Arsip Bulanan: Juli 2015

Melanggar Larangan karena Kebutuhan

Kajian Literatur terhadap Pengharaman Wasilah dan Perkara Hajat

Penerapan Kaedah Fikih dalam Masalah Kontemporer

Daftar Isi

Daftar Isi 1

Mukaddimah. 2

Tingkat Kebutuhan Manusia. 3

Perbedaan antara Hajat dan Dharurat. 4

Pengharaman secara Wasilah dan secara Dzat. 5

Perkara Hajat dapat Menghalalkan Perkara yang Diharamkan secara Wasilah. 6

Wadah Khamer. 9

Nongkrong di Jalan. 11

Safarnya Wanita. 12

Gambar Bernyawa. 14

Memelihara Anjing. 17

Melakukan Shalat  pada Waktu-waktu Terlarang. 19

Berobat dengan Sutera dan Emas bagi Laki-laki 21

Isbal Sarung atau Celana di bawah Mata Kaki 22

Melihat Wanita Bukan Mahram.. 23

Datang ke Tempat Ikhtilath. 24

Sebagian Jual Beli Gharar. 30

Melakukan Onani 34

Kalender Miladiyah. 36

Sebagian Riba Fadhel 38

Qiyas dalam Perkara Rukhsah. 43

Kembali kepada Ulama. 46

Bertakwa kepada Allah. 48

Mukaddimah

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله

“Amma Ba’du”

Di dalam ilmu usul fikih dikenal dengan nash (teks) umum dan khusus, mutlaq dan muqayyad, juga hukum asal serta ada juga istitsna’ (perkecualian, pen).

Di antara bentuk istitsna’ (perkecualian) dari hukum asal pengharaman adalah keadaan dharurat dan juga keadaan hajat yang menduduki keadaan dharurat. Dan tidak semua perkara haram hanya boleh dilanggar ketika dharurat (terpaksa), tetapi ada sebagian perkara haram yang boleh diterjang ketika hajat (kebutuhan) meskipun belum dharurat.

Pada tulisan ini akan dijelaskan penerapan kaidah fikih:

وما حرم لذاته لا يباح إلا للضرورة كالميتة والدم ولحم الخنزير، وما حرم سداً للذريعة أبيح للحاجة إليه وللمصلحة الراجحة على المفسدة

“Perkara yang diharamkan secara dzatnya tidak dapat dihalalkan kecuali oleh keadaan dharurat (terpaksa) seperti bangkai, darah dan daging babi. Sedangkan perkara yang diharamkan karena wasilah, maka ia bisa menjadi halal karena hajat (ada kebutuhan) atau adanya maslahat yang kuat mengalahkan mafsadat.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh: 5/392).

Dan kaidah yang mirip dengan kaidah di atas adalah kaidah fikih:

ويغتفر في الوسائل ما لا يغتفر في المقاصد : كالنظر إلى المخطوبة

“Dan diampuni di dalam perkara (yang diharamkan) secara wasilah apa-apa yang tidak diampuni di dalam perkara (yang diharamkan) secara tujuan, seperti melihat kepada wanita yang dikhitbah.” (Al-Minhaj fi Ilmil Qawaid al-Fiqhiyah: 5).

Untuk selanjutnya akan dijelaskan batasan keadaan hajat dan dharurat, perkara yang diharamkan secara tujuan dan secara wasilah serta contoh-contoh penerapannya yang dilakukan oleh ulama-ulama sekarang. Di antara contoh masalah kekinian (kontemporer) yang akan dibahas adalah foto untuk identitas dan ijazah, tempat-tempat ikhtilat seperti pasar, sekolah dan fashion, jual beli ‘mughayyabat’, onani untuk terapi, kalender miladiyah dan sebagainya.

Tulisan ini bisa dipergunakan sebagai referensi bagi mereka yang mengalami keadaan hajat ketika berhadapan dengan larangan-larangan syariat dengan tanpa berniat melanggar aturan syariat, tetapi hanya semata-mata menghilangkan kesempitan dalam agama ini.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ

“Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama ini suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tua kalian, Ibrahim.” (QS. Al-Hajj: 78).

Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi tambahan ilmu serta ditulis oleh Allah ta’ala sebagai amal shalih bagi Penulis. Amien.

Babat, 21 Dzulqa’dah 1435 H

dr. M Faiq Sulaifi

Tingkat Kebutuhan Manusia

Tingkat kebutuhan manusia terhadap sesuatu dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu: dharurat, hajat dan penyempurnaan.

Al-Imam Syihabuddin al-Qurafi al-Maliki (wafat tahun 682 H) rahimahullah menyatakan:

)قاعدة( المصالح ثلاثة واقع في مواقع الضرورات وفي الحاجات وفي التتمات..الخ

“(Kaedah) kemaslahatan itu menduduki beberapa tempat, menduduki kedudukan dharurat (terpaksa), kedudukan hajat (dibutuhkan), dan kedudukan penyempurnaan..dst.” (Adz-Dzakhirah: 10/42).

Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:

المراتب خمسة ضرورة وحاجة ومنفعة وزينة وفضول..الخ

“Urutan (kebutuhan manusia) ada lima (5): dharurat, hajat, manfaat, perhiasan dan kelebihan..dst.” (Al-Asybah wan Nazhair: 85).

Perbedaan antara Hajat dan Dharurat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:

وَكُلَّمَا جَوَّزَ لِلْحَاجَةِ لَا لِلضَّرُورَةِ كَتَحَلِّي النِّسَاءِ بِالذَّهَبِ وَالْحَرِيرِ وَالتَّدَاوِي بِالذَّهَبِ وَالْحَرِيرِ فَإِنَّمَا أُبِيحَ لِكَمَالِ الِانْتِفَاعِ ؛ لَا لِأَجْلِ الضَّرُورَةِ الَّتِي تُبِيحُ الْمَيْتَةَ وَنَحْوَهَا ؛ وَإِنَّمَا الْحَاجَةُ فِي هَذَا تَكْمِيلُ الِانْتِفَاعِ ؛ فَإِنَّ الْمَنْفَعَةَ النَّاقِصَةَ يَحْصُلُ مَعَهَا عَوَزٌ يَدْعُوهَا إلَى كَمَالِهَا . فَهَذِهِ هِيَ الْحَاجَةُ فِي مِثْلِ هَذَا . وَأَمَّا الضَّرُورَةُ الَّتِي يَحْصُلُ بِعَدَمِهَا حُصُولُ مَوْتٍ أَوْ مَرَضٍ أَوْ الْعَجْزُ عَنْ الْوَاجِبَاتِ كَالضَّرُورَةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي أَكْلِ الْمَيْتَةِ فَتِلْكَ الضَّرُورَةُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي أَكْلِ الْمَيْتَةِ لَا تُعْتَبَرُ فِي مِثْلِ هَذَا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Dan segala perkara yang diperbolehkan karena hajat (kebutuhan), bukan karena dharurat (terpaksa), seperti berhiasnya wanita dengan emas dan sutra, berobat dengan emas dan sutra (bagi laki-laki, pen), maka hanyalah diperbolehkan sebatas menyempurnakan pemanfaatan, bukan karena dharurat (terpaksa) yang memperbolehkan makan bangkai dan semisalnya. Hajat (kebutuhan) dalam perkara ini adalah untuk menyempurnakan pemanfaatan. Maka manfaat yang kurang ini bisa menjadi butuh untuk disempurnakan. Inilah yang disebut hajat. Adapun dharurat yang jika terjadi bisa muncul kematian, sakit atau kelemahan dari perbuatan-perbuatan wajib seperti dharurat mu’tabarah di dalam makan bangkai, maka ini tidak bisa dianggap (diterapkan) pada keadaan hajat. Wallahu a’lam.” (Majmu’ul Fatawa: 31/225).

Al-Allamah al-Ushuli Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

الحاجةُ دون الضَّرورة؛ لأنَّ الضَّرورةَ هي التي إذا لم يقم بها الإِنسانُ أصابه الضَّرر. والحاجة هي التي تكون مِن مكمِّلات مراده، وليس في ضرورة إليها

Hajat (kebutuhan) itu lebih ringan daripada dharurat (keterpaksaan), karena dharurat itu jika tidak ditegakkan oleh manusia, maka ia akan mendapatkan bahaya. Sedangkan hajat adalah perkara yang menjadi penyempurna keinginannya dan ia tidak mengalami keterpaksaan atasnya.” (Asy-Syarhul Mumti’: 4/305).

Beliau juga menyatakan dalam keterangan lainnya:

والفرق بين الحاجة والضرورة: أن الحاجة: هي التي يكون بها الكمال. والضرورة: هي التي يندفع بها الضرر..الخ

“Perbedaan antara hajat dan dharurat adalah bahwa hajat itu untuk perkara kesempurnaan. Sedangkan dharurat itu untuk menolak bahaya..dst.” (Asy-Syarhul Mumti’: 5/72).

Pengharaman secara Wasilah dan secara Dzat

Para ulama usul fiqh membagi hukum perkara menjadi wasilah dan tujuan. Ada perkara yang hukumnya wajib sebagai tujuan dan ada pula perkara yang wajib sebagai wasilah. Ada juga perkara yang hukumnya haram sebagai tujuan dan ada pula perkara yang haram sebagai wasilah.

Al-Imam Syihabuddin al-Qarafi al-Maliki (wafat tahun 682 H) rahimahullah menyatakan:

أن الأحكام على قسمين مقاصد ووسائل فالمقاصد كالحج والسفر إليه وسيلة وإعزاز الدين ونصر الكلمة مقصد والجهاد وسيلة ونحو ذلك من الواجبات والمحرمات والمندوبات والمكروهات والمباحات فتحريم الزنا مقصد لاشتماله على مفسدة اختلاط الأنساب وتحريم الخلوة والنظر وسيلة وصلاة العيدين مقصد مندوب والمشي إليها وسيلة ورطانة الأعاجم مكروهة ومخالطتهم وسيلة إليه وأكل الطيبات مقصد مباح والاكتساب له وسيلة مباحة وحكم كل وسيلة حكم مقصدها في اقتضاء الفعل أو الترك

“Bahwa hukum-hukum itu dibagi 2 (dua); sebagai tujuan dan sebagai wasilah, seperti haji (wajib sebagai tujuan, pen) dan safar kepadanya sebagai wasilah, meninggikan agama sebagai tujuan (yang wajib, pen) dan berjihad sebagai wasilah (yang wajib, pen) dan lain sebagainya dari perkara wajib, perkara haram, perkara anjuran, perkara yang dibenci dan perkara mubah. Maka pengharaman zina sebagai (pengharaman) tujuan karena mengandung tercampurnya nasab sedangkan pengharaman berkhalwat, melihat sebagai (pengharaman) wasilah. Shalat hari raya adalah tujuan yang dianjurkan sedangkan berjalan menujunya adalah wasilah yang dianjurkan. Membiasakan berbahasa Ajam adalah dibenci (sebagai tujuan) sedangkan bercampur dengan orang Ajam adalah wasilah kepadanya. Mengkonsumsi makanan halal adalah tujuan mubah sedangkan bekerja untuknya adalah wasilah yang mubah. Maka hukum setiap wasilah itu adalah seperti hukum tujuannya di dalam pelaksanaannya atau ditinggalkannya..dst.” (Adz-Dzakhirah: 2/129).

Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan:

لأن المحرمات نوعان: محرمات تحريم غاية لذاتها، ومحرمات تحريم وسيلة

“Ini karena perkara yang diharamkan itu ada 2 macam; perkara yang diharamkan dengan pengharaman tujuan secara dzatnya dan perkara yang diharamkan dengan pengharaman wasilah..dst.” (Asy-Syarhul Mumti’: 8/420).

Dan disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:

اسْتِقْرَاءُ مَوَارِدِ التَّحْرِيمِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ يَظْهَرُ أَنَّ الْمُحَرَّمَاتِ مِنْهَا مَا هُوَ مُحَرَّمٌ تَحْرِيمَ الْمَقَاصِدِ ، كَتَحْرِيمِ الشِّرْكِ وَالزِّنَى وَشُرْبِ الْخَمْرِ وَالْقَتْل الْعُدْوَانِ ، وَمِنْهَا مَا هُوَ تَحْرِيمٌ لِلْوَسَائِل وَالذَّرَائِعِ الْمُوَصِّلَةِ لِذَلِكَ وَالْمُسَهِّلَةِ لَهُ . اسْتَقْرَى ذَلِكَ ابْنُ الْقَيِّمِ فَذَكَرَ لِتَحْرِيمِ الذَّرَائِعِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ مِثَالاً مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ

“Istiqra’ (meneliti dengan detail, pen) terhadap tempat-tempat datangnya pengharaman dalam al-Kitab dan as-Sunnah tampak bahwa perkara-perkara yang diharamkan, di antaranya adalah perkara yang diharamkan dengan pengharaman tujuan seperti pengharaman syirik, zina, minum khamer dan pembunuhan. Di antaranya juga adalah perkara yang diharamkan sebagai wasilah yang memudahkan terjadinya perkara yang diharamkan secara tujuan. Ibnul Qayyim melakukan istiqra’ terhadap perkara yang diharamkan dengan pengharaman wasilah (dalam I’lamul Muwaqqi’in, pen), maka beliau menyebutkan 99 contoh dalam al-Kitab dan as-Sunnah.” (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyyah: 24/277).

