama tabi’in shighar, wafat tahun 168 H) rahimahullah berkata:

أَدْرَكْت عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ يَمْنَعُ أَهْلَ الْمَيِّتِ الْجَمَاعَاتِ يَقُولُ يَُرْزَؤونِ وَيَغْرمُونَ

“Aku menjumpai Khalifah Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengumpulkan orang (agar berkumpul di rumahnya, pen). Beliau berkata: “Mereka itu merugi dan tiada beruntung.” (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 11466 (3/290). Isnadnya shahih. Lihat at-Ta’ziyah: 13).

Ketika Abdul Malik putra Umar bin Abdul Aziz rahimahumallah meninggal dunia, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat kepada para bawahan beliau. Di antara isi surat tersebut:

ولا أعلمنّ ما بكت عليه باكية ولا ناحت عليه نائحة ولا اجتمع لذلك أحد؛ قد نَهينا أهلَه الذين هم أحقُّ بالبكاء عليه

“Dan aku tidak mau tahu, bahwa tidak boleh ada yang menangisinya (anakku, pen), tidak boleh ada yang meratapinya dan tidak boleh seorang pun berkumpul (mengadakan acara ma’tam, pen) atasnya. Kami telah melarang keluarganya yang lebih berhak untuk menangisinya.” (Tarikh Wasith: 93, al-Mauridul Adzbil Mu’in: 1/268, Majalah al-Jami’ah al-Islamiyah: 26/334).

Al-Allamah Abul Hasan al-Mada’ini (ahli sejarah, wafat tahun 225 H) rahimahullah berkata:

بلغني أنه كان إذا مات الخليفة أو ابنه اجتمع في هذا القصر النوائح الذين بواسط وساب اليهم نساء الثناء فأقاموا المأتم ثلاثة أيام فنهاهم عمر عن هذا في إمارته فلما مات عمر عادوا إلى مثل ذلك

“Telah sampai kepadaku bahwa jika seorang khalifah atau anak khalifah meninggal dunia, maka para peratap sekota Wasith berkumpul di istana ini. Para wanita melantunkan pujian (ar-Rotsa’, pen) atas mereka. Mereka mengadakan acara ma’tam (selamatan kematian, pen) selama 3 hari. Kemudian Umar melarang mereka dari perbuatan ini selama pemerintahannya. Ketika beliau meninggal dunia, acara ma’tam ini dihidupkan lagi.” (Tarikh Wasith: 93-94).

Penukilan dari Ulama Hanafiyah

Para ulama Hanafiyah juga melarang acara selamatan kematian atau ma’tam dan menganggapnya sebagai perkara bid’ah yang jelek.

Al-Allamah Kamaluddin Ibnul Hammam al-Hanafi (wafat tahun 861 H) rahimahullah berkata:

وَيُكْرَهُ اتِّخَاذُ الضِّيَافَةِ مِنْ الطَّعَامِ مِنْ أَهْلِ الْمَيِّتِ لِأَنَّهُ شُرِعَ فِي السُّرُورِ لَا فِي الشُّرُورِ ، وَهِيَ بِدْعَةٌ مُسْتَقْبَحَةٌ .رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ مِنْ النِّيَاحَةِ .

“Dan dibenci membuat jamuan makanan oleh pihak keluarga mayit, karena acara jamuan itu disyariatkan ketika bersuka cita bukan ketika berduka. Acara tersebut adalah bid’ah yang dianggap buruk. Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad shahih dari Jarir bin Abdullah bahwa ia berkata: “Kami menganggap berkumpul dan membuat hidangan di rumah keluarga mayit sebagai perbuatan meratapi mayit (yang tercela, pen).” (Fathul Qadir fi Syarhil Hidayah: 3/432).

Al-Allamah Fakhruddin Utsman bin Ali az-Zaila’i al-Hanafi (wafat tahun 743 H) rahimahullah berkata:

وَلَا بَأْسَ بِالْجُلُوسِ لَهَا إلَى ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ غَيْرِ ارْتِكَابِ مَحْظُورٍ مِنْ فَرْشِ الْبُسُطِ وَالْأَطْعِمَةِ مِنْ أَهْلِ الْمَيِّتِ ؛ لِأَنَّهَا تُتَّخَذُ عِنْدَ السُّرُورِ

“Dan diperbolehkan melakukan takziyah sampai tiga hari tanpa melakukan perbuatan yang terlarang seperti membentangkan tikar atau permadani (untuk selamatan, pen) dan membuat makanan dari pihak keluarga mayit, karena acara selamatan hanyalah ketika berbahagia.” (Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzid Daqa’iq: 3/217).

Al-Allamah Mulla Ali al-Qari al-Hanafi (wafat tahun 1014 H) rahimahullah berkata:

واصطناع أهل البيت له لأجل اجتماع الناس عليه بدعة مكروهة بل صح عن جرير رضي الله عنه كنا نعده من النياحة وهو ظاهر في التحريم قال الغزالي ويكره الأكل منه قلت وهذا إذا لم يكن من مال اليتيم أو الغائب وإلا فهو حرام بلا خلاف

“Hidangan makanan yang dibuat oleh keluarga mayit agar manusia berkumpul atasnya adalah bid’ah yang makruh (dibenci, pen), bahkan telah shahih bahwa Jarir al-Bajali radhiyallahu anhu berkata: “Kami menganggap acara tersebut termasuk meratapi mayit.” Maka ini adalah jelas di dalam pengharamannya. Al-Ghazali berkata:”Dan dibenci memakan hidangan tersebut.” Aku (al-Qari, pen) berkata: “Ini (hukum makruh, pen) jika biaya acara tersebut bukan dari harta anak yatim atau orang asing (dari kalangan ahli waris mayit, pen). Dan jika tidak demikian, maka hukumnya haram tanpa ada perselisihan.” (Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 5/494).

Penukilan dari Ulama Malikiyah

Kebanyakan ulama Malikiyah juga melarang acara ma’tam atau selamatan kematian ini.

Al-Imam al-Mufassir Abu Abdillah al-Qurthubi al-Maliki (wafat tahun 671 H) rahimahullah berkata:

والبناء على المقابر والاجتماع في الجبانات والمساجد للقراءة وغيرها لأجل الموتى وكذلك الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام والمبيت عندهم كل ذلك من أمر الجاهلية و نحو منه الطعام الذي يصنعه أهل الميت اليوم في يوم السابع فيجتمع له الناس يريدون بذلك القربة للميت والترحم عليه و هذا محدث لم يكن فيما تقدم ولا هو مما يحمده العلماء

“Membangun di atas kuburan, berkumpul di kuburan dan masjid-masjid untuk membaca al-Quran dan lainnya kepada orang-orang yang mati, demikian pula berkumpul di rumah keluarga mayit, membuat hidangan dan menginap di rumah mereka, itu semua termasuk perkara Jahiliyah. Demikian pula hidangan yang dibuat oleh keluarga mayit pada era sekarang ini di hari yang ketujuh dari kematian, kemudian orang-orang berkumpul padanya dalam rangka menghadiahkan sedekah dan mendokan kebaikan atasnya. Ini adalah perkara baru (bid’ah) yang tidak ada di masa as-Salaf dan juga bukan termasuk perkara yang dipuji oleh para ulama.” (At-Tadzkirah fi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah: 115).

Kemudian beliau melanjutkan:

وذلك الطعام الذي يصنعه أهل الميت كما ذكر فيجتمع عليه الرجال والنساء من فعل قوم لاخلاق لهم

“Makanan yang dibuat oleh keluarga mayit tersebut, sebagaimana yang telah diterangkan, kemudian kaum lelaki dan perempuan berkumpul padanya, termasuk perbuatan kaum yang tidak mempunyai bagian (kebaikan, pen).” (At-Tadzkirah fi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah: 115).

Al-Allamah Syihabuddin Ahmad Zurruq al-Maliki (wafat tahun 899 H) rahimahullah berkata:

اصطناع الطعام لأهل الميت أو وليه وردت به السنة لقوله عليه السلام: «اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم ما يشغلهم» فأما تكليف أهل الميت وعمل المبائت والمحازن والصدقات ونحوها فبدعة لا أصل لها والله أعلم.

“Membuat makanan untuk (diberikan kepada, pen) keluarga mayit atau walinya, maka as-Sunnah menerangkan anjurannya, karena sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah disibukkan (dengan kematian Ja’far, pen). Adapun membebani keluarga mayit, membuat tempat menginap, tempat bersedih, sedekah (dengan uang atau makanan, pen) dan sebagainya, maka itu bid’ah dan tidak ada asalnya. Wallahu a’lam.” (Syarh Zurruq ala Matan ar-Risalah: 1/434).

Al-Allamah Syamsuddin al-Haththab ar-Ru’aini al-Maliki (wafat tahun 954 H) rahimahullah berkata:

أما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فقد كرهه جماعة وعدوه من البدع لأنه لم ينقل فيه شيء وليس ذلك موضع الولائم

“Adapun jika keluarga mayit membuat hidangan dan mengumpulkan manusia pada hidangan tersebut, maka sebagian ulama Malikiyah membencinya dan menganggapnya sebagai perkara bid’ah, karena acara tersebut tidak pernah dinukilkan (dari as-Salaf, pen) dan itu bukan tempat walimah (untuk bersenang-senang, pen).” (Mawahibul Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil: 3/37).

Al-Allamah Muhammad bin Abdullah al-Khurasyi al-Maliki (wafat tahun 1101 H) rahimahullah berkata:

وَأَمَّا جَمْعُ النَّاسِ عَلَى طَعَامِ بَيْتِ الْمَيِّتِ فَهُوَ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ لَمْ يُنْقَلْ فِيهِ شَيْءٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ مَوْضِعَ وَلَائِمَ

“Adapun mengumpulkan manusia untuk jamuan makanan di rumah myit, maka itu bid’ah yang dibenci. Tidak pernah dinukilkan sedikit pun (dari Salaf) tentang acara tersebut. Dan itu bukan tempatnya walimah.” (Syarh Mukhtashar Khalil lil Khurasyi: 5/435).

Al-Allamah Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (wafat tahun 1241 H) rahimahullah tentang dibencinya acara selamatan kematian. Beliau berkata:

وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَى طَعَامِ بَيْتِ الْمَيِّتِ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ لَمْ يُنْقَلْ فِيهَا شَيْءٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ مَوْضِعَ وَلَائِمَ

“Dan mengumpulkan manusia untuk acara makan-makan di rumah mayit adalah bid’ah yang dibenci. Tidak pernah dinukilkan sedikit pun (dari Salaf) tentang acara tersebut. Dan itu bukan tempatnya walimah.” (Hasyiyah ash-Shawi ala asy-Syarhish Shaghir: 2/500).

Al-Allamah Muhammad bin Ahmad Ulaisy al-Maliki (wafat tahun 1299 H) rahimahullah berkata:

وَأَمَّا الِاجْتِمَاعُ عَلَى طَعَامِ بَيْتِ الْمَيِّتِ فَبِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ ، إنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْوَرَثَةِ صَغِيرٌ ، وَإِلَّا فَهُوَ حَرَامٌ

“Adapun berkumpul untuk makan-makan di rumah mayit, maka termasuk bid’ah yang makruh (dibenci), jika si mayit tidak mempunyai ahli waris anak kecil. tetapi jika ia mempunyai anak kecil, maka hukumnya haram.” (Minahul Jalil Syarh Mukhtashar Khalil: 3/143).

Al-Allamah at-Thahir Ahmad az-Zawi al-Maliki (Mufti Libya terdahulu, wafat tahun 1986 M) rahimahullah berkata:

أما جمع الناس على الأكل والشرب في بيت الميت فهو من البدع المخالفة للسنة, ولما جرى عليه عمل السلف الصالح

“Adapun mengumpulkan manusia untuk makan dan minum di rumah mayit, maka termasuk bid’ah yang menyelisihi as-Sunnah dan juga menyelisihi ajaran as-Salaf as-Salih.” (Majmu’ah Fatawa az-Zawi: 91).

Penukilan dari Ulama’ Syafi’iyah dan Biaya Selamatan

Para ulama yang bermadzhab Syafi’i juga mengikuti pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah di dalam mengingkari acara selamatan kematian atau ‘ma’tam’ dan ‘wadhimah’ ini. Kami kutipkan ucapan mereka sebagai acuan bagi kaum muslimin Indonesia yang secara mayoritas mengamalkan fikih madzhab Syafi’i.

Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (wafat 676 H) rahimahullah menyatakan:

قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال ” كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة ” رواه احمد بن حنبل وابن ماجه باسناد صحيح

“Berkata penulis kitab asy-Syamil dan lainnya: “Adapun perbuatan keluarga mayit membuat jamuan makanan dan mengumpulkan manusia atasnya, maka tidak pernah dinukil sedikit pun dari as-Salaf. Acara tersebut adalah bid’ah, tidak dianjurkan.” Demikian ucapan penulis asy-Syamil dan ini berdalilkan pada hadits Jarir bin Abdullah radliyallahu anhu bahwa ia berkata: “Kami (para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, pen) menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat pesta makan setelah penguburannya termasuk perbuatan meratap mayit (yang tercela, pen).” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dengan isnad shahih).” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 5/320).

Al-Allamah Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari asy-Syafi’i –murid al-Hafizh Ibnu Hajar- (wafat 926 H) rahimahullah berkata:

وَأَمَّا تَهْيِئَةُ أَهْلِهِ طَعَامًا لِلنَّاسِ فَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ ذَكَرَهُ فِي الرَّوْضَةِ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ وَيُسْتَدَلُّ لَهُ بِقَوْلِ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَلَيْسَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَهْ بَعْدَ دَفْنِهِ .

“Adapun menyiapkan jamuan makan oleh keluarga mayit untuk manusia, maka itu bid’ah yang tercela. Disebutkan oleh an-Nawawi dalam ar-Raudlah. An-Nawawi berkata dalam al-Majmu’: “Dan ini berdalilkan pada hadits Jarir bin Abdullah radliyallahu anhu bahwa ia berkata: “Kami (para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, pen) menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat hidangan oleh keluarga mayit setelah dikuburkannya sebagai perbuatan meratap.” HR. Ahmad dan Ibnu Majah dengan isnad shahih, dan di dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada tambahan kata “setelah dikuburkannya.” (Syarh al-Bahjah al-Wardiyah: 6/164).

Beliau menambahkan dalam Asnal Mathalib:

وَهَذَا ظَاهِرٌ فِي التَّحْرِيمِ فَضْلًا عَنْ الْكَرَاهَةِ وَالْبِدْعَةِ الصَّادِقَةِ بِكُلٍّ مِنْهُمَا

“Penjelasan ini secara jelas menunjukkan pengharaman, bukan sekedar makruh atau bid’ah yang sesungguhnya terhadap masing-masing dari keduanya (yakni: berkumpul dan membuat hidangan, pen).” (Asnal Mathalib fi Syarh Raudhatith Thalib: 4/371).

Al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (wafat 974 H) rahimahullah –mufti Makkah pada masanya- berkata:

وَمَا اُعْتِيدَ مِنْ جَعْلِ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ عَلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ كَإِجَابَتِهِمْ لِذَلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيرٍ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ..الخ

“Dan perkara yang dibiasakan (di kalangan masyarakat, pen) yang berupa membuat jamuan makanan oleh keluarga mayit untuk mengundang manusia ke rumahnya adalah bid’ah yang dibenci, begitu pula memenuhi undangan tersebut karena terdapat hadits shahih dari Jarir: “Kami (para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, pen) menganggap berkumpul..dst.” (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj: 11/440).

Al-Allamah Muhammad al-Khathib asy-Syarbini asy-Syafi’i (wafat 977 H) rahimahullah berkata:

قَالَ ابْنُ الصَّبَّاغِ وَغَيْرُهُ .أَمَّا إصْلَاحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبٍّ

“Ibnush Shabbagh dan lainnya berkata: “Adapun perbuatan keluarga mayit membuat jamuan makanan dan mengumpulkan manusia atasnya, maka itu bid’ah yang tidak dianjurkan.” (Mughnil Muhtaj: 4/369, al-Iqna’ fi Hilli Alfazh Abi Syuja’: 1/210).

Al-Allamah Syamsuddin ar-Ramli asy-Syafi’i (wafat tahun 1004 H) rahimahullah berkata:

وَيُكْرَهُ (كَمَا فِي الْأَنْوَارِ وَغَيْرِهِ أَخْذًا مِنْ كَلَامِ الرَّافِعِيِّ وَالْمُصَنِّفِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ) لِأَهْلِهِ صُنْعُ طَعَامٍ يَجْمَعُونَ النَّاسَ عَلَيْهِ قَبْلَ الدَّفْنِ وَبَعْدَهُ لِقَوْلِ جَرِيرٍ : كُنَّا نَعُدُّ ذَلِكَ مِنْ النِّيَاحَةِ

“Dan dibenci -sebagaimana dalam kitab ‘al-Anwar’ dan lainnya dalam rangka memegang pendapar ar-Rafi’i dan Pengarang (yakni: an-Nawawi, pen) bahwa hal tersebut adalah bid’ah- bagi keluarga mayit untuk membuat hidangan makanan yang mana manusia berkumpul atasnya, sebelum penguburan atau setelahnya, karena ucapan Jarir, “Kami menganggapnya sebagai perbuatan meratapi mayat.” (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj: 8/401).

Al-Allamah Syihabuddin al-Qalyubi asy-Syafi’i (wafat 1069 H) rahimahullah berkata:

قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ : وَمِنْ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوهِ فِعْلُهَا .كَمَا فِي الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى بِالْكَفَّارَةِ ، وَمِنْ صُنْعِ طَعَامٍ لِلِاجْتِمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ أَوْ بَعْدَهُ ، وَمِنْ الذَّبْحِ عَلَى الْقَبْرِ ، بَلْ ذَلِكَ كُلُّهُ حَرَامٌ إنْ كَانَ مِنْ مَالٍ مَحْجُورٍ وَلَوْ مِنْ التَّرِكَةِ ، أَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ ، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Berkata Syaikh kami ar-Ramli: “Dan termasuk bid’ah yang munkar dan dibenci pelaksanaannya -sebagaimana dalam ar-Raudlah- adalah apa yang dikerjakan oleh manusia yang disebut dengan acara ‘kaffarah’, dan juga membuat jamuan makanan untuk mengumpulkan manusia sebelum kematian atau setelahnya, dan juga menyembelih di atas kuburan. Itu semua adalah haram, jika dananya diambilkan dari harta orang pailit walaupun dari harta peninggalan mayit, atau dari harta mayit yang mempunyai hutang atau terjadi bahaya dan sebagainya (juga tetap haram, pen). Wallahu a’lam.” (Hasyiyata al-Qalyubi wa Umairah: 5/19).