Sehingga jika kita ingin melihat sebuah perkara yang diharamkan, apakah ia diharamkan secara wasilah ataukah tidak, maka silakan merujuk kitab I’lamul Muwaqqi’in.

Perkara Hajat dapat Menghalalkan Perkara yang Diharamkan secara Wasilah

Beberapa ulama terdahulu menjelaskan bahwa perkara yang diharamkan sebagai wasilah dapat dihalalkan oleh keadaan hajat (kebutuhan) meskipun bukan dharurat (terpaksa).

Berikut ini adalah beberapa ulama terdahulu yang menjelaskan kaedah tersebut.

Al-Imam al-Qadhi Ibnul Arabi al-Maliki (wafat tahun 543 H) rahimahullah berkata:

واذا نهى عن الشىء بعينه لم تؤثر به الحاجة واذا كان لمعنى فى غيره أثرت فيه الحاجة لارتفاع الشبهة معها

“Jika Allah melarang sesuatu karena dzatnya, maka perkara tersebut tidak bisa dipengaruhi (baca: dihalalkan, pen) oleh keadaan hajat (butuh). Jika perkara tersebut dilarang karena makna lain (yaitu sebagai wasilah, pen), maka bisa dipengaruhi (yaitu: dihalalkan) oleh hajat (kebutuhan) karena hilangnya syubhat bersamanya..dst.” (Aridltul Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi: 1/91).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وَهَذَا أَصْلٌ لِأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ : فِي أَنَّ مَا كَانَ مِنْ ” بَابِ سَدِّ الذَّرِيعَةِ ” إنَّمَا يُنْهَى عَنْهُ إذَا لَمْ يَحْتَجْ إلَيْهِ..الخ

“Dan ini adalah pokok dalam madzhab Ahmad dan lainnya: bahwa perkara yang termasuk dalam ‘Bab menutup pintu wasilah’ hanyalah dilarang ketika tidak ada hajat (kebutuhan) atasnya..dst.” (Majmu’ul Fatawa:  23/214).

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah juga berkata:

ولما حرم عليهم الميتة لما فيها من خبث التغذية أباحها لهم للضرورة ولما حرم عليهم النظر إلى الأجنبية أباح منه ما تدعو إليه الحاجة للخاطب والمعامل والشاهد والطبيب

“Ketika Allah mengharamkan bangkai atas mereka karena adanya kotoran makanan padanya, maka Allah memperbolehkannya ketika dharurat. Dan ketika Allah mengharamkan melihat wanita asing bagi mereka, maka Allah memperbolehkannya karena hajat (kebutuhan) seperti bagi pelamar nikah, orang yang bermu’amalah, saksi dan dokter.” (I’lamul Muwaqqi’in: 2/26).

Al-Allamah Taqiyyuddin as-Subki asy-Syafi’i (wafat tahun 756 H) rahimahullah juga menyatakan:

ثم الرخصة قد يكون سببها الضرورة كأكل المضطر الميتة وقد يكون سببها الحاجة كالعرايا

“Kemudian rukhsah (keringanan syariat) kadang-kadang disebabkan oleh perkara dharurat (terpaksa) seperti memakan bangkai bagi orang yang terpaksa, dan kadang-kadang disebabkan oleh perkara hajat (kebutuhan) seperti jual beli Araya (sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan riba fadhel insya Allah, pen).” (Takmilah al-Majmu’ Syarhil Muhadzdzab: 11/10).

Dari keterangan para ulama di atas, kita dapat mengambil  2 (dua) pelajaran, yaitu:

Pertama: perkara yang diharamkan secara tujuan dzatnya seperti bangkai dan lainnya. Maka perkara ini hanya bisa dihalalkan oleh keadaan dharurat.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah telah memerinci kepada kalian tentang perkara yang diharamkan atas kalian, kecuali perkara yang dilakukan karena terpaksa (dharurat, pen) padanya.” (QS. Al-An’am: 119).

Kedua: perkara yang diharamkan dengan pengharaman secara wasilah seperti melihat wanita asing dan keluar rumah bagi ummahatul mukminin. Maka perkara ini bisa dihalalkan oleh keadaan hajat (kebutuhan).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada istri-istri beliau:

قَدْ أَذِنَ اللَّهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ

“Allah telah mengijinkan kalian (istri Nabi shallallahu alaihi wasallam, pen) untuk keluar rumah dalam rangka memenuhi hajat (kebutuhan) kalian.” (HR. Al-Bukhari: 4836, al-Baihaqi dalam al-Kubra: 13889 (7/88), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya: 54 (1/32) dari Aisyah radliyallahu anha).

Ini karena hukum asalnya adalah haramnya keluar rumah bagi Ummahatul Mukminin dengan pengharaman wasilah. Dan perkara hajat (kebutuhan) mengecualikan hukum asal tersebut.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وقوله: { وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ } أي: الزمن بيوتكن فلا تخرجن لغير حاجة. ومن الحوائج الشرعية الصلاة في المسجد بشرطه..الخ

“Firman Allah: “Dan berdiamlah kalian (wahai para istri Nabi shallallahu alaihi wasallam) di rumah-rumah kalian.” (QS. Al-Ahzab: 33). Maksudnya: “Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian, maka janganlah kalian keluar rumah tanpa ada hajat (kebutuhan). Termasuk hajat-hajat syar’iyah adalah melakukan shalat di masjid dengan persyaratannya…dst.” (Tafsir Ibnu Katsir: 6/409).

Oleh karena itu al-Allamah al-Ushuli Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

وقد ذكر أهلُ العلم أن ما حُرِّمَ تحريم الوسائل أباحته الحاجة

“Para ulama menyebutkan bahwa perkara yang diharamkan dengan pengharaman wasilah, maka itu diperbolehkan oleh keadaan hajat (kebutuhan).” (Asy-Syarhul Mumti’: 2/215).

Wadah Khamer

Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengharamkan khamer, maka beliau juga mengharamkan fermentasi kurma, gandum dan anggur dalam wadah-wadah tertentu sebagai bentuk pengharaman wasilah agar tidak terjadi khamer.

Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu anha berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الدُّبَّاءِ وَالْحَنْتَمِ وَالنَّقِيرِ وَالْمُزَفَّتِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang (menyimpan air perasan buah dalam) wadah dari labu kering, kendi dicat hijau, wadah dari pohon kurma dan wadah yang dicat dengan tar.” (HR. Muslim: 3697, Ahmad: 23070 dan an-Nasai: 5532).

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan rukhsah ketika ada orang yang membutuhkan penggunaan wadah-wadah tersebut.

عَنْ جَابِرٍ -رضي الله عنه- قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنِ الظُّرُوفِ فَقَالَتِ الأَنْصَارُ: إِنَّهُ لاَ بُدَّ لَنَا مِنْهَا، قَالَ فَلاَ إِذًا.

“Dari Jabir radliyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang penggunaan beberapa wadah (untuk fermentasi, pen). Maka orang-orang Anshar berkata: “Sesungguhnya kami harus menggunakan wadah tersebut.” Maka beliau bersabda: “Kalau begitu tidak dilarang.” (HR. Al-Bukhari: 5163, al-Baihaqi dalam al-Kubra: 17938 (8/310)).

Dalam lafazh lain:

لَمَّا نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْأَوْعِيَةِ قَالَ قَالَتْ الْأَنْصَارُ إِنَّهُ لَا بُدَّ لَنَا قَالَ فَلَا إِذَنْ

“Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang penggunaan beberapa wadah (untuk fermentasi, pen), orang-orang Anshar berkata: “Sesungguhnya kami harus menggunakan wadah tersebut.” Maka beliau bersabda: “Kalau begitu tidak dilarang.” (HR. Ahmad: 13726, Abu Dawud: 3213).

Al-Allamah Syihabuddin al-Qasthalani (wafat tahun 923 H) rahimahullah mengomentari hadits di atas:

فالنهي كان قد ورد على تقدير عدم الاحتياج

“Larangan (menggunakan wadah fermentasi, pen) datang atas pemahaman tidak adanya hajat (kebutuhan, pen).” (Irsyadus Sari Syarh Shahihil Bukhari: 8/319).

Begitu pula al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi (wafat tahun 543 H) rahimahullah memberikan pandangan serupa. Beliau berkata:

 ثبت النهى عن الانتباذ فى هذه الظروف فقيل ذلك لعلة سرعة الاسكار اليها فنهى عن التذرع بها الى السكر ثم رخص فيها للحاجة حين شكت اليه الانصار حاجتهم

“Telah tetap larangan membuat minuman fermentasi dalam wadah-wadah ini. Maka dikatakan bahwa adanya larangan itu karena alasan cepatnya perubahan minuman tersebut menjadi minuman yang memabukkan dalam wadah tersebut. Maka beliau melarang menjadikan wasilah atau sebab (dengan penggunaan wadah tersebut) menuju minuman yang memabukkan. Kemudian beliau memberikan rukhsah menggunakan wadah-wadah tersebut ketika orang-orang Anshar mengadukan hajat mereka (kepada wadah tersebut).” (Aridlatul Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi: 1/91).

Hadits di atas menjadi salah satu dalil atas kaedah bahwa “perkara yang diharamkan dengan pengharaman wasilah, maka itu diperbolehkan oleh keadaan hajat (kebutuhan).”

Nongkrong di Jalan

Termasuk dalam bab ‘Pengharaman secara Wasilah’ adalah larangan duduk-duduk atau nongkrong di pinggir jalan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ

“Berhati-hatilah kalian dari duduk-duduk di jalanan!” Para sahabat berkata: “Kami harus melakukannya. Hanyalah itu majelis kami. Kami berbincang-bincang di dalamnya.” Beliau bersabda: “Kalau kalian harus mengadakan majelis tersebut, maka berikan kepada jalan hak-haknya!” Mereka bertanya: “Apakah haknya jalan?” Beliau menjawab: “Menundukkan pandangan, menahan diri dari menyakiti, menjawab salam, memerintahkan perbuatan ma’ruf dan melarang dari perbuatan munkar.” (HR. Al-Bukhari: 2285, Muslim: 3960, Ahmad: 10883 dari Abi Sa’id al-Khudri radliyallahu anhu).

Setelah memaparkan berbagai riwayat hadits di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan:

وقد اشتملت على معنى علة النهي عن الجلوس في الطرق من التعرض للفتن بخطور النساء الشواب وخوف ما يلحق من النظر إليهن من ذلك إذ لم يمنع النساء من المرور في الشوارع لحوائجهن

“Riwayat-riwayat hadits ini mengandung makna alasan pelarangan ‘Duduk-duduk di jalan’ yang berupa munculnya fitnah dengan membayangkan wanita muda belia (yang lewat, pen) dan ditakutkan munculnya berbagai konsekuensi akibat memandang wanita-wanita tersebut, karena wanita-wanita tidaklah dilarang untuk melewati jalanan untuk memenuhi hajat mereka…dst.” (Fathul Bari: 11/11).

Nongkrong atau duduk-duduk di pinggir jalan diperbolehkan ketika ada hajat (kebutuhan). Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

فلما ذكروا له ضرورتهم إلى ذلك لما فيه من المصالح من تعاهد بعضهم بعضا ومذاكرتهم في أمور الدين ومصالح الدنيا وترويح النفوس بالمحادثة في المباح دلهم على ما يزيل المفسدة من الأمور المذكورة..الخ

“Ketika para shahabat menyebutkan kepada beliau kebutuhan mereka atas majelis tersebut, yang berupa beberapa kemaslahatan; di antaranya saling mengingatkan dan saling mempelajari urusan agama dan kemaslahatan dunia serta mengistirahatkan diri dengan berbincang-bincang dalam perkara mubah, maka beliau menunjukkan mereka atas perkara yang bisa menghilangkan mafsadat majelis tersebut yang berupa perkara-perkara yang telah disebutkan..dst.” (Fathul Bari: 11/12).

Safarnya Wanita

Di antara contoh pengharaman wasilah adalah safarnya kaum wanita. Hukum asal safar bagi kaum wanita adalah haram. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang wanita melakukan safar (bepergian) kecuali bersama mahram.” (HR. Al-Bukhari: 1729, Muslim: 2391 dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma).

Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan:

ثُمَّ إنَّ مَا نَهَى عَنْهُ لِسَدِّ الذَّرِيعَةِ يُبَاحُ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ كَمَا يُبَاحُ النَّظَرُ إلَى الْمَخْطُوبَةِ وَالسَّفَرُ بِهَا إذَا خِيفَ ضَيَاعُهَا كَسَفَرِهَا مِنْ دَارِ الْحَرْبِ مِثْلَ سَفَرِ أُمِّ كُلْثُومٍ وَكَسَفَرِ عَائِشَةَ لَمَّا تَخَلَّفَتْ مَعَ صَفْوَانَ بْنِ الْمُعَطِّلِ فَإِنَّهُ لَمْ يَنْهَ عَنْهُ إلَّا لِأَنَّهُ يُفْضِي إلَى الْمَفْسَدَةِ فَإِذَا كَانَ مُقْتَضِيًا لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ لَمْ يَكُنْ مُفْضِيًا إلَى الْمَفْسَدَةِ

“Kemudian, sesungguhnya perkara yang dilarang karena menjadi wasilah, bisa diperbolehkan untuk maslahat yang kuat, sebagaimana diperbolehkan melihat kepada wanita yang dilamar (padahal hukum asalnya adalah haram, pen) dan (diperbolehkan) melakukan safar (bepergian) dengan wanita (yang bukan mahram, pen) jika dikhawatirkan disia-siakan, seperti safarnya wanita dari negeri pertempuran semisal safarnya Ummu Kultsum (bintu Uqbah bin Abi Mu’aith untuk berhijrah, pen), dan seperti safarnya Aisyah ketika ketinggalan (dalam pertempuran) bersama Shafwan bin Mu’aththal (sebagaimana dalam haditsul ifk). Maka safar tersebut tidaklah dilarang kecuali menjadi wasilah kepada kerusakan. Maka jika terdapat maslahat yang lebih kuat, maka safar tersebut tidak menimbulkan kerusakan..dst.” (Al-Majmu’ul Fatawa: 23/186).

Al-Allamah al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata tentang bolehnya wanita keluar kota untuk menuntut ilmu:

لا يحل للمرأة أن تسافر بدون محرم لا للعلم ولا للحج ولا للعمرة ولا للزيارة ولا لغير ذلك, لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم: ( لا تسافر امرأة إلا مع ذي محرم ) لكن قد يظن بعض الناس أن هذا سفر وليس بسفر, مثل بعض النساء الآن يذهبن من بلدهن إلى بلد آخر قريب للتعلم أو للتعليم ويرجعن في نفس اليوم, فهذا ليس بسفر, فعلى هذا لو ذهبت امرأة من عنيزة إلى بريدة للتعلم أو للتعليم ومعها نساء ويرجعن بعد انتهاء الدرس إلى بيوتهن فهذا ليس بسفر, فللمرأة أن تذهب وترجع, لكن لا يجوز لها أن تخلو بالسائق إذا لم يكن محرماً لها

“Tidak halal bagi wanita untuk melakukan safar tanpa mahram, tidak untuk menuntut ilmu, tidak pula untuk haji, tidak pula untuk umrah, tidak pula untuk berziarah (berkunjung) dan tidak pula untuk tujuan lainnya, karena keumuman sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Janganlah seorang wanita melakukan safar (bepergian) kecuali bersama mahram.” Akan tetapi sebagian manusia kadang-kadang menganggap bahwa ini adalah safar padahal bukanlah safar, seperti bepergiannya sebagian wanita dari satu kota ke kota lain yang dekat untuk belajar atau mengajar, dan sekaligus pulang pada hari yang sama. Maka ini bukanlah safar. Maka dengan demikian, jika seorang wanita pergi dari Unaizah ke Buraidah (sekitar 39 km) untuk belajar atau mengajar, kemudian segera pulang sehabis pelajar ke rumah mereka, maka itu tidak termasuk safar. Maka si wanita boleh berangkat dan pulang. Akan tetapi tidak diperbolehkan baginya berkhalwat (berdua-duaan) dengan sopir jika sopirnya bukan mahram baginya (tapi bisa naik kendaraan umum, pen)..dst.” (Liqa’ul Babil Maftuh: 118/27).

Gambar Bernyawa

Di antara contoh lainnya adalah membuat gambar atau foto manusia. Perbuatan ini diharamkan dengan pengharaman wasilah, karena bisa membawa kepada kesyirikan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya mereka (Ahlul Kitab) jika ada orang shalih mati di kalangan mereka, maka mereka membangun masjid di atas keburannya dan menggambar orang shalih tersebut dengan gambar-gambar. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.” (HR. Al-Bukhari: 409, Muslim: 822, an-Nasai: 697 dari Aisyah radliyallahu anha).

Al-Allamah ash-Shan’ani rahimahullah berkata:

والظاهر أن العلة سد الذريعة والبعد عن التشبه بعبدة الأوثان الذين يعظمون الجمادات التي لا تسمع ولا تنفع ولا تضر

“Yang jelas, alasan pelarangan (menjadikan kuburan sebagai masjid dan menggambar tokoh-tokoh) adalah untuk menutup wasilah dan menjauhi dari perbuatan menyerupai para penyembah berhala yang mengagungkan benda-benda mati yang tidak bisa mendengar, tidak bisa mendatangkan manfaat dan madharat..dst.” (Subulus Salam: 1/153).

Jika demikian, maka bermuamalah dengan gambar bernyawa diperbolehkan dalam keadaan dharurat (terpaksa) dan keadaan hajat (kebutuhan) seperti untuk identitas diri.

Al-Allamah Shalih Fauzan hafizhahullah berkata:

فلا يجوز للمسلم أن يقتني الصور في بيته، وألا يحتفظ إلا بالصور الضرورية التي يحتاجها الإنسان، كصورة حفيظة النفوس، وجواز السفر، وإثبات الشخصية، فهذه أصبحت ضرورية وهي لا تتخذ من باب محبة التصوير، وإنما تتخذ للضرورة والحاجة، أما ما عدا ذلك من الصور فلا يجوز الاحتفاظ به لا للذكريات ولا للاطلاع عليها وما أشبه ذلك

“Maka tidak diperbolehkan bagi muslim untuk memasang dan menyimpan gambar bernyawa di rumah, kecuali gambar-gambar darurat yang dibutuhkan oleh seorang manusia, seperti foto identitas diri (KTP, SIM), paspor atau visa, dsb. Maka ini menjadi dharurat dan ini tidak dilakukan dalam rangka mencintai gambar bernyawa, tetapi hanyalah digunakan untuk keadaan dharurat (terpaksa) dan hajat (kebutuhan) saja. Adapun gambar-gambar bernyawa untuk selain itu, maka tidak boleh menyimpannya, tidak untuk kenang-kenangan, tidak pula untuk dilihat-lihat dan sebagainya..dst.” (Al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan: 43/3).

Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan berbagai macam penggunaan gambar-gambar bernyawa:

القسم الرابع: أن يقتني الصور لا لرغبة فيها إطلاقا، ولكنها تأتي تبعا لغيرها، كالتي تكون في المجلات والصحف ولا يقصدها المقتني، وإنما يقصد ما في هذه المجلات والصحف من الأخبار والبحوث العلمية ونحو ذلك، والظاهر أن هذا لا بأس به؛ لأن الصور فيها غير مقصودة، لكن إن أمكن طمسها بلا حرج ولا مشقة، فهي أولى

Macam keempat: seseorang menggunakan gambar-gambar bernyawa bukan karena menyukainya secara permulaan, tetapi gambar tersebut datang karena mengikuti perkara lainnya seperti gambar-gambar yang ada di majalah, surat kabar, pembahasan ilmiah (seperti jurnal dan artikel kedokteran, pen), dan sebagainya. Yang jelas bahwa ini adalah tidak apa-apa, karena gambar bernyawa di dalamnya bukan perkara yang dituju. Akan tetapi jika mungkin, ia berusaha menghapusnya tanpa keberatan dan kesulitan. Maka ini lebih utama.”

القسم السادس: أن يلجأ إلى اقتنائها إلجاء، كالصور التي تكون في بطاقة إثبات الشخصية والشهادات والدراهم فلا إثم فيه لعدم إمكان التحرز منه، وقد قال الله تعالى: { وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ } (الحج:78).

“Macam keenam: seseorang membutuhkan pemasangan gambar bernyawa, seperti foto yang ada pada identitas diri (seperti KTP, SIM dan surat nikah), syahadah (ijazah atau sertifikat kompetensi), dirham (atau mata uang lainnya), maka tidak ada dosa di dalamnya karena kita tidak mungkin mampu menjaga diri darinya. Allah ta’ala berfirman: “Dan Allah tidak menjadikan atas kalian dalam agama ini suatu kesulitan.” (QS. Al-Hajj: 78).” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin: 10/1038-1039).

Di antara dasar pijakan masalah ini adalah berlakunya mata uang di masa Rasulullah yang berupa Dinar Romawi yang bergambar raja Romawi dan Dirham Persia yang bergambar raja Persia.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata:

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَامَلُونَ بِدَرَاهِمِ الْعَجَمِ، فَكَانَتْ إذَا زَافَتْ عَلَيْهِمْ أَتَوْا بِهَا السُّوقَ فَقَالُوا : مَنْ يَبِيعُنَا بِهَذِهِ ؟ وَذَاكَ أَنَّهُ لَمْ يَضْرِبْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَا أَبُو بَكْرٍ وَلَا عُمَرُ وَلَا عُثْمَانُ وَلَا عَلِيٌّ وَلَا مُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

“Adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bermuamalah dengan dirham-dirham Ajam. Adalah jika dirham tersebut mulai rusak, maka mereka datang ke pasar dan berkata: “Siapakah yang mau berjual beli dengan kami dengan menggunakan dirham ini?” Yang demikian karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam belum pernah mencetak uang, tidak pula Abu Bakar, tidak pula Umar, tidak pula Utsman, tidak pula Ali dan tidak pula Mu’awiyah. Semoga Allah meridhai mereka semua.” (Al-Ahkamus Sulthaniyah li Abi Ya’la: 148, al-Furu’: 4/91, Kasyaful Qina’ an Matnil Iqna’: 5/203).

Al-Imam Ibnu Abdil Barr al-Maliki al-Andalusi rahimahullah berkata:

وقال غير الواقدي كانت الدنانير في الجاهلية وأول الإسلام بالشام وعند عرب الحجاز كلها رومية تضرب ببلاد الروم عليها صورة الملك واسم الذي ضربت في أيامه مكتوب بالرومية ….. وكانت الدراهم بالعراق وأرض المشرق كلها كسروية عليها صورة كسرى واسمه فيها مكتوب بالفارسية ….الخ

“Selain al-Waqidi berkata: “Adalah Dinar-dinar di masa jahiliyah dan awal Islam di Syam dan Arab Hijaz semuanya adalah Dinar Romawi yang dicetak di Rum. Padanya terdapat gambar raja dan nama pencetaknya tertulis dengan bahasa Romawi….. Sedangkan Dirham di Irak dan daerah timur adalah cetakan Kisra. Padanya terdapat gambar raja Kisra. Namanya tertulis dengan bahasa Persia… dst.” (At-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid: 22/170).

Memelihara Anjing

Termasuk dalam bab ‘Pengharaman secara Wasilah’ adalah memelihara anjing. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ

“Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan (juga rumah yang di dalamnya terdapat) gambar (bernyawa, pen).” (HR. Al-Bukhari: 3075, Muslim: 3929, an-Nasai: 4208 dan Ibnu Majah: 3639 dari Abu Thalhah radliyallahu anhu).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

“Barangsiapa memelihara anjing kecuali anjing penjaga ternak atau anjing pemburu, maka amal kebaikannya berkurang setiap hari satu gunung Qirath.” (HR. Al-Bukhari: 2155, Muslim: 2943 dan ini adalah lafazh Muslim, an-Nasai: 4217, Ibnu Majah: 3197 dari Sufyan bin Abi Zuhair asy-Syana’i radliyallahu anhu).

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

وقد اتفق أصحابنا وغيرهم على أنه يحرم اقتناء الكلب لغير حاجة مثل أن يقتنى كلبا اعجابا بصورته أو للمفاخرة به فهذا حرام بلا خلاف وأما الحاجة التي يجوز الاقتناء لها فقد ورد هذا الحديث بالترخيص لأحد ثلاثة أشياء وهي الزرع والماشية والصيد وهذا جائز بلا خلاف واختلف أصحابنا في اقتنائه لحراسة الدور والدروب وفي اقتناء الجرو ليعلم فمنهم من حرمه لأن الرخصة انما وردت في الثلاثة المتقدمة ومنهم من أباحه وهو الأصح لأنه في معناها…الخ

“Sahabat kami (yakni ulama Syafi’iyah, pen) dan lainnya bersepakat bahwa diharamkan memelihara anjing tanpa ada hajat (kebutuhan) seperti memeliharanya karena kagum akan rupanya atau berbangga-bangga dengannya. Maka seperti ini adalah haram tanpa ada perselisihan pendapat. Adapun hajat (kebutuhan) yang memperbolehkan untuk memelihara anjing, maka al-hadits telah datang dengan membawa rukhsah (keringanan) karena salah satu dari 3 (tiga) perkara; (menjaga) ladang, (menjaga) ternak, dan untuk berburu. Dan ini diperbolehkan tanpa ada perselisihan pendapat. Sahabat kami (yakni ulama Syafi’iyah) berbeda pendapat tentang memelihara anjing untuk menjaga pekarangan rumah dan tentang memelihara anak anjing untuk diajari berburu. Di antara mereka ada ulama yang mengharamkannya karena rukhsah (keringanan) hanyalah datang di dalam ketiga perkara (yaitu untuk menjaga ternak, ladang dan berburu, pen). Di antara mereka ada ulama yang membolehkannya, dan ini adalah pendapat yang paling benar, karena perkara tersebut adalah semakna dengan ketiga perkara di atas..dst.” (Syarh an-Nawawi ala Muslim: 3/186).