Al-Allamah Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami asy-Syafi’i (wafat 1221 H) rahimahullah berkata:

وَمِنْ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى بِالْكَفَّارَةِ ، وَمِنْ صُنْعِ طَعَامٍ إلَى الْأَرْبَعِينَ لِاجْتِمَاعٍ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ وَبَعْدَهُ ، وَمِنْ الذَّبْحِ عَلَى الْقَبْرِ ، وَمِنْ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَالْأَرْبَعِينَ وَنَحْوِ ذَلِكَ ؛ بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ إنْ كَانَ مِنْ مَالٍ مَحْجُورٍ وَلَوْ مِنْ التَّرِكَةِ أَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Dan termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang dikerjakan oleh manusia yang disebut dengan ‘kaffarah’, dan juga membuat jamuan makanan untuk mengumpulkan manusia sampai hari ke 40 sebelum kematian atau setelahnya, dan juga menyembelih di atas kuburan, dan juga acara ‘wahsyah’ (selamatan di malam hari penguburan mayit, pen), acara ‘juma’ (selamatan kematian sejum’at atau seminggu, pen) dan juga selamatan 40 hari kematian. Itu semua adalah haram, jika dananya diambilkan dari harta orang pailit walaupun dari harta peninggalan mayit, atau dari harta mayit yang mempunyai hutang atau terjadi bahaya dan sebagainya (juga tetap haram, pen). Wallahu a’lam.” (Hasyiyah al-Bujairami alal Minhaj: 5/90).

Beliau juga menyatakan:

قَوْلُهُ : ( غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ ) بَلْ هُوَ حَرَامٌ إنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَوْ قَلِيلًا ، لِأَنَّ التَّرِكَةَ مَرْهُونَةٌ بِهِ رَهْنًا شَرْعِيًّا وَكَذَا إنْ كَانَ فِي الْوَرَثَةِ مَحْجُورٌ عَلَيْهِ أَوْ غَائِبٌ وَمَحِلُّ الْحُرْمَةِ فِيمَا ذَكَرَ لَوْ صَنَعُوا مِنْ التَّرِكَةِ ، أَمَّا لَوْ صَنَعُوا مِنْ مَالِ أَنْفُسِهِمْ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُحَرَّمَةٍ

“Ucapan matan “Bid’ah yang tidak dianjurkan”, bahkan menjadi haram jika si mayit masih mempunyai hutang, meskipun sedikit, karena harta si mayit berstatus tergadai secara syar’i (sehingga tidak boleh digunakan untuk membiayai selamatan kematian, pen). Demikian pula jika di antara ahli warisnya terdapat orang yang tidak bisa mengelola harta (seperti anak yatim, pen) atau orang yang tidak ada di tempat. Tempat pengharamannya adalah jika keluarga mayit membuat selamatan kematian dengan dana dari harta peninggalan mayit. Adapun jika membuatnya dengan uang dari mereka sendiri, maka itu bid’ah yang tidak haram (yakni: hanya makruh, pen).” (Hasyiyah al-Bujairami alal Khathib: 6/197).

Yang demikian karena acara ma’tam dengan biaya dari si mayit yang masih mempunyai anak yatim termasuk memakan api neraka. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara lalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10).

Banyaknya penukilan dari ulama Syafiiyah di atas menunjukkan bahwa larangan acara ma’tam dan wadhimah –yang dalam bahasa sekarang disebut dengan selamatan kematian- adalah pendapat keumuman Madzhab asy-Syafi’i. Wallahu a’lam.

Penukilan dari Ulama Hanabilah dan Rukhsah

Kebanyakan ulama Hanabilah mengikuti pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah di dalam melarang dan membenci acara selamatan kematian atau ma’tam, kecuali jika ada kebutuhan untuk menginap dan memakan jamuan seperti keluarga dari kota yang jauh. Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 682 H) rahimahullah berkata:

فأمّا إصْلاحُ أهلَ المَيِّتِ طَعامًا للنّاسِ فَمَكْرُوهٌ؛ لأنَّه زِيادَةٌ على مُصِيبَتِهم، وشُغْلٌ لهم إلى شُغْلِهِم، وتَشْبِيهٌ بصَنِيعِ أهلِ الجَاهِلِيَّةِ. وقد رُوِىَ أنَّ جَرِيرًا وَفَد على عُمَرَ، فقالَ: هل يُناحُ على مَيِّتِكم؟ قال: لا. قال: فهل يَجْتَمِعُون عندَ أهْلِ المَيِّتِ، ويَجْعَلُون الطَّعامَ؟ قال: نعم. قال: ذلك النَّوْحُ. وإن دَعَتِ الحاجَةُ  إلى ذلك جاز؛ فإنَّه رُبَّما جاءَهم مَن يَحْضُرُ مَيِّتَهم مِن أهلِ القُرَى البَعِيدَةِ، ويَبِيتُ عندَهم، فلا يُمْكِنُهم إلَّا أن يُطْعِمُوه.

“Adapun jika keluarga mayit membuat hidangan makanan bagi manusia, maka itu dibenci, karena dapat menambah musibah dan kesibukan mereka, serta menyerupai perbuatan oarng Jahiliyah. Dan diriwayatkan bahwa Jarir bertamu kepada Umar. Kemudian Umar bertanya: “Apakah orang mati kalian diratapi?” Jarir menjawab: “Tidak.” Imar bertanya: “Apakah orang-orang berkumpul di rumah keluarga mayit dan dibuatkan makanan?” Jarir menjawab: “Ya.” Umar berkata: “Itu adalah meratapi mayit.” Jika memang dibutuhkan untuk makan di rumah keluarga mayit, maka diperbolehkan. Yang demikian karena kadang-kadang keluarga dari kota yang jauh datang untuk menghadiri takziyah dan menginap di rumah keluarga mayit. Maka tidak mungkin bagi mereka kecuali harus memberikan jamuan kepadanya.” (Asy-Syarhul Kabir: 6/264).

Yang demikian karena ada kaidah fikih yang penting sebagaimana penjelasan al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah:

ثم عندنا قاعدة فقهية معروفة عند أهل العلم، وهي أن المكروه يزول عند الحاجة، وهذا من حكمة الله عز وجل

“Kemudian di sisi kami terdapat kaedah fikih yang dikenal oleh para ulama, yaitu bahwa perkara makruh itu akan hilang (kemakruhannya, pen) ketika ada hajat (kebutuhan). Dan ini adalah termasuk hikmah Allah Azza wa Jalla.” (Asy-Syarhul Mumti’ ala Zadil Mustaqni’: 13/9).

Al-Allamah Manshur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali (wafat tahun 1051 H) rahimahullah berkata:

ويكره لهم أي لأهل الميت فعله أي فعل الطعام للناس لما روى أحمد عن جرير قال كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة وإسناده ثقات ويكره الذبح عند القبور والأكل منه لخبر أنس لا عقر في الإسلام رواه أحمد بإسناد صحيح وفي معناه الصدقه عند القبر فإنه محدث وفيه رياء

“Dan dibenci (dimakruhkan, pen) bagi keluarga mayit untuk membuat hidangan makanan bagi manusia, karena hadits yang diriwayatkan oleh Jarir, “Kami (para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, pen) menganggap berkumpul dan membuat hidangan di rumah keluar mayit setelah dikuburkannya, sebagai perbuatan meratapi mayit.” Isnadnya orang-orang tsiqat. Dan dibenci pula menyembelih di kuburan dan memakan darinya karena hadits Anas, “Tidak ada Aqr dalam Islam.” Hadits riwayat Ahmad dengan isnad shahih. dan yang semakna dengan itu adalah bersedekah di kuburan, karena perkara tersebut adalah perkara baru (bid’ah) dan di dalamnya terdapat unsur iya’.” (Ar-Raudhul Murabbi’ ala Mukhtashar al-Muqni’: 26).

Al-Allamah Mushthafa bin Sa’ad ar-Ruhaibani al-Hanbali (wafat tahun 1243 H) rahimahullah berkata:

وَ ( لَا ) يُصْنَعُ الطَّعَامُ ( لِمَنْ يَجْتَمِعُ عِنْدَهُمْ ) ، أَيْ : أَهْلِ الْمَيِّتِ ، ( فَيُكْرَهُ ) ، لِأَنَّهُ إعَانَةٌ عَلَى مَكْرُوهٍ ، وَهُوَ الِاجْتِمَاعُ عِنْدَهُمْ ، قَالَ أَحْمَدُ : إنَّهُ مِنْ أَفْعَالِ الْجَاهِلِيَّةِ ، وَأَنْكَرَهُ شَدِيدًا ، وَلِأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ ، وَإِسْنَادُهُ ثِقَاتٌ ، عَنْ جَرِيرٍ : ” كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ ” ( كِ ) مَا يُكْرَهُ ( فِعْلُهُمْ ) ، أَيْ : أَهْلِ الْمَيِّتِ ( ذَلِكَ ) الطَّعَامَ ( لِلنَّاسِ ) الَّذِينَ يَجْتَمِعُونَ عِنْدَهُمْ لِلتَّعْزِيَةِ .

“Dan tidak usah dibuat hidangan makanan bagi orang-orang yang berkumpul di rumah keluarga mayit, maka ini dibenci karena menjadi bantuan terhadap perkara yang dibenci (makruh, pen), yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit. Imam Ahmad menyatakan: “Itu termasuk perbuatan Jahiliyah.” Dan beliau sangat mengingkarinya. Dalam Musnad dan lainnya terdapat hadits yang isnadnya shahih dari Jarir, “Kami (para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, pen) menganggap berkumpul di sisi keluarga mayit dan membuat hidangan setelah dikuburkannya sebagi perbuatan meratapi mayit.” Sebagaimana dibenci juga perbuatan keluarga mayit membuat hidangan makanan bagi manusia yang berkumpul padanya untuk bertakziyah.” (Mathalib Ulin Nuha fi Syarh Ghayatil Muntaha: 4/496).

Dianjurkan Membuat ‘Atirah’

Yang dianjurkan adalah meringankan beban keluarga mayit dan menghibur atas kesusahan mereka. Diantaranya adalah dengan mengirimkan hidangan makanan kepada keluarga mayit yang kesusahan. Hidangan makanan yang dikirimkan kepada keluarga mayit yang sedang kesusahan disebut dengan hidangan ‘Atirah’. Al-Allamah Muhammad bin Yusuf al-Mawwaq al-Maliki (wafat tahun 897 H) rahimahullah berkata:

ابْنُ يُونُسَ : الْعَتِيرَةُ الطَّعَامُ الَّذِي يُبْعَثُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ .

“Ibnu Yunus berkata: “Atirah’ adalah hidangan makanan yang dikirimkan kepada kelaurga mayit.” (At-Taj wal Iklil li Mukhtashar Khalil: 4/393 dan Mawahibul Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil: 4/379).

Di antara dalilnya adalah hadits tentang kematian Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Abdullah bin Ja’far radliyallahu anhu berkata:

لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا لِأَهْلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ

“Ketika berita kematian Ja’far radliyallahu anhu datang, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka kedatangan perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. At-Tirmidzi: 919, ia berkata hadits hasan shahih, Abu Dawud: 2725, Ibnu Majah: 1599 dan Ahmad: 1660, di-shahih-kan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badrul Munir: 5/355 dan di-hasan-kan oleh al-Albani dalam Ahkamul Janaiz: 168).

Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

يُسْتَحَبُّ لِجِيرَانِ أَهْلِ الْمَيِّتِ ) وَلَوْ أَجَانِبَ ( وَأَقَارِبُهُ الْأَبَاعِدُ ) ، وَإِنْ كَانُوا بِغَيْرِ بَلَدِ الْمَيِّتِ ( أَنْ يَصْنَعُوا لِأَهْلِهِ ) الْأَقَارِبِ ( طَعَامًا يَكْفِيهِمْ يَوْمَهُمْ وَلَيْلَتَهُمْ ) عَقِبَ مَعْرِفَتِهِمْ بِالْمَوْتِ لِخَبَرِ { اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ } رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ ؛ وَلِأَنَّهُ بِرٌّ وَمَعْرُوفٌ قَالَ الْإِسْنَوِيُّ : وَالتَّعْبِيرُ بِالْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ وَاضِحٌ إذَا مَاتَ فِي أَوَائِلِ الْيَوْمِ فَلَوْ مَاتَ فِي آخِرِهِ فَقِيَاسُهُ أَنْ يُضَمَّ إلَى ذَلِكَ اللَّيْلَةُ الثَّانِيَةُ أَيْضًا لَا سِيَّمَا إذَا تَأَخَّرَ الدَّفْنُ عَنْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ وَذَكَرَ فِي الْأَنْوَارِ مَعَ جِيرَانِ أَهْلِ الْمَيِّتِ مَعَارِفَهُمْ ( وَيُلِحُّونَ ) الْأَوْلَى حَذْفُ النُّونِ لِيَكُونَ الْمَعْنَى وَأَنْ يُلِحُّوا ( عَلَيْهِمْ فِي الْأَكْلِ ) مِنْهُ لِئَلَّا يَضْعُفُوا بِتَرْكِهِ ( وَيَحْرُمُ صُنْعُهُ لِمَنْ يَنُوحُ ) ؛ لِأَنَّهُ أَعَانَهُ عَلَى مَعْصِيَةٍ

“Dianjurkan bagi tetangga mayit (meskipun tetangga jauh) dan keluarga mayit yang jauh (meskipun mereka tidak berada di negeri si mayit) untuk membuat (bagi keluarga mayit terdekat) makanan yang mencukupi mereka sehari dan semalam setelah mengetahui berita kematian karena terdapat hadits “Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka kedatangan perkara yang menyibukkan mereka.” diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan beliau meng-hasan-kannya. Dan juga karena tradisi ini merupakan perbuatan baik dan dikenal. Al-Isnawi berkata: “Ungkapan sehari dan semalam itu jelas jika mayit mati di awal hari. Maka jika ia mati di akhir siang, maka dihitung dengan malam yang kedua, apalagi jika penguburan tertunda dari malam itu.” Dan disebutkan dalam kitab al-Anwar bahwa selain dianjurkan kepada tetangga mayit juga kenalan si mayit. Dan hendaknya sedikit memaksa mereka agar mau memakannya agar tidak menjadi lemah karena tidak makan. Dan diharamkan membuat hidangan untuk orang yang meratap, karena termasuk membantu perbuatan maksiat.” (Asnal Mathalib fi Syarh Raudhatith Thalib:4/371).

Al-Allamah Ibnu Hajj al-Abdari al-Maliki (wafat 737 H) berkata:

وَيَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ التَّلْبِينَةُ مِنْ أَهَمِّ ذَلِكَ لِمَا وَرَدَ أَنَّهَا تُذْهِبُ الْحُزْنَ

“Dan hendaknya “talbinah” (bubur dari barley atau jemawut) menjadi bagian makanan terpenting (yang dikirimkan kepada keluarga mayit) karena ada keterangan bahwa talbinah bisa menghilangkan kesedihan.” (Al-Madkhal lil Abdari: 3/441).

Urwah bin Zubair rahimahullah meriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu anha:

أَنَّهَا كَانَتْ تَأْمُرُ بِالتَّلْبِينِ لِلْمَرِيضِ وَلِلْمَحْزُونِ عَلَى الْهَالِكِ وَكَانَتْ تَقُولُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ التَّلْبِينَةَ تُجِمُّ فُؤَادَ الْمَرِيضِ وَتَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ

“Bahwa Aisyah radliyallahu anha memerintahkan untuk membuat “talbinah” untuk orang sakit dan orang yang kesusahan karena kematian. Beliau berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya talbinah itu bisa menghimpun hati dan menghilangkan sebagian kesedihan.” (HR. Al-Bukhari: 5257, al-Baihaqi dalam al-Kubra: 20057 (9/345), ath-Thabrani dalam al-Ausath: 9001 (9/19)).

Al-Ahnaf bin Qais (ulama tabi’in, wafat tahun 67 H) rahimahullah berkata:

فلما طعن عمر أمر صهيباً أن يصلي بالناس، ويطعمهم ثلاثة أيام حتى يجتمعوا على رجل، فلما رجعوا من الجنازة جيء بالطعام ووضعت الموائد كف الناس عن الطعام، فقال العباس: يا أيها الناس إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات، فأكلنا بعده، وشربنا ومات أبو بكر -رضي الله عنه-، فأكلنا، وإنه لا بد للناس من الأكل والشرب، فمد يده فأكل الناس

“Ketika Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu ditusuk (oleh Abu Lu’lu’ah al-Majusi, pen), maka beliau memerintahkan Shuhaib untuk mengimami shalat manusia dan memberikan makan mereka selama 3 hari sampai terpilih khalifah pengganti. Ketika mereka pulang dari jenazah Umar (pada hari keenam setelah ditusuk, pen) dan hidangan diletakkan, maka manusia tidak mau makan (karena sedih atas kematian Umar). Maka Abbas berkata: “Wahai manusia! Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mati, maka kami tetap makan setelah beliau. Dan Abu Bakar radliyallahu anhu juga mati, maka kami pun tetap makan. Sesungguhnya manusia itu harus makan dan minum. Maka Abbas mengambil makan dan manusia pun ikut makan.” (Atsar riwayat Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat: 4/30, al-Khathib dalam Tarikh Baghdad: 12/357 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Damsyiq: 26/373. Di dalam sanadnya terdapat Ali bin Zaid bin Jud’an. Ia dilemahkan oleh banyak ulama. Lihat Mizanul I’tidal: 3/127-8).

Kisah kematian Umar di atas –seandainya atsarnya berstatus shahih atau hasan dan ternyata dhaif- merupakan bukti bahwa orang-orang yang bersedih karena kematian perlu dibuatkan hidangan ‘Atirah’.

Dan diriwayatkan dari Abdullah bin Abu Bakar radliyallahu anhuma bahwa beliau berkata:

فَمَازَالَتْ السُّنَّةُ فِينَا ، حَتَّى تَرَكَهَا مَنْ تَرَكَهَا

“Dan ajaran sunnah ini terus berlangsung di masa kami, sampai perlahan-lahan ditinggalkan.” (Al-Mughni: 5/48, asy-Syarhul Kabir: 2/426).

Dan yang terjadi di jaman sekarang adalah bukan mengirimkan makanan kepada keluarga mayit, akan tetapi sebaliknya. Keluarga mayit yang sudah kesusahan harus bertambah susah lagi untuk membiayai acara ma’tam dan wadhimah. Wallahul musta’an.

Acara Aqr

Termasuk dalam rangkaian ‘ma’tam’ dan ‘wadlimah’ adalah menyembelih sembelihan di kuburan si mayit. Ini disebut dengan ‘aqr’. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَا عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ

“Tidak ada ‘aqr’ di dalam Islam.” (HR. Abu Dawud: 2805, al-Baihaqi dalam al-Kubra: 7320 (4/57) dan Ahmad: 13055 dari Anas bin Malik radliyallahu anhu. Isnadnya di-jayyid-kan oleh al-Munawi dalam at-Taisir Syarh al-Jami’ ash-Shaghir: 2/968 dan di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz: 203).

Al-Imam Abus Sa’adat Ibnul Atsir al-Jazari asy-Syafi’i (wafat tahun 606 H) rahimahullah berkata:

كانوا يَعْقِرون الإبِلَ على قُبُور المَوتَى : أي ينْحَرُونَها ويقولون : إنَّ صاحبَ القَبْر كان يَعْقِر للأَضياف أيامَ حيَاته فنُكافئُه بمثل صَنِيعه بعد وفاتِه

“Orang-orang Jahiliyah menyembelih unta di kuburan mayit dan mengatakan: “Sesungguhnya pemilik kubur ini suka menyembelih unta untuk menjamu tamu ketika hidupnya. Maka kami ingin membalas perbuatannya setelah wafatnya.” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits: 3/529).

Al-Allamah Abdur Rauf al-Munawi asy-Syafi’i (wafat tahun 1031 H) rahimahullah berkata:

قال المجد ابن تيمية : وكره الإمام أحمد أكل لحمه قال : قال أصحابنا وفي معناه ما يفعله كثير من التصدق عند القبر بنحو خبز اه

“Berkata Majduddin Ibnu Taimiyah (kakek Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, pen): “Imam Ahmad membenci untuk memakan dagingnya. Para sahabat kami (yakni: Hanabilah, pen) menyatakan: “Dan yang semakna dengannya (yakni: menyembelih di kuburan, pen) adalah apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang, yaitu bersedekah di kuburan dengan roti (semacam apem, pen). Selesai.” (Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ish Shaghir: 6/563).

Open House untuk Takziyah

Termasuk dalam pengertian ma’tam adalah jika keluarga mayit mempersiapkan diri untuk didatangi manusia dalam rangka ta’ziyah (ucapan belasungkawa, pen) seperti mempersiapkan penerima tamu, memasang kursi, hidangan, undangan memasang tenda dan sebagainya.

Al-Imam Abul Husain al-Imrani al-Yamani asy-Syafi’i (wafat tahun 558 H) rahimahullah berkata:

ويكره الجلوس للتعزية، وهو أن يجتمع أهل الميت في بيت؛ ليقصدهم من أراد العزاء؛ لأن ذلك محدث وبدعة، بل يتوجه كل واحد منهم لحاجته، فيعزى الرجل في مصلاه، وفي سوقه وضيعته.

“Dibenci melakukan duduk untuk acara takziyah, yaitu keluarga mayit berkumpul di suatu rumah, agar manusia berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa, karena perkara ini termasuk perkara baru dan bid’ah. Tetapi hendaknya masing-masing dari keluarga mayit kembali kepada aktifitas semula, sehingga ia mendapatkan ucapan bela sungkawa di masjidnya, di pasarnya atau di ladangnya.” (Al-Bayan fi Madzhabil Imam asy-Syafi’i: 3/118).

Di antara dalil larangan open house untuk takziyah adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Dari Abdurrahman bin Mihran rahimahullah:

أنَّ أبا هُرَيْرَةَ رَضيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ حِينَ حَضَرَهُ الْمَوْتُ لا تضْرِبوا على فُسْطاطاً ولا تْبِعُوني بمِجْمَرٍ وَأَسْرِعُوا بي فإنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلَّى عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسلَّمَ يَقُولُ إذَا وُضِعَ الرَّجُلُ الصَّالِحُ عَلَى سَرِيرِهِ قَالَ قَدِّمُوني قَدِّمُونِي، وَإذَا وُضِعَ الرّجُلُ السُّوءُ عَلَى سَرِيرِهِ قَالَ يَا وَيْلَهُ أَيْنَ تَذْهَبُونَ بِي.

“Bahwa Abu Hurairah radhiyallahu berkata ketika hendak meninggal; “Jangan kalian buatkan tenda untuk kematianku dan jangan kalian ikuti aku dengan dupa (atau obor), dan bersegeralah kalian dalam membawa jasadku, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang laki-laki shalih diletakkan di atas ranjangnya (keranda), dia akan berkata; ‘Segerakanlah aku, segerakanlah aku, ‘ dan jika seorang laki-laki jahat diletakkan di atas ranjangnya, maka dia akan berkata; ‘Celaka, kemana kalian akan membawaku!” (HR. Ahmad: 7614 dan al-Baihaqi dalam al-Kubra: 7093 (4/21). Isnadnya di-hasan-kan oleh Syuaib al-Arnauth dalam tahqiq beliau atas Musnad Ahmad: 2/292 dan di-shahih-kan pula oleh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau atas Musnad Ahmad: 8/29).

Al-Allamah ِAhmad bin Abdurrahman al-Banna as-Sa’ati (wafat tahun 1378 H) rahimahullah berkata:

وفيه أنه لا يجوز نصب فسطاط كالسرادق والخيمة ونحو ذلك لأجل اجتماع النّاس فيه للتعزية، ولا اتباع الجنازة بنار.

“Di dalam hadits di atas terdapat dalil dilarangnya memasang tenda dan lain sebagainya untuk mengumpulkan manusia agar bertakziyah di bawah tenda tersebut, dan juga dilarang mengiringi jenazah dengan api.” (Al-Fathur Rabbani li Tartib Musnad Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 8/6).

Oleh karena itu ulama Syafi’iyah melarang keluarga mayit mengadakan open house untuk menerima pentakziyah. Al-Imam an-Nawawi (wafat tahun 676 H) rahimahullah berkata:

(وأما) الجلوس للتعزية فنص الشافعي والمصنف وسائر الاصحاب علي كراهته ونقله الشيخ أبو حامد في التعليق وآخرون عن نص الشافعي قالوا يعنى بالجلوس لها أن يجتمع أهل الميت في بيت فيقصدهم من أراد التعزية قالوا بل ينبغى أن ينصرفوا في حوائجهم فمن صادفهم عزاهم ولا فرق بين الرجال والنساء في كراهة الجلوس لها..الخ

“Adapun duduk (baca: open house, pen) untuk (menerima) takziah (ucapan belasungkawa, pen), maka teks dari ucapan asy-Syafi’i, pengarang matan al-Muhadzdzab  (yakni asy-Syairazi, pen) dan teman-teman (ulama Syafiiyah, pen) menyatakan dibencinya perbuatan tersebut. Asy-Syaikh Abu Hamid menukilnya dalam at-Ta’liq dan ulama lainnya menukil dari pernyataan asy-Syafi’i. Mereka menyatakan bahwa yang dimaksud duduk untuk takziyah adalah jika keluarga mayit berkumpul di suatu rumah kemudian orang-orang yang ingin ber-takziyah mendatangi mereka. Mereka berkata: “Hendaknya mereka pulang (setelah mengurusi jenazah, pen) kembali ke hajat masing-masing. Barangsiapa yang secara kebetulan bertemu dengan keluarga mayit (baik di rumah, di masjid ataupun pasar, pen), maka ia mengucapkan takziyah kepada mereka. Dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita tentang dibencinya duduk untuk takziyah..dst.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 5/306).

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menolak –pada kali pertama- terhadap undangan putri beliau agar beliau mau datang kepada anaknya (cucu beliau) yang meninggal dunia. Usamah bin Zaid radliyallahu anhuma berkata:

كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَسُولُ إِحْدَى بَنَاتِهِ يَدْعُوهُ إِلَى ابْنِهَا فِي الْمَوْتِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْجِعْ إِلَيْهَا فَأَخْبِرْهَا أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ فَأَعَادَتْ الرَّسُولَ أَنَّهَا قَدْ أَقْسَمَتْ لَتَأْتِيَنَّهَا فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَامَ مَعَهُ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ فَدُفِعَ الصَّبِيُّ إِلَيْهِ وَنَفْسُهُ تَقَعْقَعُ كَأَنَّهَا فِي شَنٍّ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ فَقَالَ لَهُ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذَا قَالَ هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

“Kami di sisi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tiba-tiba datanglah utusan salah seorang putri beliau untuk mengundang beliau agar mendatangi putranya (cucu beliau, pen) yang berada dalam kematian. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Pulanglah kepadanya! Dan beritahu dia bahwa milik Allah apa yang Ia ambil dan milik-Nya pula apa yang Ia berikan. Setiap sesuatu di sisi-Nya adalah sesuai dengan ajal yang ditentukan. Perintahkan ia agar bersabar dan mengharap ridla-Nya!” Kemudian utusan itu mendatangi beliau kedua kalinya dan bersumpah agar beliau mau mendatangi putri beliau. Maka beliau berangkat dan disertai oleh Sa’ad bin Ubadah dan Mu’adz bin Jabal. (Ketika sampai di rumah putri beliau, pen) anak tersebut diserahkan kepada beliau. Jiwa beliau bergetar seperti air yang dituangkan ke dalam kirbah. Kemudian beliau meneteskan air mata. Maka Sa’ad bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah! Apakah ini?” Beliau menjawab: “Ini adalah rahmat yang dijadikan oleh Allah  di hati-hati hamba-Nya. Sesungguhnya Allah hanyalah menyayangi mereka yang penyayang di kalangan hamba-hamba-Nya.” (HR. Al-Bukhari: 6829, Muslim: 1531, an-Nasai: 1845, Ibnu Majah: 1577).

Faedah hadits:

Pertama: hadits di atas menunjukkan bahwa amalan takziyah tidak menggunakan undangan sebagaimana amalan menjenguk orang sakit. Jika saudara kita terkena kesusahan, maka kita dianjurkan membantu dan menghiburnya tanpa menunggu undangan.

Kedua: beliau tidak mau menghadiri –pada kali pertama undangan- karena khawatir akan adanya acara ma’tam. Ini karena acara ma’tam itu termasuk jenis walimah dan memerlukan undangan (semacam tradisi is’ad, pen).

Ketiga: cucuran air mata tidak termasuk meratapi mayit selagi tidak disertai suara ratapan. Oleh karena itu al-Imam Abu Bakar al-Baihaqi (wafat 458 H) rahimahullah menyatakan:

وفي كل ذلك مع غيره دلالة على جواز البكاء قبل الموت وبعده بلا ندب  ولا نياحة ولا مأتم.

“Dan dalam semua hadits tadi dan juga hadits lainnya terdapat dalil atas bolehnya menangisi (mayit) sebelum ia mati ataupun sesudahnya dengan tanpa sanjungan, tanpa niyahah (ratapan, pen) dan tanpa acara ma’tam (selamatan kematian, pen).” (Ma’rifatus Sunan wal Atsar: 2353 (6/316)).

Keempat: pentakziyah cukup mengucapakan ucapan bela sungkawa sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits di atas sambil menasihati agar bersabar.

Kelima: kedatangan beliau di rumah putri beliau –setelah diminta dengan sangat- adalah sebagai bentuk ta’liful qulub (menjinakkan hati umat). Wallahu a’lam.

Selain menjadi pendapat ulama Syafi’iyah, larangan mengadakan open house untuk menerima pentakziyah juga menjadi pendapat ulama Malikiyah. Al-Imam Abu Bakar ath-Thurthusyi al-Maliki rahimahullah menyatakan:

قال علماؤنا المالكيون: التصدي للعزاء بدعة ومكروه، فأما إن قعد في بيته أو في المسجد محزونا من غير أن يتصدى للعزاء؛ فلا بأس به؛ فإنه «لما جاء النبي صلى الله عليه وسلم نعي جعفر؛ جلس في المسجد محزونا، وعزاه الناس»

“Para ulama kami yang bermadzhab Maliki berkata: “Mempersiapkan diri untuk menerima para pentakziyah adalah bid’ah dan dibenci. Adapun jika ia duduk di rumahnya atau di masjid dalam keadaan bersedih tanpa mempersiapkan diri untuk dikunjungi pentakziyah, maka ini tidak apa-apa. Ini karena ada hadits bahwa ketika berita kematian Ja’far datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka beliau duduk di masjid dalam keadaan bersedih. Orang-orang mengucapkan bela sungkawa kepada beliau.” (Al-Hawadits wal Bida’: 170).

Hadits yang dibawakan oleh ath-Thurthusyi di atas diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radliyallahu anha, ia berkata:

لَمَّا قُتِلَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ وَجَعْفَرٌ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ يُعْرَفُ فِي وَجْهِهِ الْحُزْنُ..الخ

“Ketika Zaid bin Haritsah, Ja’far dan Abdullah bin Rawahah terbunuh, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk di masjid. Kesedihan tampak pada wajah beliau..dst.” (HR. Abu Dawud: 2715, Ahmad: 23177, al-Baihaqi dalam al-Kubra: 7337 (4/59) dan di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud: 3122).

Salah Tulis dan Salah Cetak

Sebagian kaum belakangan menyatakan bahwa hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali radliyallahu anhu –yang menjelaskan larangan menjamu makanan di rumah si mayit- bertentangan dengan hadits Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari sahabat Anshar yang membolehkan membuat jamuan di rumah mayit. Di antaranya adalah al-Allamah Ahmad bin Muhammad ath-Thahthawi al-Hanafi (wafat tahun 1231 H) rahimahullah. Beliau berkata:

إنما يدل على كراهة ذلك عند الموت فقط على أنه قد عارضه ما رواه الإمام أحمد أيضا بسند صحيح وأبو داود عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فلما رجع استقبله داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه الحديث فهذا يدل على إباحة صنع أهل الميت الطعام والدعوة إليه

“(Hadits Jarir) hanyalah menunjukkan dibencinya membuat acara jamuan di hari kematian saja. Dan hadits ini bertentangan dengan hadits riwayat Ahmad dengan sanad shahih dan Abu Dawud dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari seorang dari  Anshar. Ia berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dalam acara (penguburan) jenazah. Ketika beliau pulang, datanglah seorang pengundang dari istri si mayit. Maka beliau mendatangi undangan tersebut. Kemudian hidangan didatangkan. Maka beliau meletakkan tangan beliau dan orang-orang pun meletakkan tangan mereka pada hidangan. Kemudian mereka makan sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memutar suapan di mulut beliau.. al-hadits.” Maka ini menunjukkan bolehnya keluarga mayit membuat hidangan dan mengundang orang.” (Hasyiyah ath-Thahthawi ala Muraqil Falah: 410).

Jawaban:

Ini adalah contoh kesalahan penulisan. Jika seseorang ingin bersikap objektif dalam diskusi, maka hendaklah merujuk kepada kitab-kitab hadits induk semisal Kutubus Sittah, Musnad Ahmad, Sunan al-Baihaqi, ad-Daraquthni dan sebagainya. Janganlah ia mencukupkan diri hanya dengan kitab-kitab ringkasan hadits seperti kitab Misykatul Mashabih dan sebagainya. Kesalahan penulisan tersebut terjadi pada kitab Misykatul Mashabih.

Al-Allamah Abuth Thayyib al-Azhim Abadi (wafat tahun 1329 H) rahimahullah berkata:

(داعي امرأة) كذا في النسخ الحاضرة وفي المشكاة )داعي امرأته( بالإضافة إلى الضمير قال القارىء أي زوجة المتوفي

“Kata “seorang pengundang dari seorang wanita” demikian dalam naskah-naskah (kitab-kitab induk) yang ada. Sedangkan dalam kitab Misyakatul Mashabih tertulis “seorang pengundang dari istrinya” dengan idhafah kepada dhomir (kata ganti ketiga). al-Qari berkata: “Maksudnya adalah istri si mayit.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud: 9/129).

Padahal di dalam Sunan Abu Dawud tertulis:

فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ

“Ketika beliau pulang, datanglah seorang pengundang dari seorang wanita. Maka beliau mendatangi undangan tersebut.” (HR. Abu Dawud: 2894).

Di dalam as-Sunanul Kubra karya al-Baihaqi juga tertulis:

فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِى امْرَأَةٍ فَجَاءَ

“Ketika beliau pulang, datanglah seorang pengundang dari seorang wanita. Maka beliau mendatangi undangan tersebut.” (HR. Al-Baihaqi dalam al-Kubra: 11140 (5/335)).

Bahkan di dalam Musnad Ahmad tertulis:

فَلَمَّا رَجَعْنَا لَقِيَنَا دَاعِي امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فُلَانَةَ تَدْعُوكَ وَمَنْ مَعَكَ إِلَى طَعَامٍ

“Ketika kami pulang, kami ditemui oleh seorang pengundang dari seorang wanita dari Quraisy. Ia berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Fulanah mengundangmu dan orang-orang yang bersamamu kepada suatu jamuan…” (HR. Ahmad: 21471).

Dalam Sunan ad-Daraquthni juga tertulis:

فلما انصرف تلقاه داعي امرأة من قريش

“Ketika beliau pulang, datanglah seorang pengundang dari seorang wanita dari Quraisy.” (HR. Ad-Daraquthni: 54 (4/285)).