Pendapat yang dikuatkan oleh an-Nawawi di atas itulah yang sesuai dengan kebenaran, karena sesuai dengan kaidah yang dibahas dalam ‘bab’ ini, yaitu ‘perkara yang diharamkan secara wasilah seperti memelihara anjing dapat dihalalkan karena kebutuhan (hajat) atas pemanfaatan anjing tersebut’. Di antara dalil yang menguatkannya adalah hadits Ibnu Umar radliyallahu anhuma. Beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ كَلْبَ مَاشِيَةٍ قَالَ قِيلَ لَهُ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يَقُولُ أَوْ كَلْبَ زَرْعٍ فَقَالَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ لَهُ زَرْعٌ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan membunuh anjing-anjing kecuali anjing untuk berburu, atau anjing untuk menjaga ternak.” Ditanyakan kepada Ibnu Umar: “Sesungguhnya Abu Hurairah menambahkan: “Atau anjing untuk menjaga ladang.” Maka Ibnu Umar menjawab: “Sesungguhnya Abu Hurairah adalah petani ladang.” (HR. At-Tirmidzi: 1408, ia berkata hasan shahih. Di-shahih-kan pula oleh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan at-Tirmidzi: 1488).

Al-Imam Ibnu Abdil Barr al-Maliki (wafat tahun 463 H) rahimahullah berkata:

وفي معنى هذا الحديث تدخل عندي إباحة اقتناء الكلاب للمنافع كلها ودفع المضار إذا احتاج الإنسان إلى ذلك إلا أنه مكروه اقتناؤها في غير الوجوه المذكورة في هذه الآثار لنقصان أجر مقتنيها والله أعلم

“Dan termasuk dalam makna hadits ini –menurutku- bolehnya memelihara anjing untuk mendapatkan segala manfaat dan menolak bahaya ketika seseorang mempunyai hajat (kebutuhan) kepadanya, hanya saja dimakruh-kan memeliharanya di selain alasan yang disebutkan dalam atsar-atsar ini, karena berkurangnya pahala orang memeliharanya. Wallahu a’lam.” (At-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid: 14/219).

Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

مسألة: ما حكم اقتناء الكلب الذي يحرس الإنسان؟

نقول: إن الكلب الذي يحرس الإنسان يجوز اقتناؤه؛ لأنه إذا كان اقتناء الكلب لحراسة الماشية جائزا فحراسة الإنسان أولى وأحرى، كذلك إذا كان اقتناء الكلب للصيد جائزا ـ والصيد ليس أمرا ضروريا؛ لأن الإنسان بإمكانه أن يعيش بدون صيد ـ فإن اقتناءه للأمور الضرورية من باب أولى. وأما اقتناء الكلب تشبها بالكفار وتفاخرا به فإن هذا لا شك حرام، وينقص من أجر الإنسان كل يوم قيراط أو قيراطان، مع ما في ذلك من إثم التشبه وتقليد الكفار، ومع ما في ذلك من الدناءة؛ لأن الكلب أخبث الحيوانات من حيث النجاسة، فإن نجاسته لا تطهر إلا بسبع غسلات إحداها بالتراب..الخ

Masalah: Apakah hukum memelihara anjing yang bertugas menjaga manusia?

Maka kami berkata: Sesungguhnya anjing yang bertugas menjaga manusia itu boleh dipelihara. Oleh karena jika memelihara anjing untuk menjaga ternak itu diperbolehkan, maka menjaga manusia itu lebih utama dan lebih pantas. Demikian pula, jika memelihara anjing untuk berburu itu diperbolehkan, dan berburu itu bukanlah perkara dharurat (keterpaksaan), karena manusia itu masih mungkin untuk bisa hidup dengan tanpa berburu, maka memeliharanya untuk perkara dharurat itu lebih utama (untuk diperbolehkan).

Adapun memelihara anjing dalam rangka meniru orang-orang kafir dan dalam rangka berbangga-bangga dengannya, maka ini adalah haram tanpa keraguan lagi. Orang yang memeliharanya berkurang pahalanya setiap hari sebanyak 1 qirath atau 2 qirath. Ia juga mendapat dosa tasyabbuh dan taqlid kepada orang-orang kafir. Ia juga akan mendapat kehinaan, karena anjing adalah hewan yang paling menjijikkan dari sisi kenajisannya, karena najisnya tidak akan suci kecuali dengan 7 basuhan air yang disertai dengan tanah pada salah satu basuhannya..dst.” (Asy-Syarhul Mumti’: 10/144).

Melakukan Shalat  pada Waktu-waktu Terlarang

Syariat Islam melarang kita melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang. Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاتَيْنِ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang dari 2 shalat; yaitu setelah fajar sampai matahari terbit dan setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari: 553, Muslim: 1366, an-Nasai: 558, Ibnu Majah: 1238).

Pengharaman shalat pada kedua waktu di atas termasuk jenis pengharaman wasilah. Larangan tersebut tidak berlaku ketika ada hajat (kebutuhan) seperti shalat tahiyatul masjid, shalat gerhana, shalat jenazah dan sebagainya dari shalat-shalat yang mempunyai sebab. Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata:

وهذا شأن كل ما حرم تحريم الوسائل فإنه يباح للمصلحة الراجحة كما حرمت الصلاة في أوقات النهي لئلا تكون وسيلة إلى التشبه بالكفار في سجودهم للشمس أبيحت للمصلحة الراجحة كقضاء الفوائت وصلاة الجنازة وفعل ذوات الأسباب..الخ

“Ini adalah keadaan semua perkara yang diharamkan dengan pengharaman wasilah. Maka ia bisa menjadi mubah karena ada maslahat yang kuat sebagaimana diharamkannya shalat pada waktu-waktu terlarang agar tidak menjadi wasilah (perantara) menuju perbuatan menyerupai orang-orang kafir di dalam sujud mereka kepada matahari. Maka shalat pada waktu tersebut diperbolehkan untuk maslahat yang kuat seperti shalat qadha’ (bagi yang tertidur atau lupa, pen), shalat jenazah dan shalat-shalat yang mempunyai sebab (seperti shalat tahiyatul masjid, shalat kusuf dsb, pen).. dst.” (Raudhatul Muhibbin: 95).

Al-Allamah Ibnu Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

ووجه اختصاصها بغير ذي السبب وبوقتي الطلوع والغروب أن إنشاء صلاة لا سبب لها في هذا الوقت فيه نوع تشبه بالكفار في عبادتهم للشمس حينئذ وقد نهينا عن التشبه بهم..الخ

“Sisi pengkhususan larangan untuk shalat tanpa sebab, dan juga pengkhususan waktu terbit dan tenggelamnya matahari adalah bahwa mengadakan shalat tanpa sebab tertentu di waktu-waktu ini, di dalamnya terdapat semacam penyerupaan dengan orang-orang kafir dalam ibadah mereka kepada matahari ketika itu. Dan kita dilarang menyerupai mereka.. dst.” (Dalilul Falihin li Thuruq Riyadhish Shalihin: 4/196).

Berobat dengan Sutera dan Emas bagi Laki-laki

Kaum laki-laki diharamkan memakai sutera dan emas karena menjadi wasilah menuju penyerupaan (tasyabuh) dengan kaum wanita. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أُحِلَّ لِإِنَاثِ أُمَّتِي الْحَرِيرُ وَالذَّهَبُ وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُورِهَا

“Sutera dan emas dihalalkan bagi perempuan umatku dan diharamkan atas kaum lelaki mereka.” (HR. Ahmad: 18686, an-Nasai: 5057, at-Tirmidzi: 1642 dan di-shahih-kan olehnya dari Abu Musa al-Asy’ari radliyallahu anhu. Di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’: 209).

Al-Allamah al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

مثال آخر: الحرير حرام على الذكور، ويجوز أن يلبسه الإنسان إذا كان فيه حكة من التهاب في جسده؛ ليخفف هذه الحكة، ومع أن هذا ليس ضرورة، لكن جاز؛ لأن أصل تحريم الحرير على الذكور أنه غير لائق بهم، وأنه وسيلة إلى أن يكون الإنسان الذكر الذي فضله الله بالرجولة بمنزلة الأنثى التي تنشأ في الحلية، ولهذا حرم الذهب والحرير على الذكور

“Contoh lainnya (dari pengharaman wasilah, pen): sutera diharamkan bagi kaum laki-laki. Seorang laki-laki boleh memakainya jika ia mengalami sakit gatal pada kulit, untuk meringankan gatalnya. Padahal penyakit gatal tidak termasuk perkara dharurat (terpaksa), tetapi diperbolehkan memakai sutera, karena asal pengharaman sutera bagi laki-laki adalah karena ia tidak pantas bagi mereka, dan juga menjadi wasilah menuju penyerupaan kaum laki-laki yang dilebihkan dengan sifat kejantanan mirip kaum wanita yang ditumbuhkan dengan perhiasan. Oleh karena itu emas dan perak diharamkan bagi kaum laki-laki.” (Asy-Syarhul Mumti’: 8/420).

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ فِي الْقُمُصِ الْحَرِيرِ فِي السَّفَرِ مِنْ حِكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا أَوْ وَجَعٍ كَانَ بِهِمَا

“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan keringanan untuk Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin al-Awwam untuk memakai gamis sutera dalam perjalanan karena penyakit gatal yang dialami oleh keduanya.” (HR. Al-Bukhari: 2704, Muslim: 3869 dan ini adalah lafazhnya, Abu Dawud: 3534 dan at-Tirmidzi: 1644).

Dari Abdurrahman bin Tharafah rahimahullah:

أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ

“Bahwa kakeknya, Arfajah hidungnya mengalami patah tulang pada perang Kulab di masa jahiliyah. Kemudian ia menjadikan hidung dari perak dan hidungnya membusuk. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkannya untuk menjadikan hidung dari emas.” (HR. Ahmad: 18235, an-Nasai: 5070, at-Tirmidzi: 1692 dan ia berkata hasan gharib. Al-Albani meng-hasan-kannya dalam Shahih wa Dhaif Sunan an-Nasai: 5161).

Isbal Sarung atau Celana di bawah Mata Kaki

Termasuk dalam bab ‘Pengharaman secara Wasilah’ adalah memanjangkan sarung atau celana di bawah mata kaki. Ini karena perbuatan isbal menjadi wasilah menuju kesombongan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ

“Bagian sarung yang berada di bawah mata kaki, maka tempatnya di neraka.” (HR. Al-Bukhari: 5341, an-Nasai: 5236 dan Ahmad: 8951 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga pernah berpesan kepada seorang Arab badui:

وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ

“Berhati-hatilah kamu dari perbuatan isbal (menurunkan kain sarung melebihi mata kaki, pen)! Karena perbuatan tersebut termasuk kesombongan. Allah tidak menyukai kesombongan.” (HR. Ahmad: 19717, Abu Dawud: 3562 dan di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’: 7309).

Al-Allamah Manshur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali (wafat tahun 1052 H) rahimahullah berkata:

فَإِنْ أَسْبَلَ ثَوْبَهُ لِحَاجَةٍ كَسَتْرِ سَاقٍ قَبِيحٍ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءَ أُبِيحَ

“Jika seseorang memanjangkan pakaiannya melebihi mata kaki karena ada hajat (kebutuhan) seperti menutupi mata kaki yang jelek, tanpa berniat menyombongkan diri, maka itu diperbolehkan.” (Kasysyaful Qina’ an Matnil Iqna’: 2/304).

Al-Allamah Ibnu Muflih al-Hanbali (wafat tahun 763 H) rahimahullah berkata:

وَيَحْرُمُ فِي الْأَصَحِّ وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ أَحْمَدَ ، بَلْ كَبِيرَةٌ عَلَى مَا يَأْتِي مِنْ نَصِّهِ إسْبَالُ ثِيَابِهِ خُيَلَاءَ فِي غَيْرِ حَرْبٍ بِلَا حَاجَةٍ ، نَحْوُ كَوْنِهِ خَمْشَ السَّاقَيْنِ

“Dan diharamkan –dalam pendapat yang paling shahih. Dan ini adalah dhahir dari ucapan Imam Ahmad, bahkan termasuk dosa besar menurut teks yang datang dari beliau- memanjangkan pakaiannya melebihi mata kaki dalam rangka sombong, bukan dalam peperangan, tanpa ada hajat (kebutuhan), seperti seseorang yang terluka kedua betisnya.” (Al-Furu’: 2/1).

Penulis berkata: Maka jika seseorang terluka kedua betisnya dengan luka lecet luas, maka dokter tidak menganjurkan untuk menutupi luka tersebut dengan kasa pembalut, karena luka semakin basah dan lama mengeringnya. Akan tetapi jika luka tersebut tidak ditutupi baju, maka banyak lalat akan hinggap pada luka tersebut sehingga juga memperlama penyembuhan. Maka ia boleh menutupi lukanya dengan bajunya meskipun dengan isbal sampai sembuh. Wallahu a’lam.