Al-Allamah Ubaidullah al-Mubarakfuri (pen-syarah Kitab Misykat, wafat tahun 1414 H) rahimahullah berkata:

وهذا كله يدل على أن الصحيح في حديث عاصم بن كليب هذا لفظ “داعي امرأة” منوناً، أي بغير إضافة امرأة إلى الضمير المجرور، بل بإسقاط الضمير، وعلى هذا فلا مخالفة بين الحديثين، وهذا ظاهر لا يحتاج إلى التفكر والتأمل

“Ini semua menunjukkan bahwa yang benar di dalam hadits Ashim bin Kulaib ini adalah lafazh “pengundang dari seorang wanita” dengan ditanwin, tanpa di-idhafah-kan kepada dhamir majrur, tetapi dengan menggugurkan dhamir (kata ganti ketiga). Jika demikian, maka tidak ada pertentangan antara hadits Jarir dan hadits Kulaib. Dan ini jelas, tidak membutuhkan tafakkur dan perhatian!!” (Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 5/481).

Maksudnya yang benar adalah lafazh “pengundang dari seorang wanita”, bukan lafazh “pengundang dari istrinya (si mayit, pen)”.

Untuk kisah lebih lengkapnya, di dalam as-Sunanul Kubra tertulis:

عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ الْجَرْمِىِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ مُزَيْنَةَ قَالَ : صَنَعَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- طَعَامًا فَدَعَتْهُ وَأَصْحَابَهُ ..الخ

“Dari Ashim bin Kulaib al-Jarmi dari ayahnya dari seorang laki-laki dari Muzainah. Ia berkata: “Seorang wanita muslimin dari Quraisy membuat hidangan makanan untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kemudian wanita tersebut mengundang beliau dan para sahabat beliau..dst.” (HR. Al-Baihaqi dalam al-Kubra: 11861 (6/97)).

Sedangkan kisah dalam Syarh Musykilil Atsar tertulis:

عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ الْجَرْمِيُّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: حَسِبْتُهُ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ: سَقَطَ فِي كِتَابِي عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ لَا أَعْرِفُ اسْمَهُ، أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةٍ , فَلَقِيَهُ رَسُولُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ يَدْعُوهُ إِلَى طَعَامٍ..الخ

“Dari Ashim bin Kulaib al-Jarmi dari ayahnya dari seorang laki-laki dari Anshar yang tidak kukenal namanya bahwa ia bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam suatu urusan jenazah. Maka beliau ditemui oleh seorang utusan dari wanita dari Quraisy yang mengundang beliau kepada suatu jamuan makanan..dst.” (HR. Ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil Atsar: 3005 (7/455)).

Kisah di atas sama sekali tidak berhubungan dengan hidangan untuk kematian atau acara ma’tam dan wanita Quraisy bukanlah istri dan juga bukan keluarga si mayit. Maka kisah di atas tidak menunjukkan bolehnya mengadakan acara ‘ma’tam’ atau ‘wadhimah’, tetapi menunjukkan bolehnya menghadiri undangan selain dari keluarga mayit. Sehingga apabila sehabis mengikuti prosesi pemakaman jenazah, kita diperbolehkan menghadiri undangan orang lain seperti walimah, khitanan atau aqiqah.

Dan kesalahan cetak atau kesalahan tulis ini rupanya dijadikan landasan dan disebarkan oleh orang-orang yang memperbolehkan acara selamatan kematian Ini menunjukkan bahwa mereka itu tidak berpegang kepada al-Hadits tetapi berhujjah dengan kesalahan penulisan atau ketergelinciran seorang ulama.

Ratsa’ Mubah dan Ratsa’ Jahiliyah

Ar-Ratsa’ adalah memuji dan menghitung kebaikan mayit. Al-Allamah Badruddin al-Aini al-Hanafi  (wafat athun 855 H) rahimahullah berkata:

الرثاء بكسر الراء وتخفيف الثاء المثلثة ممدودا من رثيت الميت مرثية إذا عددت محاسنه

“Ar-Ratsa’ dari kalimat “Ratsaitul mayyit martsiyah”, yaitu jika kamu menghitung kebaikan-kebaikan mayit.” (Umdatul Qari: 12/321).

Secara asal hukum memuji kebaikan-kebaikan mayit adalah diperbolehkan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan ‘ar-ratsa’ atas Sa’ad bin Khaulah radhiyallahu anhu –seorang sahabat muhajirin- yang meninggal dunia di Makkah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَكِنْ الْبَائِسُ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ يَرْثِي لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ

“Tetapi yang kasihan adalah Sa’ad bin Khaulah” Perawi berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebut kebaikan-kebaikannya dan menyayangkan kematiannya di Makkah.” (HR. Al-Bukhari: 1213, at-Tirmidzi: 2042, Abu Dawud: 2480 dari Sa’ad bin Abi Waqqash radliyallahu anhu).

Di antara kalimat ar-ratsa’ yang dilantunkan oleh Sayyidah Fathimah alaihassalam atas kematian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

يَا أَبَتَاهُ أَجَابَ رَبًّا دَعَاهُ يَا أَبَتَاهْ مَنْ جَنَّةُ الْفِرْدَوْسِ مَأْوَاهْ يَا أَبَتَاهْ إِلَى جِبْرِيلَ نَنْعَاهْ

“Duhai ayah yang telah memenuhi panggilan Rabbnya! Duhai ayah yang bertempat di surga Firdaus! Duhai ayah kepada Jibril kami sampaikan berita kematiannya!” (HR. Al-Bukhari: 4103, Nasai: 1821, Ahmad: 12558 dari Anas radliyallahu anhu).

Al-Allamah Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi as-Sindi al-Hanafi (wafat tahun 1138 H) rahimahullah berkata:

وَقَالَ الْخَطَّابِيُّ إِنَّمَا كُرِهَ مِنْ الْمَرَاثِي النِّيَاحَة عَلَى مَذْهَب الْجَاهِلِيَّة فَأَمَّا الثَّنَاء وَالدُّعَاء لِلْمَيِّتِ فَغَيْر مَكْرُوه لِأَنَّهُ رُثِيَ غَيْر وَاحِد مِنْ الصَّحَابَة وَذُكِرَ فِيهِ وَفِي الصَّحَابَة كَثِير مِنْ الْمَرَاثِي ا ه

“Al-Khaththabi berkata: “Perkara ar-ratsa’ yang dibenci adalah ratapan menurut madzhab Jahiliyah. Adapun memuji dan mendoakan mayit, maka itu tidak dibenci, karena banyak sahabat yang melakukannya dan mereka mempunyai banyak ar-ratsa’.” Selesai.” (Hasyiyah as-Sindi ala Sunan Ibni Majah: 3/365).

Contohnya adalah jika ada jenazah melewati depan rumah, kita dianjurkan untuk memujinya dan mendoakannya. Abul Aswad ad-Daili rahimahullah berkata:

قَدِمْتُ المَدِينَةَ وَقَدْ وَقَعَ بِهَا مَرَضٌ، فَجَلَسْتُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَمَرَّتْ بِهِمْ جَنَازَةٌ، فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا خَيْرًا، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَجَبَتْ، ثُمَّ مُرَّ بِأُخْرَى فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا خَيْرًا، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَجَبَتْ، ثُمَّ مُرَّ بِالثَّالِثَةِ فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا شَرًّا، فَقَالَ: وَجَبَتْ، فَقَالَ أَبُو الأَسْوَدِ: فَقُلْتُ: وَمَا وَجَبَتْ يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ؟ قَالَ: قُلْتُ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَيُّمَا مُسْلِمٍ، شَهِدَ لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ الجَنَّةَ»

“Aku datang ke Madinah sedangkan di sana terdapat wabah penyakit. Maka aku duduk ke majelis Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu. Kemudian sebuah jenazah lewat, lalu dipuji kebaikan atasnya. Maka Umar berkata: “Telah wajib.” Kemudian lewat lagi jenazah yang lainnya dan dipuji kebaikan atasnya. Maka Umar berkata: “Telah wajib.” Kemudian lewat jenazah yang ketiga dan dicela kejelekan atasnya. Maka Umar berkata: “Telah wajib.” Maka aku bertanya: “Telah wajib apakah, wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab: “Aku berkata seperti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata serupa: “Seorang muslim manapun jika jenazahnya disaksikan kebaikan atasnya oleh empat orang, maka Allah akan memasukkannya ke surga.” (HR. Al-Bukhari: 1368 dan Ahmad: 318).

Akan tetapi jika ar-Ratsa’ dilakukan secara berlebihan atau dikumandangkan pada acara ‘ma’tam’ dan wadhimah, maka hukumnya menjadi terlarang karena menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyah.

Diriwayatkan bahwa:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمَرَاثِي

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang dari perbuatan ar-ratsa’.” (HR. Ibnu Majah: 1587, Ahmad: 18351 dari Ibnu Abi Aufa radliyallahu anhu. Di dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Muslim al-Hajari. Ia dhaif haditsnya).

Di antara tempat dilarangnya ar-Ratsa’ adalah jika memuji dan mendoakan mayit dilakukan dengan cara berkumpul di dalam acara selamatan kematian atau ma’tam.

Al-Allamah Syihabuddin al-Qasthalani asy-Syafi’i (wafat tahun 923 H) rahimahullah berkata:

والأوجه حمل النهي عن ذلك، على ما يظهر فيه تبرم، أو: على فعله مع الاجتماع له، أو: على الإكثار منه، أو: على ما يجدد الحزن دون ما عدا ذلك، فما زال كثير من الصحابة وغيرهم من العلماء يفعلونه.

“Pendapat yang paling kuat adalah memahami larangan ar-Ratsa’ (memuji kebaikan mayit) jika disertai ketidakrelaan terhadap takdir, atau jika dilakukan dengan cara berkumpul (dalam acara ma’tam, pen), atau memperbanyak ratsa’ secara berlebihan, atau yang memperbaharui kesedihan, bukan karena yang lainnya. Karena para sahabat dan selain mereka dari kalangan ulama melakukannya.” (Irsyadus Sari li Syarhil Bukhari: 2/378).

Demikian pula menurut al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata:

وَيَظْهَرُ حَمْلُ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ عَلَى مَا يَظْهَرُ فِيهِ تَبَرُّمٌ أَوْ عَلَى فِعْلِهِ مَعَ الِاجْتِمَاعِ لَهُ أَوْ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنْهُ أَوْ عَلَى مَا يُجَدِّدُ الْحُزْنَ دُونَ مَا عَدَا ذَلِكَ فَمَا زَالَ كَثِيرٌ مِنْ الصَّحَابَةِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الْعُلَمَاءِ يَفْعَلُونَهُ

“Dan jelaslah bahwa larangan melakukan ar-ratsa’ (memuji kebaikan mayit) difahami atas rotsa’ yang menampakkan ketidakrelaan terhadap taqdir, atau rotsa’ yang dilakukan pada acara berkumpul (ma’tam) atasnya, atau memperbanyak ratsa’ secara berlebihan, atau yang memperbaharui kesedihan, bukan yang lainnya. Karena para sahabat dan selain mereka dari kalangan ulama melakukannya.” (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj: 11/299).

Dari sini berlaku kaedah fikih:

الأمور بمقاصدها

“Segala perkara dinilai berdasarkan tujuannya.” (Al-Asybah wan Nazhair lis Subki: 1/65, al-Asybah wan Nazhair lis Suyuthi: 8).

Maksudnya adalah bahwa perkara yang dituju bukanlah semata-mata ar-ratsa’ atau memuji kebaikan mayit, tetapi yang menjadi tujuan adalah mengisi acara ma’tam (selamatan kematian) dengan kegiatan tersebut.

Dari sini terdapat faedah bahwa membacakan pujian atau biografi para tokoh atau ulama adalah diperbolehkan bahkan dianjurkan agar diteladani oleh generasi berikutnya. Akan tetapi hukumnya menjadi terlarang jika dilakukan dalam majelis ma’tam (selamatan kematian) karena yang dituju adalah bukan semata-mata memuji ulama akan tetapi meramaikan acara jahiliyah. Wallahu a’lam.

Membaca al-Quran pada Acara Ma’tam

Jika selamatan kematian tidak diisi denga ar-ratsa’, tetapi diganti dengan bacaan al-Quran, maka bagaimana menyikapinya?

Jawaban:

Sama saja. Membaca al-Quran di acara ma’tam menjadi terlarang meskipun secara asal dianjurkan. Al-Allamah Ibnu Abidin al-Hanafi (wafat tahun 1252 H) rahimahullah berkata:

وَفِي الْإِمْدَادِ : وَقَالَ كَثِيرٌ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَئِمَّتِنَا يُكْرَهُ الِاجْتِمَاعُ عِنْدَ صَاحِبِ الْبَيْتِ وَيُكْرَهُ لَهُ الْجُلُوسُ فِي بَيْتِهِ حَتَّى يَأْتِيَ إلَيْهِ مَنْ يُعَزِّي ، بَلْ إذَا فَرَغَ وَرَجَعَ النَّاسُ مِنْ الدَّفْنِ فَلْيَتَفَرَّقُوا وَيَشْتَغِلُ النَّاسُ بِأُمُورِهِمْ وَصَاحِبُ الْبَيْتِ بِأَمْرِهِ ا هـ . قُلْت : وَهَلْ تَنْتَفِي الْكَرَاهَةُ بِالْجُلُوسِ فِي الْمَسْجِدِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ حَتَّى إذَا فَرَغُوا قَامَ وَلِيُّ الْمَيِّتِ وَعَزَّاهُ النَّاسُ كَمَا يُفْعَلُ فِي زَمَانِنَا؟ الظَّاهِرُ لَا لِكَوْنِ الْجُلُوسِ مَقْصُودًا لِلتَّعْزِيَةِ لَا الْقِرَاءَةِ وَلَا سِيَّمَا إذَا كَانَ هَذَا الِاجْتِمَاعُ وَالْجُلُوسُ فِي الْمَقْبَرَةِ فَوْقَ الْقُبُورِ الْمَدْثُورَةِ ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ

“Di dalam kitab al-Imdad disebutkan: “Kebanyakan imam kita yang muta’akhirin berpendapat: “Dibenci mengadakan perkumpulan (acara ma’tam, pen) di rumah keluarga mayit. Dan dibenci baginya duduk di rumahnya (dalam rangka mempersiapkan diri untuk ditakziyahi, pen) sehingga orang-orang yang bertakziyah berdatangan kepadanya. Tetapi (yang disyariatkan, pen) jika telah selesai dan manusia pulang dari penguburan, maka hendaknya mereka bubar. Manusia menyibukkan diri dengan urusannya dan keluarga mayit juga sibuk dengan urusannya.” Selesai.

Aku berkata: “Dan apakah dibencinya (mempersiapkan diri untuk menerima takziyah, pen) menjadi hilang jika acara tersebut dilakukan di masjid dengan membaca al-Quran. Sehingga ketika mereka (pentakziyah, pen) selesai membaca al-Quran, wali si mayit berdiri dan diberi ucapan takziyah oleh mereka sebagaimana yang dilakukan di jaman kita ini. Yang jelas (bahwa dibencinya acara ini, pen) tidak hilang karena yang dituju dalam acara ini adalah mengadakan acara takziyah bukan membaca al-Quran. Apalagi jika pertemuan ini (acara ma’tam, pen) dan duduk menerima takziyah dilakukan di kuburan di atas kuburan yang ditutupi. Laa haula walaa quwwata illa billah.” (Ar-Raddul Mukhtar alad Durril Mukhtar: 6/397).

Ini karena Ibnu Abidin menggunakan kaedah:

الأمور بمقاصدها

“Segala perkara dinilai berdasarkan tujuannya.” (Al-Asybah wan Nazhair lis Subki: 1/65, al-Asybah wan Nazhair lis Suyuthi: 8).

Sehingga sebuah acara ma’tam, meskipun diisi dengan kegiatan-kegiatan yang secara asal disyariatkan –seperti membaca al-Quran, shalat berjamaah, dzikir, pengajian Bulughul Maram, dan sebagainya- tetaplah disebut acara ma’tam yang dilarang. Ini karena yang dituju pada kegiatan ini adalah mengadakan acara ma’tam. Wallahu a’lam.

Oleh karena itu al-Allamah Sulaiman al-Bujairami asy-Syafi’i (wafat tahun 1221 H) rahimahullah –dari kalangan Syafi’iyah- mengharamkan makanan yang disajikan untuk orang yang membaca al-Quran dan khataman di acara selamatan kematian atau ma’tam. Beliau menyatakan:

وَمِثْلُ الْوَحْشَةِ الْمَذْكُورَةِ مَا يُعْمَلُ لِلْمُقْرِئِينَ مِنْ الْأَطْعِمَةِ وَغَيْرِهَا كَالسَّبْحِ وَالْجَمْعِ فَهُوَ حَرَامٌ أَيْضًا وَكَذَا الْكَفَّارَةُ الْمَعْرُوفَةُ.

“Dan seperti acara Wahsyah (sejenis selamatan kematian, pen) yang telah disebutkan, adalah hidangan makanan yang dibuat untuk orang-orang yang membacakan al-Quran, seperti dalam acara as-Sabh dan al-Jama’ (istilah untuk selamatan kematian, pen). Maka itu haram juga. Demikian pula (hidangan untuk para pembaca al-Quran, pen) untuk acara al-Kaffarah yang dikenal.” (Hasyiyah al-Bujairami alal Khathib: 6/197).

Yang demikian karena mengisi acara ma’tam dengan membaca al-Quran dan khataman tidak pernah dilakukan oleh as-Salaf. Al-Allamah Ibnul Muflih al-Hanbali (wafat tahun 763 H) rahimahullah menukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:

جَمْعُ أَهْلِ الْمُصِيبَةِ النَّاسَ عَلَى طَعَامٍ لِيَقْرَءُوا وَيُهْدُوا لَهُ لَيْسَ مَعْرُوفًا فِي السَّلَفِ

“Mengumpulkan manusia oleh keluarga mayit untuk menghadiri jamuan makan, dalam rangka membacakan (al-Quran dan dzikir tertentu seperti tahlilan, pen) dan menghadiahkan pahalanya untuknya (mayit, pen), tidak dikenal di masa as-Salaf.” (Al-Furu’: 3/360).

Dan ini yang paling penting, yaitu ritual membaca al-Quran dan dzikir di acara ma’tam untuk dihadiahkan kepada mayit adalah bid’ah.

Berhujah dengan Atsar al-Imam Thawus

Mereka –yang mendukung acara selamatan kematian- merasa mendapatkan angin baru untuk meng-absahkan perbuatan mereka dengan adanya atsar dari al-Imam Thawusbin Kaisan (wafat tahun 106 H) rahimahullah. Atsar tersebut diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam Kitab az-Zuhud. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata:

وقال أحمد في الزهد حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعي عن سفيان قال قال طاوس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعاً فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

“Ahmad berkata dalam az-Zuhud: “Telah menceritakan kepada kami Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepada kami al-Asyja’i dari Sufyan, ia berkata bahwa Thawus berkata: “Sesungguhnya orang-orang mati itu mendapatkan fitnah (pertanyaan Munkar dan Nakir) di kubur mereka selama 7 hari. Mereka senang memberikan makan atas nama mereka (orang-orang mati) pada hari-hari tersebut.” (Al-Mathalibul Aliyah bi Zawaid al-Masanid ats-Tsamaniyah: 834 (5/330)).

Atsar di atas juga diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Nu’aim rahimahullah dari jalan al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Hilyatul Auliya’ (4/11).

Jawaban:

Atsar tersebut dhaif karena Sufyan ats-Tsauri tidak pernah bertemu Thawus bin Kaisan. Oleh karena itu al-Allamah Syamsuddin Abul Aun as-Safaraini al-Hanbali (wafat tahun 1188 H) rahimahullah berkata:

 رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي الزُّهْدِ وَكَذَا أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ إِلَّا أَنَّهُ مُرْسَلٌ

“(Atsar ini) diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam az-Zuhud demikian pula Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dengan sanad shahih tetapi mursal (terputus antara Sufyan ats-Tsauri dan Thawus, pen).” (Lawami’ul Anwaril Bahiyyah fi Aqdil Firqatil Mardhiyah: 2/9).

Asy-Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir asy-Syasyri –pentahqiq kitab al-Mathalaibul Aliyah- hafizhahullah berkata:

رجاله كلهم ثقات إلا أنه منقطع بين سفيان وطاوس. فهو ضعيف.

“Semua perawinya adalah orang-orang tsiqat, hanya saja munqathi’ (terputus) antara Sufyan dan Thawus. Sehingga atsar ini dhaif.” (Tahqiq al-Mathalib al-Aliyah bi Zawaid al-Masanid ats-Tsamaniyah li Ibni Hajar: 834 (5/330)).

Sedangkan hadits munqathi’ (terputus) termasuk kategori hadits dhaif. Al-Allamah Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i (wafat tahun 804 H) rahimahullah berkata:

قال الجورقاني في أول الموضوعات المعضل عندنا أسوأ حالا من المنقطع والمنقطع عندنا أسوأ حالا من المرسل والمرسل عندنا لا تقوم به حجة

“Al-Jauzaqani berkata di awal kitab al-Maudhu’at: “Hadits mu’dhal (hadits yang gugur dua orang perawi atau lebih, pen) lebih jelek keadaannya daripada hadits munqathi’ (hadits yang gugur seorang perawinya, pen). Hadits munqathi’ lebih jelek keadaannya daripada hadits mursal. Dan hadits mursal menurut kami tidak bisa dijadikan hujah.” (Al-Muqni’ fi Mushthalah al-Hadits: 148).

Maka jika sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang sanadnya mursal saja tidak bisa dijadikan hujah, maka bagaimana dengan ucapan seorang tabi’in yang mursal? Sehingga atsar Thawus di atas adalah dhaif. Wallahu a’lam.

Berhujah dengan Atsar Ubaid bin Umair

Di antara atsar yang dijadikan sandaran oleh mereka yang mendukung selamatan kematian adalah atsar Ubaid bin Umair rahimahullah.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr al-Andalusi al-Maliki (wafat tahun 463 H) rahimahullah menyatakan:

وكان عبيد بن عمير فيما ذكر ابن جريج عن الحرث بن أبي الحرث عنه يقول يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا

Sedangkan Ubaid bin Umair –sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Juraij dari al-Harits bin Abil Harits darinya- berkata: “Yang mendapatkan fitnah (pertanyaan) kubur itu 2 orang, orang mukmin dan orang munafik. Adapun orang mukmin, maka ia mendapatkan pertanyaan selama 7 hari. Adapun orang munafik, maka ia ditanya selama 40 hari…” (At-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid: 22/251).

Penulis berkata: Bisa jadi kata ‘Ubaid bin Umair’ dalam riwayat di atas merupakan tash-hif (kesalahan penulisan) dari kata ‘Abdullah bin Umar’. Demikianlah bahwa yang disebutkan dalam al-Mushannaf karya al-Imam Abdur Razzaq ash-Shan’ani rahimahullah adalah ‘Abdullah bin Umar’ bukan ‘Ubaid bin Umair’. Wallahu a’lam

Al-Imam Abdur Razzaq ash-Shan’ani (wafat tahun 211 H) rahimahullah berkata:

عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: إِنَّمَا يُفْتتَنُ رَجُلَانِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ، «أَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَلَا يُسْأَلُ عَنْ مُحَمَّدٍ وَلَا يَعْرِفُهُ». قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: وَأَنَا أَقُولُ: قَدْ قِيلَ فِي ذَلِكَ، فَمَا رَأَيْنَا مِثْلَ إِنْسَانٍ أَغْقَلَ هَالِكُهُ سَبْعًا أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْهُ

“Abdur Razzaq dari Ibnu Juraij. Ia berkata: “Abdullah bin Umar berkata: “Yang difitnah (ditanyai di kuburnya, pen) hanyalah 2 orang, yaitu orang mukmin dan orang munafik. Adapun orang mukmin, maka ia ditanya selama 7 hari. Adapun orang munafik, maka ia ditanya selama 40 hari. Adapun orang kafir, maka ia tidak ditanya tentang Muhammad dan ia tidak mengetahuinya.” Ibnu Juraij berkata: “Dan aku berkata: “(Konon) dikatakan demikian dalam berita ini. Maka kami berpendapat seperti manusia yang ditakutkan binasanya pada 7 hari tersebut untuk dikirimkan (pahala) sedekah kepadanya.” (Atsar riwayat Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 6757 (3/590)).

Jawaban:

Pertama: Atsar di atas adalah dhaif (lemah) karena adanya Ibnu Juraij yang merupakan seorang mudallis (orang yang suka menyembunyikan periwayatan).

Al-Imam ad-Daraquthni (wafat tahun 385 H) rahimahullah berkata:

تجنب تدليس ابن جريج فإنه قبيح التدليس لا يدلس إلا فيما سمعه من مجروح مثل ابراهيم بن أبي يحيى وموسى بن عبيدة وغيرهما وأما ابن عيينة فكان يدلس عن الثقات

“Jauhilah tad-lis yang dilakukan oleh Ibnu Juraij. Karena ia adalah buruk tad-lisnya. Ia tidaklah melakukan tadlis (menyembunyikan periwayatan) kecuali dari perawi yang di-jarh (dicela karena dhaifnya) seperti Ibrahim bin Abi Yahya, Musa bin Ubaidah dan lainnya. Adapun Ibnu Uyainah, maka ia tidak melakukan tad-lis kecuali dari orang-orang yang tsiqat.” (Tahdzibut Tahdzib: 6/360).

Al-Imam Ahmad berkata:

إذا قال ابن جريج قال فلان وقال فلان وأخبرت جاء بمناكير وإذ قال أخبرني وسمعت فحسبك به

“Jika Ibnu Juraij berkata “Fulan telah berkata dan Fulan telah berkata” dan “Aku diberitahu”, maka ia datang dengan riwayat-riwayat mungkar. Jika ia berkata “telah menceritakan kepadaku” dan “Aku telah mendengar”, maka cukuplah bagimu.” (Tahdzibut Tahdzib: 6/359, Siyar A’lamin  Nubala’: 6/328).

Di antara ulama yang melemahkan atsar Ibnu Juraij di atas adalah al-Allamah Abul Hasan Ali bin Ahmad al-Adawi al-Maliki (wafat tahun 1189 H) rahimahullah. Beliau menyatakan:

الْأَخْبَارُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْفِتْنَةَ مَرَّةً وَاحِدَةً وَعَنْ بَعْضِهِمْ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُفْتَنُ سَبْعًا وَالْمُنَافِقَ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا

“Hadits-hadits menunjukkan bahwa fitnah kubur itu berlangsung sekali saja. Dan diriwayatkan dari sebagian Salaf bahwa seorang mukmin itu ditanya selama 7 hari dan munafik ditanya selama 40 hari.” (Hasyiyah al-Adawi ala Kifayah ath-Thalib ar-Rabbani li Risalah Abi Zaid al-Qairuwani: 1/136).

Beliau meneruskan ucapannya:

)قَوْلُهُ : وَعَنْ بَعْضِهِمْ ( كَلَامُهُ يُؤْذَنُ بِضَعْفِهِ

“Ucapan matan “Dan diriwayatkan dari sebagian Salaf”. Ucapan ini menunjukkan dhaifnya (lemahnya) riwayat tersebut.” (Hasyiyah al-Adawi ala Syarh Kifayah ath-Thalib ar-Rabbani: 1/321).

Kedua: atsar tersebut bertentangan dengan banyak hadits shahih. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata:

ومستندهم في ذلك ما رواه عبد الرزاق من طريق عبيد بن عمير أحد كبار التابعين قال إنما يفتن رجلان مؤمن ومنافق وأما الكافر فلا يسأل عن محمد ولا يعرفه وهذا موقوف والأحاديث الناصة على أن الكافر يسأل مرفوعة مع كثرة طرقها الصحيحة فهي أولى بالقبول

“Dan sandaran mereka (orang yang berpendapat bahwa orang kafir tidak ditanya di kuburnya) adalah atsar riwayat Abdur Razzaq dari jalan Ubaid bin Umair –salah seorang tabi’in senior- bahwa ia berkata: “Yang difitnah (ditanyai di kuburnya, pen) hanyalah 2 orang, yaitu orang mukmin dan orang munafik. Adapun orang mukmin, maka ia ditanya selama 7 hari. Adapun orang munafik, maka ia ditanya selama 40 hari. Adapun orang kafir, maka ia tidak ditanya tentang Muhammad dan ia tidak mengetahuinya.” Atsar ini hanyalah mauquf. Sedangkan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa orang kafir juga ditanya adalah marfu’ (sampai ke Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, pen) dengan banyaknya jalan yang shahih. Maka ini (hadits marfu’ yang shahih yang banyak jalannya, pen) lebih pantas diterima (daripada atsar Ubaid bin Umair, pen).” (Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari: 3/238-9).

Ketiga: anjuran memberi makan –jika diartikan sebagai selamatan kematian atau acara ma’tam- bertentangan dengan hadits shahih dan ijma’ as-Salaf tentang bid’ahnya acara ini. Dalam suatu kaidah, jika sesuatu sudah dikenal sebagai perkara bid’ah, maka kebid’ahannya tidak bisa dibatalkan oleh penukilan yang syadz (ganjil dan menyendiri).

Al-Allamah Muhammad bin Yusuf al-Maliki yang terkenal dengan Imam al-Mawwaq (wafat tahun 897 H) rahimahullah berkata:

اُنْظُرْ مِنْ هَذَا الْمَعْنَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ الْأُصُولِيُّونَ أَنَّ مَا تَتَوَفَّرُ فِيهِ الدَّوَاعِي عَلَى نَقْلِهِ فَنُقِلَ مِنْ وَجْهٍ شَاذٍّ فَإِنَّهُ لَا يُسْمَعُ

“Lihatlah dari makna ini apa yang telah dijelaskan oleh para ulama usul fikih bahwa perkara yang mempunyai banyak dorongan atau motivasi untuk dinukilkan (seperti selamatan kematian, pen), kemudian ternyata dinukilkan melalui jalan yang syadz (ganjil, pen), maka penukilan tersebut tidak perlu didengar.” (At-Taaj wal Iklil li Mukhtashar Khalil: 11/217).

Sikap as-Suyuthi

Al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi (wafat tahun 911 H) rahimahullah mempunyai pendapat tersendiri dalam masalah ini. Beliau sangat kuat membela pendapat yang menyatakan bahwa orang mukmin ditanya di kuburnya selama 7 hari. Beliau menulis risalah khusus yang berjudul “Thulu’uts Tsuraya bi Izh-hari Ma Kana Khafiyya” yang dimuat dalam kitab beliau al-Hawi lil Fatawa.

Beliau berkomentar:

وهذا الأثر الذي نحن فيه من ذلك فإنه من أحوال البرزخ التي لا مدخل للرأي والاجتهاد فيها ولا طريق إلى معرفتها إلا بالتوقيف والبلاغ عمن يأتيه الوحي وقد قال ذلك عبيد بن عمير وطاووس وهما من كبار التابعين فيكون حكمه حكم الحديث المرفوع المرسل وإن ثبتت صحبة عبيد بن عمير فحكمه حكم المرفوع المتصل

“Atsar ini yang mana kami berpegang padanya dari perkara tersebut, merupakan urusan keadaan alam barzakh yang mana tidak ada jalan bagi akal dan ijtihad di dalamnya. Dan tidak ada jalan untuk mengetahui kecuali melalui tauqif dan penyampaian wahyu. Dan Ubaid bin Umair dan Thawus telah berpendapat demikian (orang mukmin mendapatkan fitnah kubur 7 hari, pen). Keduanya merupakan tokoh tabi’in kibar. Maka hukum riwayatnya adalah hukum hadits marfu’ mursal. Dan jika Ubaid bin Umair memang termasuk sahabat, maka hukum riwayatnya adalah hukum hadits marfu’ yang bersambung.” (Al-Hawi lil Fatawa: 3/271).

Beliau juga berkomentar:

إن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن وإنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول

“Sesungguhnya sunnah memberi makan selama 7 hari telah sampai kepadaku bahwa sunnah tersebut berlangsung sampai sekarang di Makkah dan Madinah. Maka yang jelas bahwa sunnah tersebut belum pernah ditinggalkan semenjak masa sahabat sampai sekarang. Dan mereka mengambil sunnah ini dari generasi ke generasi.” (Al-Hawi lil Fatawa: 3/288).

Jawaban:

Pertama: perbuatan penduduk Makkah dan Madinah tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang atau memperbolehkan suatu perkara. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama usul fikih.

Al-Allamah Badruddin az-Zarkasyi asy-Syafi’i (wafat tahun 794 H) rahimahullah berkata:

إجْمَاعُ أَهْلِ الْحَرَمَيْنِ : مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ ، وَالْمِصْرَيْنِ : الْبَصْرَةِ وَالْكُوفَةِ ، لَيْسَ بِحُجَّةٍ ، خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَ ذَلِكَ مِنْ الْأُصُولِيِّينَ .

“Ijma’ (kesepakatan) penduduk al-Haramain; yakni Makkah dan Madinah, dan penduduk al-Mishrain; yakni Bashrah dan Kufah bukanlah hujah (dalil) dalam rangka menyelisihi ulama usul fikih yang meyakini ke-hujah-annya.” (Al-Bahrul Muhith fi Ushulil Fiqh: 6/127).

Beliau melanjutkan:

وَهَذَا صَرِيحٌ بِأَنَّ الْقَائِلِينَ بِذَلِكَ لَمْ يُعَمِّمُوا فِي كُلِّ عَصْرٍ ، بَلْ فِي عَصْرِ الصَّحَابَةِ فَقَطْ

“Ini jelas bahwa ulama yang berpendapat demikian tidak menggeneralisasi (ijma’) pada setiap jaman, tapi hanya ijma’ (Ahlul Haramain) pada jaman sahabat saja.” (Al-Bahrul Muhith fi Ushulil Fiqh: 6/127).

Demikian pula menurut al-Allamah Abul Hasan al-Amidi asy-Syafi’i (wafat tahun 631 H) rahimahullah. Beliau berkata:

وعلى ما ذكرناه فلا يكون إجماع أهل الحرمين مكة والمدينة والمصرين الكوفة والبصرة حجة على مخالفيهم وإن خالف فيه قوم لما ذكرناه من الدليل

“Dan menurut penjelasan yang telah kami sebutkan, maka ijma’ (konsensus) penduduk al-Haramain; yaitu Makkah dan Madinah, serta penduduk al-Mishrain; yaitu Kufah dan Bashrah, tidak bisa menjadi hujah bagi orang yang menyelisihi mereka, meskipun tidak disetujui oleh sebagian ulama, karena dalil yang telah kami sebutkan.” (Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam: 1/305).

Kedua: as-Suyuthi tidak membawakan dengan sanad yang bisa diterima bahwa kebiasaan memberikan makan selama 7 hari itu terjadi di jaman as-Salaf. Beliau hanya berkata:

فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن وإنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول

“Maka yang jelas bahwa sunnah tersebut (yakni: memberi makan, pen) belum pernah ditinggalkan semenjak masa sahabat sampai sekarang. Dan mereka mengambil sunnah ini dari generasi ke generasi.” (Al-Hawi lil Fatawa: 3/288).

Begitu pula di dalam kitab-kitab fikih keempat madzhab, terutama Madzhab Maliki yang menjadikan perbuatan penduduk Madinah sebagai hujah dan dalil. Tidak dijumpai penukilan ini selain dari as-Suyuthi rahimahullah.

Al-Allamah Syamsuddin al-Haththab ar-Ru’aini al-Maliki rahimahullah menyatakan:

الراجح في مذهبنا أن إجماع أهل المدينة حجة فيما طريقه النقل، وليس هو بحجة عند الجمهور

“Pendapat yang rajih (kuat) menurut madzhab kami (Malikiyah, pen) adalah bahwa kesepakatan penduduk Madinah adalah menjadi hujjah di dalam perkara yang dinukil melalui periwayatan. Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama, kesepakatan penduduk Madinah tidak bisa dijadikan hujjah.” (Qurratul Ain li Syarh Waraqat Imamil Haramain: 52).