Melihat Wanita Bukan Mahram

Termasuk dalam bab ‘Pengharaman secara Wasilah’ adalah melihat kepada wanita asing yang bukan mahram.

Jarir bin Abdillah al-Bajali radliyallahu anhu berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang melihat (wanita asing) secara tiba-tiba (tidak disengaja, pen). Maka beliau memerintahkanku agar memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim: 4018, at-Tirmidzi: 2700 dan Abu Dawud: 1836).

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan:

وهذا الذي ذكرناه في جميع هذه المسائل من تحريم النظر هو فيما اذا لم تكن حاجة أما اذا كانت حاجة شرعية فيجوز النظر كما في حالة البيع والشراء والتطبب والشهادة ونحو ذلك ولكن يحرم النظر في هذه الحال بشهوة فإن الحاجة تبيح النظر للحاجة إليه وأما الشهوة فلا حاجة اليها

“Larangan melihat wanita asing -yang kami sebutkan di dalam semua persoalan ini- adalah jika tidak ada hajat (kebutuhan). Adapun jika terdapat hajat (kebutuhan) syar’i, maka diperbolehkan melihatnya sebagaimana di dalam proses jual beli, praktek kedokteran, persaksian di pengadilan dan lain sebagainya. Akan tetapi melihat kepada wanita asing tetaplah haram dalam keadaan ini dengan syahwat, karena hajat hanyalah memperbolehkan melihat untuk sekedar kebutuhan. Adapun pandangan syahwat, maka bukanlah kebutuhan..dst.” (Syarh an-Nawawi ala Muslim: 4/31).

Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:

ولما حرم عليهم النظر إلى الأجنبية أباح منه ما تدعو إليه الحاجة للخاطب والمعامل والشاهد والطبيب

“Ketika Allah mengharamkan kepada mereka (kaum muslimin) melihat kepada wanita asing, maka Allah memperbolehkan melihat ketika ada hajat (kebutuhan) atasnya untuk orang yang melamar wanita untuk dinikahi, orang bermuamalah, saksi dan dokter.” (I’lamul Muwaqqi’in: 2/26).

Datang ke Tempat Ikhtilath

Termasuk dalam bab ‘Pengharaman Wasilah’ adalah perbuatan ikhtilath (bercampur baur) antara laki-laki dan perempuan. Perbuatan ini dilarang dalam syariat karena menjadi wasilah menuju perzinahan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berusaha memisahkan antara laki-laki dan perempuan di tempat-tempat umum. Dari Abi Usaid al-Anshari radliyallahu anhu:

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنْ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتْ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

“Bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata –sedangkan beliau keluar dari masjid-. Kemudian kaum laki-laki berikhtilath dengan kaum perempuan di jalan. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada wanita: “Mundurlah kalian! Karena kalian tidak pantas berada di tengah jalan. Wajib bagi kalian untuk berada di tepi jalan.” Maka wanita menempel di tembok sampai bajunya tersangkut di tembok karena mepetnya ia dengan tembok.” (HR. Abu Dawud: 4588, ath-Thabrani dalam al-Kabir: 16250 (19/261) dan di-hasan-kan oleh al-Albani karena jalannya dalam Silsilah ash-Shahihah nomer: 856).

Di dalam majelis ta’lim pun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu anhu berkata:

قَالَتْ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ

“Para wanita berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Kaum lelaki telah mengalahkan kami (dalam menuntut ilmu ad-dien, pen). Maka jadikan untuk kami dari harimu (untuk mengajari kami, pen)!” Maka beliau menjanjikan suatu hari untuk bertemu dengan mereka di hari itu. Kemudian beliau menasehati dan memerintahkan mereka..dst.” (HR. Al-Bukhari: 99, Ahmad: 11261).

Setelah membaca hadits di atas kita dihadapkan pada beberapa kenyataan di Negara-negara seperti Indonesia dan sebagainya yang berupa tempat-tempat ikhtilat seperti pasar ikhtilat, sekolah ikhtilat dan lainnya. Di sini kita belum menjumpai tempat-tempat yang benar-benar bebas dari ikhtilat untuk memenuhi hajat (kebutuhan) kita.

Al-Allamah al-Faqih Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah ditanya tentang jual beli di pasar ikhtilat:

هل يجوز للمسلم أن يدخل سوقا تجارية وهو يعلم أن فى السوق نساء كاسيات عاريات وأن فيه اختلاطا لا يرضاه الله عز وجل؟ فأجاب:  مثل هذا السوق لا ينبغي دخوله إلا لمن يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر أو لحاجة شديدة مع غض البصر والحذر من أسباب الفتنة حرصا على السلامة لعرضه ودينه وابتعادا عن وسائل الشر..الخ

“Bolehkah seorang muslim masuk ke pasar perdagangan sedangkan ia mengetahui bahwa di pasar tersebut terdapat wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang. Dan di dalamnya terdapat ikhtilat yang tidak diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla?” Beliau menjawab: “Pasar seperti ini tidak boleh dimasuki kecuali bagi orang yang memerintahkan perkara ma’ruf dan melarang dari perkara munkar atau (ia memasukinya) karena kebutuhan (hajat) yang sangat, disertai dengan menundukkan pandangan dan berhati-hati dari sebab-sebab fitnah, dalam rangka bersemangat untuk menyelamatkan kehormatan dan agamanya, dalam menjauhi wasilah-wasilah kejelekan..dst.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 27/529).

Al-Allamah al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang pengajar di sekolah-sekolah ikhtilat:

لا شك أن خلط البنين بالبنات في المدارس أمر منكر, وأنه لا يجوز, ولكن هذا ليس إلى الشعوب هذا إلى الحكومات, والمسئول عنه الرئيس الأول في كل دولة, وهذا الذي سيحاسبه الله عز وجل يوم القيامة, فإذا لم يكن هناك طريق إلى إيصال العلم إلى الناس إلا بهذه الطريق فليدرس فيها وليغض البصر ما استطاع بالنسبة لرؤية النساء, وليحرص هو بنفسه على أن يفرقها؛ لأن المعلم الأجنبي كالمدير تماماً, يعني: هو في فصله يعمل ما شاء, فتنكره إذا دخلت، أن يخفف من شأن هذا الاختلاط وتقول للنساء: كن في الخلف جميعاً والرجال كلهم في الأمام جميعاً, وليكن حازماً في هذا, وهذا لا شك أن فيه تخفيفاً من الشر والبلاء.

“Tidak diragukan lagi bahwa bercampur baurnya anak laki-laki dan perempuan di sekolah-sekolah adalah perkara munkar, perkara tersebut tidak diperbolehkan. Akan tetapi tanggung jawab ini tidaklah dibebankan kepada masyarakat. Tanggung jawabnya dibebankan kepada pemerintah. Yang dimintai pertanggungjawaban adalah pemimpin tertinggi di setiap Negara. Dan ini yang akan dihisab oleh Allah pada hari kiamat. Maka jika di sana tidak ditemukan cara menyampaikan ilmu kepada manusia kecuali melalui cara seperti ini (yakni ikhtilat), maka hendaknya ia mengajar di dalamnya, hendaknya ia menundukkan pandangan semampunya kepada para wanita. Hendaknya ia bersemangat untuk memisahkan diri (dari wanita), karena pengajar itu seperti direktur (dalam kelas) secara sempurna. Maksudnya: ia bisa bertindak dalam kelas sekehendaknya, sehingga ia diingkari oleh wanita ketika masuk. Hendaknya ia meminimalkan keadaan ikhtilat tersebut. Hendaknya ia berkata kepada siswa wanita: “Kalian semua duduk di belakang. Sedangkan laki-laki berada di depan.” Hendaknya ia bersemangat atas demikian. Dan ini tidak diragukan lagi, bisa meminimalkan kejelekan dan fitnah.” (Liqaa’ul Babil Maftuh: 103/9).

Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah juga pernah menjelaskan tentang orang-orang yang mempunyai hajat (kebutuhan) untuk belajar di sekolah ikhtilat:

فعلى كل حال نقول أيها الأخ يجب عليك أن تتطلب مدرسةً ليس هذا وضعها فإن لم تجد مدرسةً إلا بهذا الوضع وأنت محتاجٌ إلى الدراسة فإنك تدرس وتحرص بقدر ما تستطيع على البعد عن الفاحشة والفتنة بحيث تغض بصرك وتحفظ لسانك ولا تتكلم مع النساء ولا تمر إليهن

“Apa pun keadaannya, kami katakan: “Wahai Saudara! Wajib atasmu untuk mencari sekolah yang bukan seperti ini keadaannya (yaitu menerapkan system ikhtilat, pen). Maka jika kamu tidak menjumpai sekolah kecuali dengan system ini, sedangkan kamu membutuhkan untuk belajar (di dalamnya), maka kamu bisa belajar di situ dan bersemangat semampumu untuk menjauhi dari perbuatan keji dan fitnah, dengan cara menundukkan pandanganmu, menjaga lesanmu, tidak mengobrol dengan kaum wanita dan tidak mondar-mandir kepada mereka.” (Fatawa Nur alad Darb, bab Fatawa al-Muallimin wath Thullab: 12).

Beliau juga menjelaskan tentang orang yang diuji dengan hidup di daerah yang menerapkan system ikhtilat:

يمكن أن يقال بالتفصيل: إن دعت الضرورة لذلك بأن لا يوجد جامعات أو مدارس خالية من ذلك فهنا قد تكون هناك ضرورة, وفي هذه الحال يجب على الطالب أن يبتعد عن الجلوس إلى امرأة أو التحدث معها أو تكرار النظر إليها, يعني بقدر ما يستطيع يبتعد عن الفتنة، فأما إذا كان يمكن أن يدرس في مدارس أخرى خالية من الاختلاط أو بها نصف اختلاط بأن يكون النساء في جانب والرجال في جانب آخر , وإن كان الدرس واحدا فليتق الله ما استطاع.

“Mungkin bisa diperinci: Jika terdapat keadaan dharurat, seperti jika tidak ditemukan universitas atau sekolah yang bersih dari perkara tersebut (yaitu ikhtilat, pen), maka di sana terdapat keadaan dharurat. Pada keadaan seperti ini wajib bagi pelajar untuk menjauhkan dirinya dari duduk dekat dengan wanita atau berbincang-bincang dengannya atau berulang kali memandanginya, maksudnya: ia menjauhi fitnah semampunya. Adapun jika masih mungkin untuk belajar di sekolah-sekolah lainnya yang bersih dari ikhtilat atau sekolah dengan setengah ikhtilat, seperti jika pelajar wanita di salah satu sisi kelas sedangkan pelajar laki-laki di sisi lainnya sedangkan pelajarannya masih menjadi satu, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah semampunya.” (Syarh Hilyah Thalibil Ilmi: 110).

Al-Allamah Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah pernah ditanya:

عندنا فى الجزائر معاهد تدرس العلوم الشرعية تكون الدراسة فيها بجلوس الطلبة في الأمام والنّساء في الوراء، ويدرّسنا الرّجال والنّساء، وعندما يدرّسنا الرّجال، نحن الملتزمات نلبَسُ جلابيبنا ونغطّي وجوهنا ونجلس في المؤخّرة ولا نحضر إلا في الدّروس الإجباريّة، من أجل الحصول على شهاداتٍ تمكّننا من تدريس النّساء بترخيصات من وليّ الأمر لا تعطى إلا للمتحصّلات على شهاداتٍ من هذه المعاهد، وأهلُ البدع يمنعوننا من المساجد إلاّ بهذه الشهادات، فما توجيهكم شيخَنا؟

فأجاب: أقول: إذا كان الأمر عندكم كما تقولين فهنا يجوز لكم بهذا الشّرط: أن تلبَسْنَ جلابيبكن وتجلسن في المؤخّرة، وتسمع المرأة من المحاضر أو المحاضِرة، ويعني تطلق إذا كان رجل، المحاضر رجل، تطلق يعني تغطّي وجهها ولا تنظر إليه، هذا الذي يجب وإذا فعلتن ذلك نرجو لَكُنَّ إن شاء اللهُ الخيرَ إذا كان بهذه النيّة: بنيّة أن تدرّسن النّساءَ الأخرياتِ فذُكِرَ له أن السائلةَ تقول: علمًا أنّنا سألْنا الشيخ زيداً أمسِ فأقرّنا بالشّروط الشرعيّة: بستر الوجوه وعدم الاندماج مع الرجال والانصراف مباشرةً بعد الدّروس وقال لي: حتّى ييسّر الله الأمور.  فأقرّه الشيخ بقوله: تمام

“Di tempat kami (para mahasiswi) di Aljazair terdapat institut-institut pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu syar’i. Pelajaran di dalamnya dilaksanakan dengan duduknya para pelajar laki-laki di depan dan pelajar perempuan di sebelah belakang. Kami diajar oleh dosen laki-laki dan perempuan. Ketika kami diajar oleh dosen laki-laki, maka kami melazimkan diri untuk berjilbab, menutupi wajah kami dan duduk di sebelah belakang. Kami tidak menghadiri kuliah kecuali pada mata kuliah yang bersifat wajib, agar bisa mendapatkan syahadah (ijazah) agar bisa mengajar para wanita lainnya dengan kemudahan dari pemerintah. Ijin mengajar tidak diberikan kecuali kepada para wanita yang telah mendapatkan syahadah (ijazah) dari institut tersebut. Dan ahlul bid’ah menghalangi kami dari mengajar di masjid-masjid kecuali dengan syahadah (ijazah) ini. Bagaimana arahan dari Anda, wahai Syaikh kami?”