Di dalam kitab-kitab fikih Malikiyah tidak dijumpai penukilan periwayatan bahwa penduduk Madinah melakukan sedekah makanan untuk orang mati selama 7 hari. Yang dijumpai adalah keterangan sebaliknya, al-Allamah Haththab ar-Ru’aini al-Maliki rahimahullah berkata:

أما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فقد كرهه جماعة وعدوه من البدع لأنه لم ينقل فيه شيء وليس ذلك موضع الولائم

“Adapun jika keluarga mayit membuat hidangan dan mengumpulkan manusia pada hidangan tersebut, maka sebagian ulama Malikiyah membencinya dan menganggapnya sebagai perkara bid’ah, karena acara tersebut tidak pernah dinukilkan (dari as-Salaf di Madinah, pen) dan itu bukan tempat walimah (untuk bersenang-senang, pen).” (Mawahibul Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil: 3/37).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah terlalu tasahul (bermudah-mudahan) di dalam periwayatan. beliau banyak sekali men-shahih-kan hadits dhaif bahkan menguatkan hadits-hadits maudhu’.

Al-Allamah Nu’man al-Alusi (wafat tahun 1342 H) rahimahullah berkata:

والسيوطي رحمه الله كان فيما ألفه من الكتب حاطب ليل، في كل كتاب له مذهب ومشرب

“Dan as-Suyuthi rahimahullah di dalam kitab-kitab yang ditulisnya termasuk ‘hathibu lail’ (pencari kayu bakar di malam hari) mengambil dari segala kitab yang memiliki madzhab dan sumber.” (Ghayatul Amani fir Radd alan Nabhani: 1/73).

Istilah ‘hathibu lail’ atau ‘pencari kayu bakar di malam hari’ digunakan oleh para ulama untuk orang yang terlalu gegampang di dalam sanad hadits.

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

مثل الذي يطلب الحديث بلا إسناد كمثل حاطب ليل

“Permisalan orang yang mencari hadits tanpa sanad ibarat orang yang mencari kayu bakar di malam hari.” (Fathul Mughits Syarh Alfiyatil Hadis, karya as-Sakhawi: 3/4).

Al-Allamah Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari (wafat 1961 M) rahimahullah berkata:

ومنها أحاديث لم يَظن هو أنها موضوعة، لأنه متساهلٌ في ذلك غاية التساهل. فلا يكاد يحكم على حديثٍ بالوضع إلا إذا دعته الضرورة إلى ذلك فى الاحتجاج على خصمه…. وما عدا ذلك فإنه يتساهل في إيراد الحديث الموضوع، بل وفي الاحتجاج به أيضاً..الخ

“Di antaranya (yakni: hadits-hadits maudhu’ dalam al-Jami’ush Shaghir, pen) adalah hadits-hadits yang mana as-Suyuthi tidak menyangka bahwa itu hadits maudhu’, karena beliau itu bersikap tasahul (gegampang, pen) dengan sikap tasahul yang sangat. Beliau hampir tidak pernah menghukumi suatu hadits sebagai hadits palsu kecuali jika beliau terpaksa menilainya sebagai hadits maudhu’ di dalam mematahkan lawan debat beliau….. Dan selain itu beliau bersikap tasahul di dalam membawakan hadits palsu, bahkan berdalil dengannya juga..dst.” (Al-Mughir ala al-Ahadits al-Maudhu’ah fil Jami’ish Shaghir: 6).

Ketiga: Taruhlah riwayat yang dibawakan oleh as-Suyuthi rahimahullah itu shahih. Maka pelaksanaan pemberian sedekah untuk mayit tidak seperti acara selamatan kematian atau ma’tam’, karena ijma’ (kesepakatan) as-Salaf tentang dibencinya acara ini. Di sini terdapat kaidah bahwa teks hadits yang muhtamal (mempunyai banyak kemungkinan makna seperti atsar Thawus dan Ibnu Juraij) harus dibawa kepada teks hadits yang muqayyad (terperinci dan jelas).

Al-Allamah Ala’uddin al-Bukhari (wafat 730 H) rahimahullah berkata:

ولأن المطلق محتمل والمقيد بمنزلة المحكم فيحمل المحتمل عليه ويكون المقيد بيانا للمطلق على ما هو المختار..الخ

“Dan karena lafazh yang mutlak itu bersifat muhtamal. Dan lafazh yang muqayyad itu menduduki teks yang muhkam. Maka teks yang muhtamal haruslah dibawa (dipahami) dengan teks yang muhkam. Sehingga lafazh yang muqayyad menjadi penjelasan bagi lafazh yang mutlak menurut pendapat yang terpilih…dst.” (Kasyful Asrar an Ushul al-Bardza’i: 2/418).

Maka –dari keterangan di atas- jika kita menjumpai hadits atau atsar dari as-Salaf tentang anjuran memberi sedekah atas mayit kepada fakir miskin, maka kita tidak boleh membawanya kepada pemahaman acara ‘ma’tam’ atau ‘wadhimah’. Karena larangan ma’tam dan wadhimah bersifat muhkam.

Di antara contoh sedekah untuk mayit adalah memberikan sedekah makanan kepada fakir miskin atas seseorang yang mati dalam keadaan mempunyai hutang puasa Ramadlan.

Amrah bintu Abdirrahman rahimahallah berkata:

سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، فَقُلْتُ لَهَا: إِنَّ أُمِّيَ تُوُفِّيَتْ وَعَلَيْهَا رَمَضَانُ، أَيَصْلُحُ أَنْ أَقْضِيَ عَنْهَا؟ فَقَالَتْ: ” لَا , وَلَكِنْ تَصَدَّقِي عَنْهَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ عَلَى مِسْكِينٍ , خَيْرٌ مِنْ صِيَامِكِ عَنْهَا “

“Aku bertanya kepada Aisyah radliayallahu anha, maka aku bertanya: “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia sedangkan ia mempunyai hutang satu puasa pada bulan Ramadlan, apakah pantas aku berpuasa untuk membayar hutangnya?” Beliau menjawab: “Tidak usah, tetapi bersedekahlah makanan baginya untuk setiap hari puasa kepada seorang miskin. (Itu) lebih baik daripada kamu berpuasa atasnya.” (Atsar riwayat ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar: 1989 (5/373). Isnadnya di-shahih-kan oleh Ibnu at-Turkamani dalam al-Jauharun Naqi: 4/257).

Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma juga berkata:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Barangsiapa mati, sedangkan ia mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka hendaknya disedekahkan makanan baginya untuk setiap hari puasa kepada seorang miskin.” (HR. At-Tirmidzi: 718, Ibnu Majah: 1757 dan al-Baihaqi dalam al-Kubra: 8476 (4/254). Al-Hafizh merajihkan mauqufnya dalam at-Talkhish: 922 (2/453)).

Maka memberikan sedekah makanan atas mayit yang mempunyai hutang puasa Ramadhan tidak boleh dipahami dengan mengadakan acara ‘ma’tam’ dan ‘wadhimah’.

Bersedekah untuk Mayit

Jika mengadakan acara ‘ma’tam’ dan ‘wadhimah’ merupakan larangan syariat, maka memberikan pahala sedekah kepada mayit adalah diperbolehkan. Sehingga ma’tam dan wadhimah itu harus dibedakan dari bersedakah untuk mayit.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr al-Andalusi al-Maliki rahimahullah menyatakan:

فأما الصدقة عن الميت فمجتمع على جوازها لا خلاف بين العلماء فيها وكذلك العتق عن الميت جائز بإجماع أيضا

“Adapun bersedekah (dengan pahala) untuk mayit, maka disepakati kebolehannya dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Begitu pula memerdekakan budak untuk mayit juga boleh secara ijma’.” (At-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid: 20/27).

Al-Imam Ibnu Katsir (wafat tahun 774 H) rahimahullah berkata:

فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما.

“Adapun doa dan sedekah, maka disepakati oleh para ulama bahwa keduanya bisa sampai kepada mayit dan juga terdapat teks al-Quran dan as-Sunnah yang menunjukkannya.” (Tafsir Ibni Katsir: 8/465).

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمَّهُ تُوُفِّيَتْ أَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مِخْرَافًا وَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا

“Bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang ibunya yang sudah wafat. Ia bertanya: “Apakah bisa bermanfaat untuknya jika aku bersedekah atasnya?” Beliau menjawab: “Iya.” Ia berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai kebun kurma dan aku menjadikan engkau saksi bahwa aku telah menyedekahkan kebun itu atasnya.” (HR. Al-Bukhari: 2563, at-Tirmidzi: 605, an-Nasai: 3595 dan Abu Dawud: 2496).

Dan termasuk jenis sedekah atas mayit adalah memberikan makanan kepada orang fakir miskin. Maka seseorang diperbolehkan menyedekahkan makanan dengan niat memberikan pahalanya untuk si mayit di waktu kapan pun dan di mana pun. Ini karena hadits Ibnu Abbas radliyallahu anhuma menunjukkan keumuman bersedekah untuk mayit.

Dan jika terdapat teks hadits yang bersifat umum, maka pelaksanaannya pun harus secara umum, tidak boleh ada pengkhususan sifat-sifat tertentu pada amalan tersebut. Jika tidak, maka akan terjatuh ke dalam bid’ah idhafiyah.

Oleh karena itu al-Imam Abu Syamah al-Maqdisi asy-Syafi’i (wafat tahun 665 H) rahimahullah menyatakan kaedah umum:

ولا ينبغي تخصيص العبادات بأوقات لم يخصصها بها الشرع بل يكون جميع أفعال البر مرسلة في جميع الأزمان ليس لبعضها على بعض فضل إلا ما فضله الشرع وخصه بنوع من العبادة

“Dan tidak seharusnya seseorang mengkhususkan ibadah-ibadah dengan waktu-waktu yang tidak dikhususkan oleh syariat. Hendaknya semua perbuatan baik itu dijadikan umum seperti keumumannya di segala jaman, tidak ada kekhususan antara satu waktu dengan waktu yang lain kecuali waktu yang diutamakan dan dikhususkan oleh syariat dengan suatu macam ibadah.” (Al-Ba’its ala Inkaril Bida’ wal Hawadits: 5).

Al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i rahimahullah mencontohkan bid’ah idhafiyah dengan adzan yang dilakukan di jaman beliau. Beliau berkata:

وَلَقَدْ اُسْتُفْتِيَ مَشَايِخُنَا وَغَيْرُهُمْ في الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عليه صلى اللَّهُ عليه وسلم بَعْدَ الْأَذَانِ على الْكَيْفِيَّةِ التي يَفْعَلُهَا الْمُؤَذِّنُونَ فَأَفْتَوْا بِأَنَّ الْأَصْلَ سُنَّةٌ وَالْكَيْفِيَّةُ بِدْعَةٌ

“Para syaikh kami (dari ulama Syafi’iyah, pen) dan selain mereka pernah dimintai fatwa tentang bacaan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam setelah adzan dengan kaifiyat (tata cara) yang dilakukan oleh para muadzin (di masa beliau). Maka mereka (para ulama tersebut, pen) berfatwa bahwa: “Hukum asalnya (yaitu membaca shalawat setelah adzan, pen) adalah sunnah, sedangkan kaifiyatnya (seperti yang dilakukan oleh muadzin di masa beliau, pen) adalah bid’ah.” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra: 1/131).

Dari kaedah di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa keumuman hadits tentang sedekah atas mayit harus dilaksanakan secara umum tidak boleh dikhususkan dengan sifat-sifat tertentu. Akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan, telah terjadi penyimpangan dari keumuman bersedekah atas mayit. Di antara penyimpangan-penyimpangan tersebut adalah:

Pertama: pengkhususan sedekah atas mayit pada 7 hari pertama, hari ke-40, ke-100, ke-1000 dan sebagainya. Al-Imam Abu Ishaq asy-Syathibi al-Maliki (wafat tahun 790 H) rahimahullah berkata:

وَمِنْ ذَلِكَ تَخْصِيصُ الْأَيَّامِ الْفَاضِلَةِ بِأَنْوَاعٍ مِنَ الْعِبَادَاتِ الَّتِي لَمْ تُشْرَعْ لَهَا تَخْصِيصًا؛ كَتَخْصِيصِ الْيَوْمِ الْفُلَانِيِّ بِكَذَا وَكَذَا مِنَ الرَّكَعَاتِ، أَوْ بِصَدَقَةِ كَذَا وَكَذَا، أَوِ اللَّيْلَةِ الْفُلَانِيَّةِ بِقِيَامِ كَذَا وَكَذَا رَكْعَةٍ، أَوْ بِخَتْمِ الْقُرْآنِ فِيهَا أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ فَإِنَّ ذَلِكَ التَّخْصِيصَ وَالْعَمَلَ بِهِ؛ إِذَا لَمْ يَكُنْ بِحُكْمِ الْوِفَاقِ، أَوْ بِقَصْدٍ يَقْصِدُ مِثْلَهُ أَهْلُ الْعَقْلِ وَالْفَرَاغِ وَالنَّشَاطِ؛ كَانَ تَشْرِيعًا زَائِدًا.

“Termasuk contoh bid’ah idhafiyah adalah mengkhususkan hari-hari utama dengan bermacam-macam ibadah yang tidak disyariatkan dengan waktu khusus, seperti mengkhususkan hari tertentu (semisal awal bulan Rajab, pen) dengan shalat sekian rakaat, mengkhususkan hari tertentu (semisal hari ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 dari kematian, pen) dengan sedekah tertentu (semisal makanan, pen), atau malam tertentu dengan shalat malam sekian rakaat, atau hari tertentu (semisal haul kematian, pen) dengan khataman al-Quran dan lain sebagainya, maka melakukan amal ibadah tersebut, jika bukan karena kebetulan, atau mengisi waktu luang agar bersemangat, maka itu termasuk membuat syariat tambahan.” (Al-I’tisham lisy-Syathibi, tahqiq al-Hilali: 1/486).

Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata:

فلا بد من موافقة العبادة للشريعة في الأمور التالية: السبب والجنس والقدر والصفة والزمان والمكان إذا لم توافق العبادة أو إذا لم يوافق العمل الشريعة في هذه الأمور الستة فإنه يكون بدعة ولا ينفع صاحبها ومن أين لهؤلاء الدليل على أن الميت يسن أن يتصدق عنه في الأيام الثلاثة الأولى من موته أو على ممر الأسبوع أو ممر السنة أو ما أشبه ذلك أما لو تصدق عنه بطعام في أي وقت كان، فهذا لا بأس به لأن الصدقة بالطعام كالصدقة بالدراهم وقد تكون أنفع من الصدقة بالدراهم وقد تكون الصدقة بالدراهم أنفع حسب الحال والوقت

“Maka amal ibadah itu harus mencocoki syariat dalam hal berikut ini: sebabnya, jenisnya, ukurannya, sifatnya, waktunya dan tempatnya. Maka jika suatu amal tidak mencocoki syariat dalam 6 hal ini, maka amal tersebut termasuk bid’ah dan tidak bermanfaat bagi pelakunya. Dan dari mana mereka mendapatkan dalil bahwa sesungguhnya disunnahkan untuk bersedekah atas mayit pada 3 hari pertama kematian atau selama seminggu atau setahun dan sebagainya? Adapun bersedekah atasnya dengan makanan di waktu kapan pun, maka ini tidak apa-apa, karena bersedekah dengan makanan seperti bersedekah dengan Dirham (uang). Kadang-kadang lebih bermanfaat daripada bersedekah dengan uang. Dan kadang-kadang sedekah dengan uang lebih bermanfaat daripada bersedekah dengan makanan tergantung keadaan dan waktu.” (Fatawa Nur alad Darb: 195/27).

Kedua: acara sedekah tersebut diadakan dengan mengumpulkan banyak orang di rumah keluarga mayit. Acara ini menyerupai atau bahkan dapat disebut ‘ma’tam’ dan ‘wadhimah’.

Al-Allamah Ibnul Hajj al-Abdari al-Maliki (wafat 737 H) rahimahullah berkata:

فَمَا بَالُك بِمَا اعْتَادَهُ بَعْضُهُمْ فِي هَذَا الزَّمَانِ مِنْ أَنَّ أَهْلَ الْمَيِّتِ يَعْمَلُونَ الطَّعَامَ ثَلَاثَ لَيَالٍ وَيَجْمَعُونَ النَّاسَ عَلَيْهِ عَكْسَ مَا حُكِيَ عَنْ السَّلَفِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَلْيَحْذَرْ مِنْ فِعْلِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ ، وَلَا بَأْسَ بِفِعْلِهِ لِلصَّدَقَةِ عَنْ الْمَيِّتِ لِلْمُحْتَاجِينَ وَالْمُضْطَرِّينَ لَا لِلْجَمْعِ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُتَّخَذْ ذَلِكَ شِعَارًا يُسْتَنُّ بِهِ ؛ لِأَنَّ أَفْعَالَ الْقُرْبِ أَفْضَلُهَا مَا كَانَ سِرًّا وَاَللَّهُ الْمُوَفِّقُ

“Maka bagaimana menurutmu tentang perkara yang dibiasakan di jaman ini, yaitu keluarga mayit membuat jamuan makanan selama 3 malam dan mengumpulkan manusia atasnya, sebagai kebalikan dari atsar as-Salaf radliyallahu anhum. Maka hendaknya berhati-hati dari perbuatan ini karena termasuk bid’ah yang dibenci. Dan tidak apa-apa bersedekah makanan atas mayit untuk orang yang membutuhkan, bukan dengan mengumpulkan mereka (di rumah mayit, pen), selagi tidak dijadikan sebagai syiar yang diikuti karena perbuatan taqarrub (seperti sedekah) yang lebih utama adalah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Wallahul muwaffiq.”  (Al-Madkhal lil Abdari: 3/442).

Al-Allamah Syamsuddin al-Haththab ar-Ru’aini al-Maliki (wafat 954 H) rahimahullah menyatakan:

وأما ما يذبحه الإنسان في بيته ويطعمه للفقراء صدقة على الميت فلا بأس به إذا لم يقصد به رياء ولا سمعة ولا مفاخرة ولم يجمع عليه الناس

“Dan adapun apa yang disembelih oleh seseorang di rumahnya dan ia memberikan makanan kepada fakir miskin dari sembelihan tersebut dalam rangka bersedekah atas mayit, maka itu tidak apa-apa, jika tidak ditujukan untuk riya’ dan pamer serta berbangga-bangga, dan tidak mengumpulkan manusia atasnya (seperti acara walimah, pen).” (Mawahibul Jalil Syarh Mukhtashar Khalil: 3/37).

Ketiga: acara sedekah tersebut disertai dengan bacaan-bacaan do’a tertentu dan ayat tertentu. Al-Allamah Ibnu Abidin al-Hanafi rahimahullah berkata:

وَفِي الْبَزَّازِيَّةِ : وَيُكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ وَالثَّالِثِ وَبَعْدَ الْأُسْبُوعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ إلَى الْقَبْرِ فِي الْمَوَاسِمِ ، وَاِتِّخَاذُ الدَّعْوَةِ لِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَجَمْعُ الصُّلَحَاءِ وَالْقُرَّاءِ لِلْخَتْمِ أَوْ لِقِرَاءَةِ سُورَةِ الْأَنْعَامِ أَوْ الْإِخْلَاصِ. وَالْحَاصِلُ أَنَّ اتِّخَاذَ الطَّعَامِ عِنْدَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ لِأَجْلِ الْأَكْلِ يُكْرَهُ

“Dan di dalam al-Bazzaziyah disebutkan: “Dan dibenci membuat jamuan di hari pertama kematian, hari ke-3, dan setelah seminggu. Dan (juga dibenci) membawa makanan ke kuburan di musim-musim perkumpulan. Dan (dibenci pula) mengadakan undangan untuk membaca al-Quran dan mengumpulkan orang-orang shalih dan para qari’ untuk meng-khatamkan al-Quran atau untuk membaca al-An’am atau al-Ikhlash. Intinya adalah bahwa membuat jamuan makanan ketika membaca al-Quran untuk dimakan adalah dibenci.” (Hasyiyah Raddul Mukhtar alad Durril Mukhtar: 6/394).

Al-Allamah Ibnul Hajj al-Abdari al-Maliki rahimahullah juga berkata:

وَكَذَلِكَ يَحْذَرُ مِمَّا أَحْدَثَهُ بَعْضُهُمْ مِنْ فِعْلِ التَّهْلِيلَاتِ لِمَوْتَاهُمْ وَجَمْعِهِمْ الْجَمْعَ الْكَثِيرَ لِذَلِكَ كَمَا تَقَدَّمَ فِي غَيْرِهِ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ الذِّكْرُ جَهْرًا وَجَمَاعَةً وَمَا فِيهِ

“Demikian juga hendaknya berhati-hati dari perbuatan yang mereka ada-adakan yang berupa kegiatan tahlilan untuk orang mati mereka dan kegiatan mengumpulkan banyak orang untuk acara tersebut, sebagaimana terdahulu. Dan telah terdahulu penjelasan dzikir dikeraskan dan dzikir berjamaah dan seluk beluknya.” (Al-Madkhal lil Abdari: 3/446).

Keempat: yang disedekahkan hanya dikhususkan pada makanan padahal boleh bersedekah selain makanan atas mayit. Dan bahkan yang disedekahkan tidak semua makanan tetapi makanan-makanan tertentu dengan harapan agar mayit diampuni dosanya dengan sedekah makanan tersebut. Dalam adat Jawa dikenal trilogi hidangan untuk mayit yaitu apem, kolak dan ketan. Kolak berasal dari kata “Kholiq” yang berarti Sang Pencipta. Apem berasal dari kata “Afwun” yang berarti ampunan. Sedangkan ketan berasal dari kata “Khotho’an” yang berarti kesalahan. Dan masing-masing daerah memiliki ciri khas makanan tertentu untuk mayit. Al-Abdari menyatakan:

وَكَذَلِكَ يَحْذَرُ مِمَّا أَحْدَثَهُ بَعْضُهُمْ مِنْ أَنَّ الْمَوْضِعَ الَّذِي غُسِّلَ فِيهِ الْمَيِّتُ يُوضَعُ فِيهِ رَغِيفٌ وَكُوزُ مَاءٍ ثَلَاثَ لَيَالٍ بَعْدَ مَوْتِهِ

“Demikian pula hendaknya berhati-hati dari perbuatan yang diada-adakan oleh mereka, yaitu meletakkan kue (semacam apem, pen) dan gayung air di tempat dimandikannya mayit selama 3 hari setelah kematiannya.” (Al-Madkhal: 3/443).

Inti dari penjelasan di atas adalah bahwa jangan sampai sedekah untuk mayit yang kita adakan itu menyerupai sebuah acara ‘ma’tam’ dan ‘wadhimah’. Wallahu a’lam.

Wanita Bertakziyah

Mereka yang mendukung acara ma’tam dan wadhimah atau selamatan kematian berdalil dengan kisah Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu anha di rumah duka. Beliau berkata:

أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ

“Bahwa adalah jika seseorang mati di kalangan keluarga Aisyah, maka para wanita berkumpul padanya, kemudian mereka pulang kecuali istri dan keluarganya. Maka Aisyah memerintahkan menyiapkan kuali untuk memasak ‘talbinah’. Kemudian dibuatlah makanan ‘tsarid’ dan ‘talbinah’ (bubur jelay) dituangkan kepadanya. Aisyah berkata: “Makanlah sebagian darinya! Karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya talbinah itu bisa menghimpun hati dan menghilangkan sebagian kesedihan.” (HR. Al-Bukhari: 4997, Ahmad: 24062, al-Baihaqi dalam al-Kubra: 7349 (4/61)).

Menurut mereka, hadits di atas menunjukkan bahwa para wanita sahabiyah mengadakan acara ma’tam atau selamatan kematian dan hidangan wadhimah.

Jawaban:

Hadits di atas tidak menunjukkan bolehnya acara ma’tam dan hidangan wadhimah, tetapi menunjukkan dianjurkannya membawa makanan ‘Atirah’ ketika bertakziyah. Telah berlalu pengertian ‘Atirah’, yaitu hidangan makanan yang dikirimkan kepada keluarga mayit yang sedang kesusahan.

Di antara bentuk hidangan ‘Atirah’ adalah bubur ‘Talbinah’ yang bisa menghilangkan kesedihan dan kesusahan. Ini karena ada redaksi lain dari hadits tersebut, yaitu:

أَنَّهَا كَانَتْ تَأْمُرُ بِالتَّلْبِينِ لِلْمَرِيضِ وَلِلْمَحْزُونِ عَلَى الْهَالِكِ وَكَانَتْ تَقُولُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ التَّلْبِينَةَ تُجِمُّ فُؤَادَ الْمَرِيضِ وَتَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ

“Bahwa Aisyah radhiyallahu anha memerintahkan untuk membuat “talbinah” untuk orang sakit dan orang yang kesusahan karena kematian. Beliau berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya talbinah itu bisa menghimpun hati dan menghilangkan sebagian kesedihan.” (HR. Al-Bukhari: 5257, al-Baihaqi dalam al-Kubra: 20057 (9/345), ath-Thabrani dalam al-Ausath: 9001 (9/19)).

Ini menunjukkan bahwa Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha menyampaikan pesan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada para wanita muslimah yang ingin ber-takziyah agar tidak lupa membawa hidangan ‘Talbinah’ untuk menghilangkan kesusahan keluarga mayit.

Oleh karena itu al-Imam Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i (wafat tahun 804 H) rahimahullah berkata:

فيه أن الجوع يزيد الحزن، فإن ذهابه يذهب ببعضه، وقد سلف أن معنى: مَجَمَّة: مريحة، وتقويه أيضًا وتنشطه، وذلك لأنه غذاء فيه لطف سهل تناوله على المريض، فإذا استعمله اندفع عنه حرارة الجوعة وحصلت له القوة العفافيه من غير مشقة.

“Di dalam hadits di atas terdapat faedah bahwa rasa lapar (bagi keluarga mayit karena sibuk mengurusi jenazah, pen) dapat menambah kesedihan, karena hilangnya rasa lapar bisa mengurangi sebagian kesedihan. Dan telah berlalu bahwa kata ‘Mujimmah’ (yakni: menghimpun hati, pen) bisa bermakna mengistirahatkan hati, menguatkan dan juga memberi semangat pada hati. Yang demikian karena bubur ‘Talbinah’ adalah ghidza’ (sejenis sarapan yang mengenyangkan, pen) yang mempunyai sifat lembut sehingga mudah dicerna oleh orang yang sakit. Sehingga jika ia dikonsumsi, maka hilanglah panasnya lapar dan muncullah kekuatan yang terjaga tanpa kesulitan.” (At-Taudhih li Syarh al-Jami’ish Shahih: 26/178).

Dan ini berbeda dengan hidangan wadhimah pada selamatan kematian yang kasar seperti daging sembelihan, urap-urap pedas dan nasi golong. Wallahu a’lam.

Hindarilah Pendapat yang Menyendiri

Telah diketahui bersama bahwa acara selamatan kematian yang disebut dengan acara ‘ma’tam’ dan ‘wadhimah’ adalah dilarang berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. As-Salaf juga memasukkan acara tersebut sebagai perbuatan jahiliyah dan meratapi mayit.

Lalu bagaimana sikap kita jika ada sebagian ulama muta’akhirin yang menyelisihi ijma’ tersebut dengan berfatwa untuk memperbolehkan acara-acara tersebut?

Di antara contohnya adalah pendapat al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau berpendapat:

وَأما صَنْعَة الطَّعَام من أهل الْمَيِّت إِذا كَانَ للْفُقَرَاء فَلَا بَأْس بِهِ لِأَن النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قبل دَعْوَة الْمَرْأَة الَّتِي مَاتَ زَوجهَا كَمَا فِي سنَن أبي دَاوُد وَأما إِذا كَانَ للأغنياء والاضياف فممنوع ومكروه لحَدِيث أَحْمد وَابْن ماجة فِي الْبَاب الَّاتِي كُنَّا نرى الِاجْتِمَاع وصنعة الطَّعَام من أهل الْمَيِّت من النِّيَاحَة أَي نعد وزره كوزر النوح

“Adapun membuat hidangan makanan dari pihak keluarga mayit, jika diperuntukkan bagi orang-orang fakir miskin, maka itu tidak apa-apa karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menerima undangan istri orang yang meninggal sebagaimana dalam Sunan Abu Dawud. Adapun jika hidangan tersebut diperuntukkan bagi orang-orang kaya dan para tamu, maka itu dilarang dan dibenci, karena hadits Ahmad dan Ibnu Majah dalam Bab mendatang, “Kami menganggap berkumpul dan membuat makanan dari pihak keluarga mayit termasuk meratapi mayit”, maksudnya adalah kami menganggap dosanya seperti dosa meratapi mayit.” (Syarh Sunan Ibni Majah lis Suyuthi: 116).

Jadi as-Suyuthi –semoga Allah merahmati beliau- membedakan antara tamu orang miskin dan tamu orang kaya dalam selamatan kematian.

Demikian pula al-Allamah Ahmad bin Muhammad ath-Thahthawi al-Hanafi (wafat tahun 1231 H) rahimahullah. Beliau berpendapat:

فهذا يدل على إباحة صنع أهل الميت الطعام والدعوة إليه

Maka ini (hadits tentang undangan wanita, pen) menunjukkan bolehnya keluarga mayit membuat hidangan dan mengundang orang.” (Hasyiyah ath-Thahthawi ala Muraqil Falah: 410). Dan telah lalu pembahasan dalam ‘Bab Salah Tulis dan Salah Cetak’.

Demikian pula ucapan al-Allamah Syihabuddin an-Nafrawi al-Maliki (wafat tahun 1126 H) rahimahullah:

وَأَمَّا مَا يَصْنَعُهُ أَقَارِبُ الْمَيِّتِ مِنْ الطَّعَامِ وَجَمْعِ النَّاسِ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ لِقِرَاءَةِ قُرْآنٍ وَنَحْوِهَا مِمَّا يُرْجَى خَيْرُهُ لِلْمَيِّتِ فَلَا بَأْسَ بِهِ ، وَأَمَّا لِغَيْرِ ذَلِكَ فَيُكْرَه..الخُ

“Adapun makanan yang dibuat oleh kerabat mayit dan mengumpulkan manusia pada jamuan tersebut, maka jika dalam rangka membaca al-Quran dan sebagainya dari perkara yang bermanfaat bagi mayit, maka tidak apa-apa. Dan jika untuk selain itu, maka menjadi makruh..dst.” (Al-Fawakih ad-Dawani ala Risalah Ibni Abi Zaid al-Qairuwani: 3/288).

Jawaban:

Pertama: telah berlalu bahwa dasar pengambilan pendapat as-Suyuthi dan ath-Thahthawi –semoga Allah merahmati keduanya- adalah kesalahan penulisan dalam kitab-kitab ringkasan hadits semacam ‘Misykatul Mashabih’ sebagaimana dalam ‘Bab Salah Tulis dan Salah Ketik’.

Kedua: taruhlah seandainya itu tidak terjadi kesalahan penulisan. Maka al-Allamah Ibnu Abidin al-Hanafi rahimahullah mempunyai jawabannya. Beliau menyatakan:

وَبَحَثَ هُنَا فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ بِمُعَارَضَةِ حَدِيثِ جَرِيرٍ الْمَارِّ بِحَدِيثٍ آخَرَ فِيهِ { أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعَتْهُ امْرَأَةُ رَجُلٍ مَيِّتٍ لَمَّا رَجَعَ مِنْ دَفْنِهِ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ } .

أَقُولُ : وَفِيهِ نَظَرٌ ، فَإِنَّهُ وَاقِعَةُ حَالٍ لَا عُمُومَ لَهَا مَعَ احْتِمَالِ سَبَبٍ خَاصٍّ ، بِخِلَافِ مَا فِي حَدِيثِ جَرِيرٍ . عَلَى أَنَّهُ بَحَثَ فِي الْمَنْقُولِ فِي مَذْهَبِنَا وَمَذْهَبِ غَيْرِنَا كَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ اسْتِدْلَالًا بِحَدِيثِ جَرِيرٍ الْمَذْكُورِ عَلَى الْكَرَاهَةِ ..الخ

“Dan dibahas dalam Syarh al-Munyah bahwa hadits Jarir al-Bajali radhiyallahu anhu (tentang larangan acara ma’tam dan wadhimah, pen) yang telah lalu bertentangan dengan hadits lain dan di dalamnya Nabi shallallahu alaihi wasallam diundang oleh istri mayit sepulang beliau dari penguburannya, kemudian beliau datang dan makanan dihidangkan.”

Aku (Ibnu Abidin) berkata: “Pendalilan ini perlu ditinjau lagi. Hadits wanita tersebut merupakan kejadian kebetulan yang tidak bisa digeneralisasi (dijadikan umum, pen), padahal juga terdapat kemungkinan sebab tertentu (yang mendasari kejadian itu, pen), berbeda dengan hadits Jarir (yang mempunyai lafazh umum, pen). Dan juga pendapat ini perlu dibahas lagi karena pendapat yang masyhur yang dinukilkan di dalam Madzhab kami (yakni: Hanafiyah, pen) dan madzhab selain kami seperti Syafi’iyah dan Hanabilah, semuanya berdalil dengan hadits Jarir tersebut atas dibencinya acara selamatan kematian.” (Hasyiyah ar-Raddil Mukhtar alad Durril Mukhtar: 6/394-5).

Maka perhatikanlah bahwa pendapat ath-Thahthawi dianggap menyalahi keumuman pendapat ulama Hanafiyah.

Ketiga: Adapun pendapat an-Nafrawi –semoga Allah merahmatinya-, maka juga menyelisihi keumuman pendapat ulama Malikiyah.

Al-Allamah Muhammad al-Arabi al-Qurawi al-Maliki berkata dalam Ringkasan Fiqh Malikiyah:

المكروهات اثنان وعشرون وهي…… وقراءة شيء من القرآن عند الموت وبعده وعلى القبور لأنه ليس من عمل السلف الصالح وإنما كان شأنهم الدعاء بالمغفرة والرحمة والإتعاظ..الخ

“Beberapa perkara yang makruh dibenci (menurut ulama Malikiyah dalam Bab Jenazah, pen) ada 22 perkara; yaitu…… Dan membaca beberapa ayat al-Quran ketika kematian dan setelah kematian (yakni: dalam acara ma’tam, pen) dan juga ketika di kuburan, karena itu bukan perbuatan Salafus Shalih. Mereka hanya mendoakan ampunan, rahmat dan mengambil pelajaran (dari kematian, pen)…dst.” (Al-Khulashatul Fiqhiyah ala Madzhabis Sadatil Malikiyah: 151).

Al-Allamah Muhammad bin Abdullah al-Khurasyi al-Maliki rahimahullah juga berkata:

وَأَشَارَ بِقَوْلِهِ ( وَبَعْدَهُ وَعَلَى قَبْرِهِ ) إلَى أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَيْسَتْ أَيْضًا مَشْرُوعَةً بَعْدَ الْمَوْتِ وَلَا عِنْدَ الْقَبْرِ ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِ السَّلَفِ

“Penulis matan (yakni: al-Imam Khalil bin Ishaq, pen) mengisyaratkan dengan ucapannya “Dan setelahnya dan di kuburannya” bahwa membaca al-Quran juga tidak disyariatkan setelah kematian (seperti dalam acara ma’tam, pen) dan juga tidak disyariatkan di kuburan, karena itu bukan perbuatan as-Salaf.” (Syarh Mukhtashar Khalil lil Khurasyi: 5/464).

Al-Allamah ath-Thahir Ahmad az-Zawi al-Maliki rahimahullah juga berkata:

وأما قراءة القرآن –خصوصا على المقابر وفى الولائم والمآتم- إنه لا يصح الاستئجار عليها إذ لا ضرورة تدعو إليها . فمن أوصى لقارئ يقرأ على قبره بكذا أوقف له دارا أو أوصى بعتاقة أو نحو ذلك كانت وصيته باطلة لا قيمة لها لأن الأجرة على الطاعات بدعة محرمة

“Adapun membaca al-Quran –secara khusus di kuburan, ketika walimah dan selamatan kematian-, maka tidak sah untuk mengupahkannya (baik dengan uang atau makanan, pen), karena tidak ada darurat atasnya. Barangsiapa berwasiat kepada seorang pembaca agar membacakan al-Quran di atas kuburannya, atau mewakafkan rumah untuknya (yakni: untuk membaca al-Quran dalam ma’tam, pen), atau berwasiat untuk memerdekakan budak (agar membacakan al-Quran atasnya, pen) atau selain itu, maka wasiatnya adalah batil (rusak), tidak ada nilainya, karena mengambil upah atas ketaatan adalah bid’ah yang diharamkan..dst.” (Majmu’ah Fatawa ath-Thahir az-Zawi: 90-91).