Beliau menjawab: “Saya katakan: “Jika perkaranya seperti yang kalian ceritakan, maka diperbolehkan bagi kalian (untuk belajar di tempat itu, pen) dengan syarat: kalian mengenakan jilbab-jilbab kalian dan duduk di sebelah belakang. Anda bisa mendengarkan pelajaran dari dosen wanita. Jika dosennya laki-laki, maka Anda menutup wajah Anda dan tidak memandangnya. Ini yang wajib dan jika kalian memenuhinya (syarat-syarat itu, pen), maka kami berharap kebaikan atas kalian –insya Allah- dengan niat ini; niat untuk mengajari wanita lainnya.” Kemudian diceritakan kepada beliau (Syaikh an-Najmi) bahwa si wanita penanya juga bertanya kepada asy-Syaikh Zaid (bin Hadi al-Madkhali rahimahullah, pen) kemarin dengan pertanyaan serupa, maka beliau (Syaikh Zaid) juga menyetujui kami dengan syarat-syarat syar’i: dengan menutup wajah, tidak bergaul dan bergabung dengan pelajar laki-laki dan langsung pulang setelah selesai pelajaran. Dan Syaikh (Zaid) juga berkata kepadaku: “Sampai Allah memudahkan urusan (yakni berdirinya institute  pendidikan tanpa ikhtilat, pen). Kemudian asy-Syaikh an-Najmi menyetujui kami dengan ucapan beliau: “Sempurna.” (Kaset As’ilah wa Ijabat asy-Syaikh an-Najmi tanggal 1-4-1427 H dengan judul “Haula Dirasatil Akhwat fil Ma’ahid asy-Syar’iyah al-Mukhtalithah fil Jazair”. Lihat kitab ash-Shirath fi Taudlihi Haalatil Ikhtilath: 41-42).

Tempat-tempat ikhtilat lainnya selain sekolah adalah tempat fashion, penjahit atau butik. Al-Allamah Shalih Fauzan hafizhahullah pernah ditanya:

ما حكم تحدث المرأة مع صاحب محل الملابس أو الخياط ؟ مع الرجاء توجيه كلمة شاملة إلى النساء .الجواب: تحدث المرأة مع صاحب المتجر التحدث الذي بقدر الحاجة وليس فيه فتنة لا بأس به، كانت النساء تكلم الرجال في الحاجات والأمور التي لا فتنة فيها وفي حدود الحاجة .أما إذا كان مصحوبًا بضحك أو بمباسطة أو بصوت فاتن؛ فهذا محرم لا يجوز..الخ

“Apakah hukum berbincang-bincangnya wanita dengan pemilik butik atau fashion atau penjahit? Mohon arahan kalimat yang menyeluruh bagi wanita.” Jawab: “Berbincang-bincangnya wanita bersama pemilik kios tersebut dengan pembicaraan yang seperlunya dan tanpa fitnah adalah tidak apa-apa. Maka wanita boleh berbicara dengan laki-laki dalam perkara hajat (kebutuhan) dan perkara-perkara yang tidak menimbulkan fitnah dan dalam batasan hajat (kebutuhan). Adapun jika disertai dengan tertawa atau berseri-seri atau suara yang menimbulkan fitnah, maka ini diharamkan, tidak boleh…dst.” (Al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan: 60/2).

Sebagian Jual Beli Gharar

Termasuk perkara yang diharamkan sebagai wasilah adalah sebagian jual beli gharar. Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang jual beli gharar.” (HR. Muslim: 2786, Abu Dawud: 2932 dan ini lafazh Abu Dawud, an-Nasai: 4442, at-Tirmidzi: 1151 dan Ibnu Majah: 2185).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

قوله بيع الغرر بفتحتين أي المخاطرة ومنه عش ولا تغتر والمراد به في البيع الجهل به أو بثمنه أو بأجله

“Maksud sabda beliau ‘jual beli gharar’ adalah ‘jual beli mukhatharah (taruhan atau tipuan)’. Dari kata ‘gharar’ diambil kalimat “Hiduplah dan janganlah tertipu!” Maksud “gharar’ dalam jual beli adalah jual beli barang yang tidak diketahui barangnya, atau tidak diketahui harganya atau tidak diketahui masanya.” (Fathul Bari: 1/162).

Jual beli gharar termasuk pengharaman wasilah. Jika di dalam sebuah jual beli terdapat ‘perkara gharar’, sedangkan kita sulit menghindarinya dan dalam keadaan sangat membutuhkannya, maka perkara gharar tersebut menjadi halal dan dimaafkan. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

الاصل أن بيع الغرر باطل لهذا الحديث والمراد ما كان فيه غرر ظاهر يمكن الاحتراز عنه (فأما) ما تدعو إليه الحاجة ولا يمكن الاحتراز عنه كأساس الدار وشراء الحامل مع احتمال أن الحمل واحد أو أكثر وذكر أو أنثى وكامل الاعضاء أو ناقصها وكشراء الشاة في ضرعها لبن ونحو ذلك فهذا يصح بيعه بالاجماع..الخ

“Secara asal, jual beli ‘gharar’ adalah batil (rusak) karena hadits ini. Yang dimaksud adalah jual beli yang di dalamnya terdapat ‘perkara gharar (ketidakjelasan)’ yang nyata, dan masih mungkin untuk menghindarinya. Adapun perkara gharar yang dibutuhkan dan tidak mungkin dihindari, seperti rumah dengan pondasinya, jual beli binatang yang sedang bunting dengan kemungkinan isi binatang yang dikandung adalah satu atau lebih, jantan atau betina, anggota badan yang sempurna atau cacat, dan juga seperti jual beli kambing yang berisi susu dan sebagainya, maka ini sah diperjualbelikan, secara ijma’ (konsensus)…dst.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 9/258).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan beberapa jual beli yang terdapat unsur ghararnya seperti jual beli gabah dan buah di kulitnya, gabah di tangkainya, kelapa dalam kulitnya, umbi dalam tanah, jual beli barang secara ghaib dengan khiyar dan sebagainya. Beliau menyatakan:

وَأَمَّا مَالِكٌ فَمَذْهَبُهُ أَحْسَنُ الْمَذَاهِبِ فِي هَذَا، فَيَجُوزُ بَيْعُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ وَجَمِيعِ مَا تَدْعُو إلَيْهِ الْحَاجَةُ، أَوْ يَقِلُّ غَرَرُهُ بِحَيْثُ يُحْتَمَلُ فِي الْعُقُودِ

“Adapun Imam Malik, maka madzhab beliau adalah madzhab yang paling baik dalam hal ini. Maka diperbolehkan jual beli perkara-perkara ini dan semua yang dibutuhkan, atau jumlah perkara ‘gharar’nya hanya sedikit, sekira mungkin terjadi dalam akad-akad…dst.” (Majmu’ul Fatawa: 29/33).

Beliau juga berkata:

وَمَفْسَدَةُ الْغَرَرِ أَقَلُّ مِنْ الرِّبَا، فَكَذَلِكَ رُخِّصَ فِيمَا تَدْعُو إلَيْهِ الْحَاجَةُ، فَإِنَّ تَحْرِيمَهُ أَشَدُّ ضَرَرًا مِنْ ضَرَرِ كَوْنِهِ غَرَرًا، مِثْلُ: بَيْعِ الْعَقَارِ، وَإِنْ لَمْ تُعْلَمْ دَوَاخِلُ الْحِيطَانِ وَالْأَسَاسِ، وَمِثْلُ بَيْعِ الْحَيَوَانِ الْحَامِلِ أَوْ الْمُرْضِعِ، وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ مِقْدَارُ الْحَمْلِ وَاللَّبَنِ

“Kerusakan ‘gharar’ itu lebih sedikit daripada kerusakan riba. Demikian pula diberikan keringanan atas ‘gharar’ di dalam perkara hajat (yang dibutuhkan). Maka pengharaman riba itu lebih keras daripada keadaan ‘gharar’, seperti jual beli pekarangan, (maka diperbolehkan) walaupun keadaan tanah dan pondasi bangunan belum diketahui, dan juga seperti jual beli binatang yang bunting atau menyusui, walaupun keadaan janin dan kadar susu belum diketahui.” (Al-Fatawa al-Kubra: 4/18).

Adapun jika sifat ghararnya bisa dihindari dan tidak ada kebutuhan (hajat) atasnya seperti jual beli ikan dalam air, jual beli burung di udara, jual beli budak yang telah kabur, jual beli janin dalam perut hewan dan lain sebagainya, maka itu termasuk jual beli yang batil (rusak). Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan:

وكل هذا بيعه باطل لأنه غرر من غير حاجة

“Ini semua jual belinya adalah batil (rusak), karena termasuk jual beli gharar yang tidak dibutuhkan.” (Syarhun Nawawi ala Muslim: 10/156).

Di antara bentuk jual beli yang mengandung ‘gharar’ yang banyak terjadi di masa kini adalah jual beli makanan dan minuman dalam kemasan, alat-alat rumah tangga dalam kemasan, jual beli mobil -dalam keadaan tidak tahu keadaan mesinnya- dan sebagainya. Para ulama terdahulu menyebutnya dengan jual beli barang ‘mughayyabat’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:

وَأَمَّا بَيْعُ الْمُغَيَّبَاتِ فِي الْأَرْضِ كَالْجَزَرِ وَاللِّفْتِ وَالْقُلْقَاسِ : فَمَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهُ يَجُوزُ ؛ وَهُوَ قَوْلٌ فِي مَذْهَبِ أَحْمَد. وَمَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد فِي الْمَعْرُوفِ عَنْهُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ وَهُوَ أَنَّهُ يَجُوزُ بَيْعُهَا فَإِنَّ أَهْلَ الْخِبْرَةِ إذَا رَأَوْا مَا ظَهَرَ مِنْهَا مِنْ الْوَرَقِ وَغَيْرِهِ دَلَّهُمْ ذَلِكَ عَلَى سَائِرِهَا . وَأَيْضًا فَإِنَّ النَّاسَ مُحْتَاجُونَ إلَى هَذِهِ الْبُيُوعِ وَالشَّارِعُ لَا يُحَرِّمُ مَا يَحْتَاجُ النَّاسُ إلَيْهِ مِنْ الْبَيْعِ لِأَجْلِ نَوْعٍ مِنْ الْغَرَرِ

“Adapun jual beli barang ‘mughayyabat’ dalam tanah seperti wortel, lobak, dan talas, maka madzhab Malik membolehkannya. Ini satu pendapat dalam madzhab Ahmad. Menurut madzhab Hanafi, asy-Syafi’i dan Ahmad dalam pendapat yang ma’ruf darinya, bahwa perkara tersebut tidak boleh. Pendapat pertama (yakni yang membolehkan) adalah lebih shahih. Karena para pakar jika melihat yang tampak dari daun umbi tersebut, maka akan mendapat petunjuk tentang umbi yang ada di tanah. Dan lagi, manusia membutuhkan pada jual beli semacam ini. Dan syariat tidaklah mengharamkan jual beli yang dibutuhkan oleh manusia karena ada semacam unsur gharar.” (Majmu’ul Fatawa: 29/227).

Pendapat Ibnu Taimiyah di atas disetujui oleh al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahumallah dalam ucapan beliau:

وهذا القول أصح، وهو الذي عليه العمل من زمن قديم، ولا يرون في هذا جهالة، ثم إذا قدر أن هناك جهالة فهي جهالة يسيرة لا تكون غررا

“Pendapat ini yang paling shahih. Dan itulah yang menjadi amalan sejak jaman dahulu (Salaf). Mereka tidak menganggapnya sebagai bentuk ketidakjelasan. Kemudian jika ditemukan adanya ketidakjelasan, maka kadarnya hanya sedikit, sehingga tidak disebut gharar.” (Asy-Syarhul Mumti’: 8/158).

Sayyid Sabiq berkata dalam Fiqhus Sunnah:

وكذا يجوز بيع المغيبات إذا وصفت أو علمت أوصافها بالعادة والعرف. وذلك كالاطعمة المحفوظة والادوية المعبأة في القوارير وأنابيب الاكسوجين وصفائح البنزين والغاز ونحو ذلك مما لا يفتتح إلا عند الاستعمال لما يترتب على فتحه من ضرر أو مشقة. ويدخل في هذا الباب ما غيبت ثمارة في باطن الارض مثل الجزر واللفت والبطاطس والقلقاس والبصل، وما كان من هذا القبيل فإن هذه لا يمكن بيعها بإخراج المبيع دفعة واحدة لما في ذلك من المشقة على أربابها، ولا يمكن بيعها شيئا فشيئا لما في ذلك من الحرج والعسر، وربما أدى ذلك إلى فساد الاموال أو تعطيلها.