Keempat: Pendapat as-Suyuthi rahimahullah merupakan pendapat yang menyendiri atau syadz di kalangan Syafi’iyah. Begitu pula pendapat ath-Thahthawi rahimahullah juga merupakan pendapat yang syadz atau menyendiri di kalangan Hanafiyah. Demikian pula pendapat an-Nafrawi di kalangan Malikiyah.

Seseorang bisa saja berkilah bahwa ia harus mengikuti hadits shahih meskipun harus menyelisihi kebanyakan manusia dengan berhujah dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu:

وَأَن الْجَمَاعَة مَا وَافق الْحق وَأَن كنت وَحدك

“Al-Jamaah adalah pendapat yang sesuai dengan al-Haqq meskipun kamu seorang.” (Atsar riwayat al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqqih: 1171 (3/299)).

Akan tetapi atsar di atas harus diletakkan pada tempatnya. Ketika seseorang menemukan sebuah hadits shahih dan para ulama Salaf juga berpendapat seperti hadits tersebut, maka dia harus memeganginya meskipun dia menyelisihi mayoritas manusia. Akan tetapi jika pendapat yang menyelisihinya adalah pendapat mayoritas Salaf atau mayoritas para ulama madzhab, maka yang perlu ditinjau adalah pendapat dirinya atau hasil ijtihadnya, jangan-jangan ada yang salah.

Al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat tahun 310 H) rahimahullah mengingatkan:

ولا يعارض بالقول الشاذ ما استفاض به القول من الصحابة والتابعين

“Pendapat yang masyhur (terkenal) di kalangan Sahabat dan Tabi’in tidak boleh ditentang dengan pendapat yang syadz (menyendiri).” (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran: 5/276).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah juga mengingatkan:

لا حجة في الشواذ إذا خالفت المشهور

“Tidak ada hujah bagi pendapat yang menyendiri (syadz) ketika menyelisihi pendapat yang masyhur (terkenal).”

Apa lagi bahwa secara kenyataan bahwa pendapat mereka itu bertentangan ijma’ (kesepakatan) as-Salaf yang mendahuluinya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengingatkan:

وَكُلُّ قَوْلٍ حَادِثٍ بَعْدَ الْإِجْمَاعِ فَهُوَ بَاطِلٌ مَرْدُودٌ

“Dan setiap pendapat baru (dari generasi belakangan, pen) setelah terjadinya ijma’ (dari generasi sebelumnya, pen), maka pendapat baru tersebut batil dan tertolak.” (Majmu’ al-Fatawa: 6/501).

Bahkan al-Allamah Syihabuddin al-Qarafi al-Maliki (wafat tahun 684 H) rahimahullah menyatakan:

كُلُّ شَيْءٍ أَفْتَى فِيهِ الْمُجْتَهِدُ فَخَرَجَتْ فُتْيَاهُ فِيهِ عَلَى خِلَافِ الْإِجْمَاعِ أَوْ الْقَوَاعِدِ أَوْ النَّصِّ أَوْ الْقِيَاسِ الْجَلِيِّ السَّالِمِ عَنْ الْمُعَارِضِ الرَّاجِحِ لَا يَجُوزُ لِمُقَلِّدِهِ أَنْ يَنْقُلَهُ لِلنَّاسِ وَلَا يُفْتِي بِهِ فِي دِينِ اللَّهِ تَعَالَى

“Segala sesuatu yang difatwakan oleh seorang mujtahid. Kemudian fatwanya keluar dengan menyelishi ijma’ (kesepakatan ulama), atau menyelisihi kaidah-kaidah (fikih atau madzhab yang dianut, pen), atau menyelisihi teks (al-Quran dan as-Sunnah, pen), atau menyelisihi qiyas jali yang selamat dari pertentangan yang rajih, maka tidak diperbolehkan bagi pen-taqlidnya untuk menukilkannya pada manusia dan juga tidak diperbolehkan berfatwa dengan pendapat tersebut di dalam agama Allah ta’ala.” (Al-Furuq lil Qarafi: 2/109).

Jawaban Mufti Makkah

Pada jaman dahulu ketika kota Makkah masih belum menjadi wilayah Kerajaan Arab Saudi, terdapat seorang mufti yang berfatwa dengan Madzhab Syafi’i di kota Makkah. Beliau adalah asy-Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (wafat tahun 1304 H) rahimahullah. Beliau adalah guru asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Shaleh Darat. Ketika beliau dimintai fatwa tentang selamatan kematian, maka beliau berfatwa dengan larangan selamatan kematian.

Al-Allamah Abu Bakar Syatha al-Bakri ad-Dimyati asy-Syafi’i (wafat tahun 1310 H) rahimahullah mengabadikan fatwa ini di dalam kitab beliau ‘I’anatuth Thalibin’. Beliau berkata:

ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية ، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.

(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.

اللهم أسألك الهداية للصواب.

نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.

قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرح المنهاج): ويسن لجيران أهله – أي الميت – تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم، للخبر الصحيح.اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم. ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع. ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة……

………………………………………………..

ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.

كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان – مفتي الشافعية بمكة المحمية – غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.

“Bagaimana pendapat Bapak-bapak Mufti yang mulia di Tanah Haram -semoga Allah menambah manfaat Anda kepada manusia sepanjang masa- tentang tradisi di suatu negeri yang mana jika seseorang di antara masyarakatnya meninggal dunia kemudian handai taulan dan tetangganya menghadiri acara takziyahnya, maka mereka menunggu hidangan makanan. Bahkan karena saking malunya, keluarga mayit memaksakan diri untuk menyediakan berbagai macam hidangan makanan, meskipun dengan kesulitan dan keberatan.

Apakah jika pemimpin pemerintah –dengan sikap lemah lembut terhadap rakyat dan rasa sayang kepada keluarga- ingin melarang perkara ini dengan keseluruhan agar mereka kembali berpegang kepada as-Sunnah yang ma’tsur dari sebaik-baik makhluk shallallahu alaihi wasallam yang bersabda: “Buatlah hidangan makanan untuk keluarga Ja’far!” apakah usaha pemerintah melarang perkara seperti ini mendapat pahala? Mohon berilah kami jawaban secara penukilan dan tulisan!

Asy-Syaikh Ahmad Zaini Dahlan menjawab: “Alhamdulillahi wahdah. Semoga solawat dan salam tercurah kepada Sayyidina Muhammad, keluarga beliau, sahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti manhaj beliau setelahnya.

Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu petunjuk untuk menjawab.

Ya (benar), perkara yang dilakukan oleh manusia yang berupa berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat hidangan makanan, termasuk bid’ah yang mungkar, yang mana jika pemerintah melarangnya, maka akan diberi pahala oleh Allah. Dengan pemerintah tersebut Allah mengokohkan landasan agama ini dan dengan mereka pula Allah menguatkan Islam dan kaum muslimin.

Al-Allamah Ahmad bin Hajar al-Haitami berkata dalam ‘Tuhfatul Muhtaj li Syarhil Minhaj’: “Dianjurkan bagi tetangga keluarga mayit untuk menyediakan makanan yang mengenyangkan keluarga mayit selama sehari daan semalam, karena hadits shahih “Buatlah hidangan makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka disibukkan oleh kematian.” Dan hendaknya sedikit memaksa mereka untuk memakannya, karena bisa jadi mereka tidak makan karena rasa malau atau karena rasa sedih. Dan diharamkan menyediakan makanan untuk para peratap karena bisa menjadi bantuan atas kemaksiatan. Dan perkara yang dibiasakan yang berupa usaha keluarga mayit menyediakan hidangan dan mengundang manusia kepadanya, adalah bid’ah yang dibenci. Dan memenuhi undangan tersebut juga bid’ah yang dibenci, karena hadits shahih dari Jarir bahwa kami (para sahabat) menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat hidangan setelah dikuburkannya adalah perbuatan meratapi mayit………..dst.

Di dalam ‘Hasyiyah al-Jamal ala Syarhil Minhaj’: “Termasuk bid’ah yang mungkar dan dibenci pelaksanaannya adalah acara ‘wahsyah’ yang diadakan oleh manusia…….dst.

………………………………………………………………………………dst.

Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang manusia dari bid’ah yang mungkar ini di dalamnya terdapat upaya menghidupkan as-Sunnah dan mematikan bid’ah, membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan, karena manusia bersusah payah dengan upaya yang keras yang bisa membawa kepada perkara yang diharamkan. Allahu  subhanahu a’lam.

Ditulis oleh: Seorang yang mengharap ampunan Rabbnya, Ahmad bin Zaini Dahlan –Mufti Syafi’iyah di Makkah. Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya, guru-gurunya dan kaum muslimin.” (Hasyi’ah I’anatuth Thalibin ala Fathil Mu’in: 2/165-6).

Terus-Menerus Terjadi

Perbuatan niyahah (meratapi mayit) dan segala tetek bengeknya –seperti tradisi is’ad, acara ma’tam dan wadhimah (selamatan kematian)-, meskipun dibenci, akan tetap terjadi di kalangan umat ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنَ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفُخْرُ فِي الأَحْسَابِ، وَالطَّعَنُ فِي الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ، وَالنَّائِحَةُ إذَا لَمْ تَتُبْ مِنْ قَبْلِ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Ada 4 perkara di kalangan umatku yang termasuk perkara jahiliyah, mereka masih belum meninggalkannya: membanggakan kedudukan, mencela nasab, meminta hujan dengan bintang dan meratapi mayit. Seorang wanita peratap jika masih belum bertaubat sebelum matinya, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan pakaian dari ter (atau aspal) dan baju kurung dari kudis.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 12229 (3/390), Ibnu Hibban dalam Shahihnya: 3143 (7/412-3), di-shahih-kan oleh al-Hakim dalam Mustadraknya: 1413 (1/539) dan di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’: 875).

Al-Allamah Syihabuddin at-Turbasyti al-Hanafi (wafat tahun 661 H) rahimahullah menjelaskan hadits di atas:

ومعنى هذا الكلام: أن الأشياء الأربعة من أمر الجاهلية تدوم في أمتي، وأراد: أن الأمة بأسرهم لا يتركونها تركهم لغيرها من سنن أهل الجاهلية؛ إن تركها طائفة تمس بها آخرون.

“Makna ucapan ini adalah bahwa keempat perkara Jahiliyah ini akan terus-menerus ada di dalam umatku. Beliau memaksudkan bahwa umat ini secara global tidak akan meninggalkan perkara ini sebagaimana meninggalkan perkara Jahiliyah lainnya. Meskipun sebagian kelompok umat ini meninggalkannya, tetapi sebagian lainnya tetap melakukannya.” (Al-Muyassar fi Syarh Mashabihis Sunnah: 2/403).

Tentang sangsi meratap, al-Allamah Mulla Ali al-Qari al-Hanafi (wafat 1014 H) rahimahullah berkata:

وخصت أيضا بسرابيل من قطران لأنها كانت تلبس الثياب السود في المأتم فألبسها الله تعالى السرابيل لتذوق وبال أمرها فإن قلت ذكر الخلال الأربع ولم يرتب عليها الوعيد سوى النياحة فما الحكمة فيه قلت النياحة مختصة بالنساء وهن لا ينزجرن من هجرانهن انزجار الرجال فاحتجن إلى مزيد الوعيد..الخ

“Dikhususkan penyebutan ‘pakaian dari ter atau aspal’ karena si peratap menggunakan baju hitam pada acara ma’tam. Maka Allah memakaikan pakaian tersebut kepadanya agar ia merasakan akibat perbuatannya. Jika kamu bertanya bahwa al-Khallal menyebutkan 4 perkara jahiliyah dalam riwayatnya dan tidak menyudahi sangsi yang tegas selain perbuatan niyahah. Maka apakah hikmah di dalam ini? Maka jawabannya aku katakan bahwa perbuatan niyahah (meratapi mayit) dikhususkan pada wanita karena mereka belum berhenti berbuat demikian (ketika datangnya larangan syariat, pen) sebagaimana berhentinya kaum laki-laki. Sehingga mereka membutuhkan sangsi tambahan..dst.” (Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 5/480).

Khotimah

Para ulama dari berbagai madzhab, baik dari kalangan as-Salaf ataupun Khalaf telah bersepakat atas dibencinya acara selamatan kematian atau ma’tam dan wadhimah. Terdapat tiga (3) jalan pendalilan yang dilakukan oleh para ulama tersebut:

Pertama: acara selamatan kematian adalah tradisi jahiliyah. Ini adalah pendalilan mayoritas Salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in. Demikian juga pendalilan al-Imam Ahmad dan ulama Hanabilah seperti Ibnu Qudamah dan lainnya.

Kedua: acara selamatan kematian dapat menambah beban kesusahan dan kesedihan bagi keluarga mayit serta memberatkan biaya. Ini adalah pendalilan al-Imam asy-Syafi’i.

Ketiga: acara selamatan kematian merupakan perkara bid’ah yang dibenci. Ini adalah pendalilan kebanyakan ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah.

Pendalilan kedua dan ketiga diisyaratkan oleh al-Imam an-Nawari rahimahullah dalam keterangan beliau:

هذا لفظه في الام وتابعه الأصحاب عليه واستدل له المصنف وغيره بدليل آخر وهو أنه محدث

“Ini adalah lafal ucapan beliau (asy-Syafi’i, pen) dalam al-Umm dan diikuti oleh al-Ash-hab (yakni: Ashabul Wujuh atau Mutaqaddimin dari Syafi’iyah, pen). Penulis al-Muhadzdzab (yakni: Abu Ishaq asy-Syairazi, pen) dan lainnya berdalil dengan dalil lain, yaitu bahwa acara tersebut (yakni: selamatan kematian, pen) adalah perkara baru (bid’ah, pen).” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 5/306).

Jika kita ingin melakukan sedekah untuk mayit, maka hendaknya bentuk sedekah yang kita lakukan tidak menyerupai acara ‘ma’tam’ dan ‘wadhimah’ (selamatan kematian), seperti mengumpulkan banyak orang layaknya acara walimah dan mengkhususkan dengan dzikir-dzikir tertentu.

Kita juga hendaknya tidak tertipu dengan perbuatan orang-orang sekarang yang melegalkan acara tahlilan. Jika kita termasuk kelompok minoritas karena tidak mau ikut-ikutan terhadap perbuatan jahiliyah tersebut, maka ketahuilah bahwa kita merupakan kelompok mayoritas di masa Salafus Shalih. Al-Allamah Ibnul Hajj al-Abdari al-Maliki rahimahullah juga menyatakan:

وَقَدْ صَارَ هَذَا الْحَالُ فِي هَذَا الزَّمَانِ أَمْرًا مَعْمُولًا بِهِ حَتَّى لَوْ تَرَكَهُ أَحَدٌ مِنْهُمْ لَكَثُرَ فِيهِ الْقِيلُ وَالْقَالُ ، فَكَيْفَ لَوْ أَنْكَرَ ذَلِكَ

“Dan jadilah keadaan ini (acara selamatan kematian, pen) di jaman ini (sekitar abad 7 H) menjadi perkara yang diamalkan (oleh mayoritas, pen), sehingga seandainya ada satu orang saja yang tidak mengadakannya, maka itu menjadi bahan gunjingan di antara mereka. Lantas bagaimana keadaan orang yang mengingkari acara tersebut?” (Al-Madkhal lil Abdari: 3/446).

Secara umum al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

وقد قدمنا في ” كتاب الجنائز ” عن الفضيل بن عياض رضي الله عنه ما معناه : اتبع طرق الهدى ، ولا يضرك قلة السالكين ، وإياك وطرق الضلالة ، ولا تغتر بكثرة الهالكين ، وبالله التوفيق.

“Dan telah kami sebutkan di dalam ‘Kitab Jenazah’ atsar dari Fudlail bin Iyadl yang maknanya: “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan janganlah merasa bahaya karena sedikitnya orang yang menempuh (jalan kebenaran, pen)! Hindarilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu oleh banyaknya orang yang rusak!” Wabillahittaufiq.” (Al-Adzkar an-Nawawiyah: 268).

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Ditandai:, , , , , , , , , , , , , , ,

3 komentar di “Selamatan Kematian menurut Islam

  1. mutiara Timurselatan 8 April 2018 pukul 23.39 Reply

    Para ilmuan yg terbagi dalam 2 “kasta” pendukung dan penolak selamatan kematian sangatlah mumpuni dlm mempertahankan hujjah.
    Namun kenyataan dlm hidup bhwa kedua kasta ini memiliki pasukan yg sama2 banyak.

    Adakah yg bisa membantuku utk menentukan pilihan yg tepat pd dua pendapat tentang selamatan kematin ini?

    Apakah akibatnya jika mengikuti salah satu dari dua pendapat tsb?

    • dr. M Faiq Sulaifi 11 April 2018 pukul 20.43 Reply

      Sudah sangat gamblang seperti terangnya siang bahwa selamatan kematian atau Ma’tam merupakan tradisi Jahiliyah. Pendapat ini merupakan Ijma’ Ulama di masa Salaf. Adapun yang memperbolehkannya, maka itu pendapat yang Syadz (menyendiri) dan menyelisihi Ijma’ atau mayoritas Salaf. Orang-orang belakangan yang menghidupkan bid’ah ini hanyalah bersandar pada:
      Pertama: riwayat-riwayat yang dhaif (tidak Valid) dalam masalah ini.
      Kedua: nash (teks) atsar yang bersifat Muhtamal (mempunyai banyak kemungkinan arti) yang seharusnya dibawa teks yang muhkam.
      Ketiga: pendapat syadz (menyendiri) yang berusaha di-blow up, sehingga seolah-olah menjadi pendapat yang masyhur di jaman ini, padahal merupakan pendapat yang syadz di masa generasi awal umat ini.

  2. arabusjairisalafi 23 Juni 2018 pukul 04.56 Reply

    Jazakallah Khoir wa Barakallahu Fikum atas usaha ustadz dalam menerangkan al Haq pada ummat. Barakallahu Fikum

Tinggalkan komentar