“Demikian pula diperbolehkan jual beli barang ‘mughayyabat’ jika sifat-sfatnya telah diketahui menurut urf atau kebiasaan. Ini seperti makanan yang terbungkus dalam kemasan, obat-obat yang disimpan dalam botol, tabung oksigen, gas elpiji dan lain sebagainya dari barang-barang yang tidak boleh dibuka kemasannya kecuali ketika dipakai karena jika dipaksakan dibuka, maka akan timbul bahaya dan kesulitan. Dan termasuk dalam bab ini, adalah buah yang terpendam dalam bumi seperti wortel, lobak, kentang, talas dan sebagainya, karena ini semua tidak mungkin dijual dengan cara mencabut dari akarnya secara langsung, karena akan menyulitkan pemiliknya (yaitu: jika pembeli tidak cocok, maka umbi tersebut tidak bisa ditanam lagi, pen), dan juga tidak bisa dijual sedikit demi sedikit (diprotoli dari akar tanamannya, pen), karena adanya keberatan dan kesulitan (yakni tanaman pokok akan ikut mati, pen). Dan terkadang perkara tersebut bisa membawa kepada kerusakan dan habisnya harta. (Fiqhus Sunnah: 3/65).

Dan untuk melindungi hak konsumen, maka dalam jual beli ‘mughayyabat’ berlaku ‘khiyar aib’ atau disebut ‘garansi’. Al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menyatakan:

أما إذا تبين في السلعة وجود عيب كان موجوداً من قبل، وليس طارئاً، فهذا يسمى خيار العيب وهو غير خيار الشرط وخيار المجلس

“Adapun jika pada barang yang dibeli itu terdapat cacat yang terjadi sebelum barang diperjualbelikan, bukan yang baru muncul, maka ini disebut dengan ‘khiyar aib’. Dan ini bukan khiyar syarat dan bukan pula khiyar majelis.” (Syarh Sunan Abi Dawud: 18/65).

Melakukan Onani

Hukum asal onani adalah haram. Syaikhul Islam Ibnu taimiyah rahimahullah menyatakan:

أَمَّا الِاسْتِمْنَاء فَالْأَصْلُ فِيهِ التَّحْرِيمُ عِنْدَ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَعَلَى فَاعِلِهِ التَّعْزِيرُ ؛ وَلَيْسَ مِثْلَ الزِّنَا. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Adapun onani, maka hukum asalnya adalah haram menurut jumhur ulama. Dan pelakunya wajib di-ta’zir, tetapi ia tidak seperti zina. Wallahu a’lam.” (Majmu’ul Fatawa: 34/229).

Di antara dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ () إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ () فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mukminun: 5-7).

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata:

واستدلّ بها بعض أهل العلم على تحريم الاستمناء لأنه من الوراء لما ذكر

“Sebagian ulama berdalil dengan ayat di atas akan haramnya onani, karena onani termasuk yang di balik itu.” (Fathul Qadir: 5/145).

Akan tetapi pengharaman onani merupakan pengharaman wasilah, bukan pengharaman secara dzat, seperti zina yang diharamkan secara dzatnya. Sehingga onani dibolehkan ketika ada hajat (kebutuhan). Al-Allamah al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan:

واستفدنا من كلام المؤلف أن الاستمناء باليد من غير حاجة حرام

“Kita mengambil faedah dari ucapan penulis Zadul Mustaqni’ (yakni al-Hijawi rahimahullah, pen) bahwa beronani dengan tangan tanpa ada hajat (kebutuhan) adalah haram.” (Asy-Syarhul Mumti’: 14/319).

Al-Allamah Abdullah bin Humaid rahimahullah pernah ditanya tentang hukum onani untuk analisa sperma untuk mengobati kemandulan. Beliau menjawab:

لا بأس بذلك ما دام أنه محتاج إليه ، فقد قال العلماء : ومن استمنى بيده من غير حاجة عزر ، أما هذا فلحاجة وهي إخراج المني لتحليله ومعرفة المرض الذي من أجله لم ينجب هذا الشخص ولعل العلة منه أو من زوجته ، فمثل هذه الحالة لا بأس بها إن شاء الله .

“Tidak mengapa melakukan onani selagi ia berhajat atasnya. Para ulama menyatakan: “Barangsiapa beronani dengan tangannya tanpa hajat, maka ia harus di-ta’zir. Adapun ini, maka diperbolehkan karena hajat, yaitu mengeluarkan mani untuk analisa sperma dan mengetahui penyakit yang menyebabkan ia sulit mempunyai keturunan. Apakah penyebab kemandulan itu darinya atau dari istrinya. Maka keadaan seperti ini tidak apa-apa insya Allah.” (Fatawa asy-Syaikh Abdullah bin Humaid halaman: 271. Lihat Fatawa al-Islam Su’al wa Jawab: 2956).

Asy-Syaikh Dr. Muhammad Ali Farkous hafizhahullah pernah menjawab pertanyaan serupa:

فإذا التجأ المحتاج إلى الاستمناء على جهة التطبيب لا على سبيل المتعة والتلذّذ فإنه يجوز للحاجة، جريًا على ما يعرف تقعيدًا أنَّ «ما حُرِّم لغيره يُباح للحاجة ».

“Jika seseorang membutuhkan onani untuk kepentingan terapi kedokteran, bukan untuk bersenang-senang, maka ini diperbolehkan karena ada hajat (kebutuhan), menurut kaedah fikih yang terkenal “Perkara yang diharamkan secara wasilah, diperbolehkan karena hajat (kebutuhan).” (Fatawa asy-Syaikh Muhammad Ali Farkous: 141/1).

Kalender Miladiyah

Menggunakan penanggalan Milad atau Masehi adalah haram dengan pengharaman wasilah karena menunjukkan tasyabbuh dengan orang-orang nashrani.

Al-Allamah Shalih Fauzan hafizhahullah menjelaskan:

والصَّحابة رضي الله عنهم كان التاريخ الميلادي موجودًا، ولم يستعملوه، بل عدلوا عنه إلى التاريخ الهجريِّ، وضعوا التاريخ الهجريَّ، ولم يستعملوا التاريخ الميلادي، مع أنه كان موجودًا في عهدهم، هذا دليل على أنَّ المسلمين يجب أن يستقلُّوا عن عادات الكفَّار وتقاليد الكفَّار، لا سيَّما وأنَّ التَّاريخ الميلاديَّ رمز على دينهم؛ لأنه يرمز إلى تعظيم ميلاد المسيح والاحتفال به على رأس السَّنة، وهذه بدعة ابتدعها النصارى؛ فنحن لا نشاركهم ولا نشجِّعهم على هذا الشيء، وإذا أرَّخنا بتاريخهم؛ فمعناه أنَّنا نتشبَّه بهم، وعندنا ولله الحمد التاريخ الهجريُّ، الذي وضعه لنا أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه الخليفة الرَّاشد بحضرة المهاجرين والأنصار، هذا يغنينا.

“Pada masa shababat radliyallahu anhum, tarikh Miladiyah sudah ada. Akan tetapi mereka tidak menggunakannya bahkan berpaling ke tarikh Hijriyah. Mereka menyusun tarikh Hijriyah dan tidak memakai tarikh Miladiyah padahal tarikh tersebut sudah ada. Ini adalah dalil bahwa kaum muslimin wajib berdiri sendiri dari adat orang-orang kafir dan dari bertaqlid dari orang-orang kafir, apalagi tarikh Miladiyah merupakan symbol agama mereka, karena merupakan symbol pada pengagungan kelahiran al-Masih dan merayakannya di akhir tahun. Perayaan ini adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang nashrani. Maka kita tidak (boleh) bersekutu dan membesarkan mereka atas perkara ini. Jika kita menggunakan kalender mereka, maka artinya kita telah bertasyabbuh dengan mereka. Dan Alhamdulillah kita sudah mempunyai kalender Hijriyah yang telah disusun oleh Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu, seorang khalifah yang terbimbing, di hadapan kaum muhajirin dan anshar. Ini sudah mencukupkan kita (dari kalender Miladiyah, pen).” (Al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan: 18/5).

Jika ada hajat (kebutuhan) kepada pemakaian kalender Miladiyah, maka tetap diperbolehkan dengan syarat tetap mencantumkan kalender Hijriyah. Al-Allamah al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

لكن إذا ابتلينا وصار لابد من ذكر التاريخ الميلادي، فلماذا نعدل عن التاريخ الهجري العربي الشرعي إلى هذا التاريخ الوهمي الذي ليس له أساس؟! بالإمكان جداً أن نؤرخ بالتاريخ العربي ثم نقول: الموافق كذا، نظراً إلى أن كثيراً من البلاد الإسلامية لما استعمرها الكفار حولوا التاريخ إلى تاريخهم استعباداً واستذلالاً للشعوب. فنقول: إذا ابتلينا وصار لابد أن نذكر التاريخ الميلادي فليكن أولاً بالعربي الهجري الشرعي ثم نقول: الموافق كذا

“Akan tetapi, ketika kita diuji (dengan bermuamalah dengan orang-orang Ajam, pen), sehingga harus menyebutkan kalender Miladiyah, maka mengapa kita berpaling dari tarikh Hijriyah Arab yang syar’i menuju kalender khayalan yang tidak mempunyai dasar? Sangat dimungkinkan sekali kita menggunakan tarikh Hijiriyah kemudian kita katakan: “Yang bertepatan dengan tanggal sekian (kalender Miladiyah, pen), karena melihat kenyataan bahwa ketika kebanyakan negeri-negeri Islam dijajah oleh orang-orang kafir, maka mereka mengganti tarikh Hijriyah dengan kalender mereka dalam rangka memperbudak dan menghinakan bangsa-bangsa yang dijajah. Maka kita katakan: “Jika kita diuji, sehingga harus menyebutkan kalender Miladiyah, maka hendaknya yang disebutkan pertama kali adalah tarikh Hijriyah Arab Syar’i, kemudian kita katakan: “Yang bertepatan dengan tanggal sekian (kalender Miladiyah, pen).” (Liqa’ul Babil Maftuh: 169/ 13).

Demikian pula fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabiyah nomer 20722 yang ditandatangani oleh al-Allamah Ibnu Baaz, Abdul Aziz Alusy Syaikh, Ibnu Ghudayyan, Shalih al-Fauzan dan Bakr Abu Zaid. Ketika ditanya dengan pertanyaan serupa, mereka menjawab:

لا يجوز للمسلمين التأريخ بالميلادي ؛ لأنه تشبه بالنصارى ، ومن شعائر دينهم ، وعند المسلمين والحمد لله تاريخ يغنيهم عنه ، ويربطهم بنبيهم محمد – صلى الله عليه وسلم – ، وهو شرف عظيم لهم ، وإذا دعت الحاجة يجمع بينهما

“Tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk menggunakan kalender Miladiyah, karena tasyabbuh dengan kaum nashrani, dan termasuk syiar mereka. Dan Alhamdulillah, kaum muslimin mempunyai tarikh yang mencukupkan mereka dari kalender Miladiyah, yang menghubungkan mereka dengan Nabi mereka, Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Kalender tersebut (yakni Hijriyah, pen) merupakan kemuliaan bagi mereka. Dan jika dibutuhkan, maka pemakaiannya boleh digabung antara keduanya.” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah al-Majmu’ah al-Ula: 26/399).

Sebagian Riba Fadhel

Termasuk dalam bab ‘Pengharaman secara wasilah’ adalah Riba fadhel, yaitu: jual beli barang ribawi yang sejenis dengan adanya selisih seperti emas seberat 5 gram dijual dengan cincin emas seberat 4 gram, 1 sha’ kurma Tunis dibeli dengan 2 sha’ kurma Iraq, 10.000 rupiah ditukar dengan 9.000 rupiah, 1 sha’ ruthab (kurma basah) dibeli dengan 1 sha’ kurma kering ( jual beli Araya, pen) dan sebagainya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا

“Emas dengan emas dijualbelikan dengan timbangan dan ukuran yang sama. Perak dengan perak dijualbelikan dengan timbangan dan ukuran yang sama. Barangsiapa menambah (timbangan atau ukurannya, pen) atau meminta tambah, maka itu adalah riba.” (HR. Muslim: 2973 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu).

Tentang jual beli ruthab (kurma segar) dengan tamar (kurma kering), Sa’ad bin Abi Waqqash radliyallahu anhu berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ عَنْ شِرَاءِ التَّمْرِ بِالرُّطَبِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ قَالُوا نَعَمْ فَنَهَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang jual beli tamar dengan ruthab maka beliau bertanya: “Apakah ruthab itu berkurang ketika kering?” Mereka menjawab: “Iya.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang jual beli demikian.” (HR. Ahmad: 1462, Abu Dawud: 2915, an-Nasai: 4469, at-Tirmidzi: 1146 dan ia berkata hasan shahih, Ibnu Majah: 2255, dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badrul Munir: 6/478 dan dishahihkan pula oleh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil: 1352 (5/199)).

Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa jual beli 2 dirham dengan 3 dirham atau jual beli Rp. 10.000 dengan Rp. 9.000 dan  jual beli kurma segar dengan kurma kering termasuk riba fadhel.

Perlu diketahui bahwa pengharaman riba fadhel tidaklah sebesar riba nasi’ah (jual beli barang ribawi secara tempo). Yang demikian karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيئَةِ

“Sesungguhnya riba hanyalah pada perkara nasi’ah.” (HR. Muslim: 2991, an-Nasai: 4505, Ibnu Majah: 2248 dari Usamah bin Zaid radliyallahu anhuma).

Al-Imam Ibnul Atsir al-Jazari rahimahullah berkata:

هي البيع إلى أجَلٍ معلوم . يريد أنّ بيع الرِّبَوِيَّات بالتأخير من غير تَقابُض هو الرِّبا وإن كان بغير زيادة

“(Perkara nasi’ah) adalah jual beli dengan tempo tertentu. Maksudnya bahwa jual beli barang-barang ribawi (seperti emas, perak, kurma, gandum dan garam) dengan ditunda tanpa serah terima langsung adalah riba, meskipun tanpa selisih.” (An-Nihayah fi Gharibil Atsar: 5/108).

Hadits di atas tidak menunjukkan pembatasan riba hanya pada riba nasi’ah saja. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وَهَذَا كَمَا يُقَالُ إنَّمَا الْعَالِمُ زَيْدٌ وَلَا سَيْفَ إلَّا ذُو الْفَقَارِ يَعْنِي أَنَّهُ هُوَ الْكَامِلُ فِي بَابِهِ وَكَذَلِكَ النَّسِيئَةُ هِيَ أَعْظَمُ الرِّبَا وَكُبْرُهُ

“Ini (yakni: “Sesungguhnya riba hanyalah pada perkara nasi’ah.”) adalah seperti dikatakan bahwa sesungguhnya orang alim hanyalah Zaid dan sesungguhnya pedang itu hanyalah Dzul Faqar. Maksudnya adalah yang sempurna dalam babnya. Demikian pula riba nasi’ah. Ia merupakan riba yang paling besar dan paling agung (dalam babnya).” (Al-Fatawa al-Kubra: 6/50).

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata:

الربا نوعان جلى وخفى فالجلى حرم لما فيه من الضررالعظيم والخفى حرم لأنه ذريعة إلى الجلى فتحريم الأول قصدا وتحريم الثاني وسيلة

“Riba itu ada 2 macam; riba jali (jelas) dan riba khofi (samar). Riba jali diharamkan karena ada bahaya yang besar sedangkan riba khofi diharamkan karena menjadi wasilah menuju riba jali. Maka pengharaman riba pertama adalah pengharaman tujuan sedangkan pengharam riba kedua adalah pengharaman wasilah.” (I’lamul Muwaqqi’in: 2/154).

Kemudian beliau mencontohkan:

فأما الجلى فربا النسيئة وهو الذي كانوا يفعلونه في الجاهلية مثل أن يؤخر دينه ويزيده في المال وكلما أخره زاد في المال..الخ

“Adapun riba jali, maka itu adalah riba nasi’ah, yaitu perkara yang mereka lakukan di masa jahiliyah seperti pembayaran hutang yang ditunda dan ditambahkan pada pokok harta. Setiap kali pembayaran hutang ditunda, maka bertambahlah harta..dst.” (I’lamul Muwaqqi’in: 2/154).

Beliau juga menjelaskan:

وأما ربا الفضل فتحريمه من باب سد الذرائع كما صرح به حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه عن النبي ص – لا تبيعوا الدرهم بالدرهمين فإني أخاف عليكم الرما والرما هو الربا فمنعهم من ربا الفضل لما يخافه عليهم من ربا النسيئة..الخ

“Adapun riba fadhel, maka pengharamannya merupakan bagian dari bab menutup pintu wasilah sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Janganlah kalian berjual beli 1 dirham dengan 2 dirham, karena aku takut atas kalian akan roma’.” Roma’ adalah riba. Maka beliau mengharamkan riba fadhel karena takut akan terjadi riba nasi’ah…dst.” (I’lamul Muwaqqi’in: 2/155).

Oleh karena itu beliau berkata:

وأما ربا الفضل فأبيح منه ما تدعو إليه الحاجة كالعرايا فإن ما حرم سدا للذريعة أخف مما حرم تحريم المقاصد

“Adapun riba fadhel, maka sebagiannya diperbolehkan ketika ada hajat (kebutuhan) atasnya seperti jual beli Araya, karena perkara yang diharamkan secara wasilah itu lebih ringan daripada perkara yang diharamkan secara tujuan.” (I’lamul Muwaqqi’in: 2/159).

Di antara riba fadlel yang diperbolehkan ketika hajat adalah jual beli Araya.

Dari Zaid bin Tsabit radliyallahu anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِي الْعَرِيَّةِ يَأْخُذُهَا أَهْلُ الْبَيْتِ بِخَرْصِهَا تَمْرًا يَأْكُلُونَهَا رُطَبًا

“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan rukhsah (keringanan) jual beli Araya. Sebuah keluarga membeli kurma ruthab ditangkainya dengan tamar (kurma kering) dengan cara dikira-kirakan takarannya. Mereka memakannya dalam keadaan masih berupa ruthab (kurma segar).” (HR. Al-Bukhari: 2042, Muslim: 2839, Ahmad: 20669).

Al-Imam Ibnul Atsir al-Jazari rahimahullah berkata:

واختلف في تفسيرها فقيل : إنه لما نهي عن المُزَابَنَة وهو بيع الثمر في رُؤُوس النَّخْل بالتمر رخَّص في جملة المُزَابنة في العَرَايا وهو أن من لا نَخْلَ له من ذَوي الحاجَة يدْرك الرُّطَبَ ولا نَقْدَ بيده يَشتري به الرُّطَب لِعياله ولا نَخْلَ له يطعِمُهم منه ويكون قد فَضَل له من قوته تمر فيجيءُ إلى صاحِب النخل فيقول له : بِعْنِي ثمر نَخلةٍ أو نَخلَتين بِخرْصِها من التمر فيعطيه ذلك الفاضل من التمر بثمر تلك النَّخَلات ليُصِيب من رُطبها مع الناس فرَخَّصَ فيه إذا كان دُون خمسة أوْسُقٍ

“Dan diperselisihkan tentang tafsir hadits di atas. Maka dikatakan: “Ketika beliau melarang jual beli ‘Muzabanah’, yaitu jual beli kurma segar (ruthab) di atas tangkai pohon dengan tamar (kurma kering), maka beliau memberikan keringanan terhadap sebagian jual beli Muzabanah, yaitu jual beli Araya, yaitu orang miskin yang membutuhkan ruthab tetapi tidak mempunyai kebun kurma. Ia ingin mengkonsumsinya tetapi tidak mempunyai uang atau alat tukar (seperti dinar, dirham, rupiah, binatang ternak dsb, pen) untuk membeli ruthab tersebut untuk keluarganya. Ia juga tidak mempunyai kebun kurma sendiri. Ia hanya mempunyai kurma kering kelebihan makan sehari-hari. Maka ia datang kepada pemilik kebun dan berkata: “Juallah untukku setangkai ruthab atau 2 tangkai ruthab dengan kurma keringku ini dengan cara dikira-kirakan takarannya!” Maka ia memberikan kurma kering kelebihan makan sehari-hari kepada pemilik kebun untuk ditukar dengan ruthab di tangkainya agar ia (dan keluarganya) bisa menikmati lezatnya ruthab ketika manusia bersenang-senang dengan panen kurma. Maka beliau memberikan keringanan atasnya dengan syarat kurang dari 5 wasaq (300 sha’ atau nishab zakat pertanian, pen).” (An-Nihayah fi Gharibil Atsar: 3/452).

Pertanyaan berikutnya: apakah keringanan (rukhsah) tersebut hanya pada buah kurma saja? Ataukah juga boleh pada buah-buah lainnya?

Al-Allamah al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab:

فإذا احتاج الإنسان إلى عنب، وليس عنده إلا زبيب فلا بأس بالشروط التي ذكرنا في العرية، وهذا ـ أيضا ـ أقرب إلى الصواب من المنع واختاره شيخ الإسلام ابن تيمية ـ رحمه الله ـ؛ لأن العلة التي من أجلها رخص في عرايا النخل موجودة في عرايا العنب، وهكذا ما كان مثله مما يحتاج الناس للتفكه به وليس عندهم مال.

“Jika seseorang membutuhkan anggur segar, sedangkan ia tidak mempunyai sesuatu untuk membelinya kecuali buah kismis (anggur kering), maka tidak apa-apa dijualbelikan dengan syarat-syarat yang telah kami sebutkan dalam jual beli Araya. Pendapat yang memperbolehkan ini juga lebih mendekati kebenaran daripada pendapat yang melarangnya. Dan ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, karena alasan rukhsah pada jual beli Araya kurma juga ditemui pada jual beli Araya anggur. Demikian pula buah-buahan semisalnya yang mana manusia mempunyai hajat (kebutuhan) untuk menikmati kelezatannya (ketika panen) sedangkan ia tidak mempunyai harta untuk ditukar dengannya.” (Asy-Syarhul Mumti’: 8/422).

Qiyas dalam Perkara Rukhsah

Perkara hajat dan juga perkara dharurat yang dialami oleh seorang muslim termasuk dalam kategori ‘rukshah syar’iyah’ atau keringanan syariat.

Pengertian rukshah syar’iyah menurut ulama ushul fiqh -sebagaimana yang dinukilkan oleh al-Allamah Badruddin az-Zarkasyi asy-Syafi’i rahimahullah- adalah:

الْحُكْمُ الثَّابِتُ على خِلَافِ الدَّلِيلِ لِعُذْرٍ مع كَوْنِهِ حَرَامًا في حَقِّ غَيْرِ الْمَعْذُورِ

“Hukum yang ditetapkan dengan menyelisihi dalil (al-Quran dan as-Sunnah, pen) karena suatu udzur, padahal perkara tersebut hukumnya haram bagi orang yang tidak mempunyai udzur.” (Al-Bahrul Muhith fi Ushulil Fiqh: 1/262).

Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang adalah: apakah rukhsah syar’iyah itu bisa ditetapkan dengan qiyas (analogi)? Atau hanya terbatas pada teks hadits saja sehingga tidak bisa ditetapkan untuk yang lainnya dengan qiyas?

Sebagai contohnya adalah: apakah rukhsah jual beli Araya itu hanya terbatas pada kurma saja karena hanya kurma yang di-rukhsah dalam teks hadits? Ataukah boleh melakukan jual beli Araya pada anggur karena di-qiyas-kan dengan kurma?

Contoh lainnya: apakah keadaan hajat yang memperbolehkan untuk memelihara anjing hanya terbatas pada anjing penjaga ternak, anjing penjaga ladang dan anjing pemburu saja? Ataukah hajat tersebut boleh diqiyaskan untuk perkara lainnya selain yang disebutkan dalam hadits?

Jawaban:

Keterangan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam permasalahan ini bermacam-macam. Dalam sebagian kitab, beliau tidak mengakui qiyas untuk menetapkan rukhsah. Akan tetapi dalam kitab lainnya beliau membolehkan qiyas atas rukhsah. Atas demikian, ulama Syafi’iyah juga terbagi menjadi 2 (dua). Di antara mereka ada yang menolak qiyas untuk menetapkan rukhsah. Sebagian lainnya menerima qiyas untuk rukhsah. (Lihat kitab ar-Rukhash asy-Syar’iyyah wa Itsbatuha bil Qiyas: 187-188).

Yang benar adalah bolehnya menetapkan rukhsah melalui qiyas dengan beberapa syarat. Di antara syarat tersebut adalah jika kita mengetahui makna dan illat (alasan) rukshah tersebut.

Al-Allamah Badruddin az-Zarkasyi asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:

وقال في مَوْضِعٍ آخَرَ من الْأُمِّ وَلَا يُقَاسُ إلَّا ما عَقَلْنَا مَعْنَاهُ وَلِهَذَا قُلْنَا في الْمَسْحِ على الْخُفَّيْنِ لَا يُقَاسُ عَلَيْهِمَا عِمَامَةٌ وَلَا بُرْقُعٌ وَلَا قُفَّازَانِ..الخ

“Dan asy-Syafi’i berkata di tempat lain dalam kitab al-Umm: “Tidak boleh dilakukan qiyas atas rukhsah kecuali yang kita ketahui maknanya. Oleh karena itu kami katakan bahwa dalam permasalahan ‘rukhsah mengusap kedua sepatu khuf’ tidak bisa di-qiyaskan atasnya untuk menentukan ‘rukhsah mengusap imamah (surban), tidak pula burqa (cadar), tidak pula kaus tangan…dst.” (Al-Bahrul Muhith fi Ushulil Fiqh: 4/52).

Persyaratan di atas tidak hanya dipakai oleh ulama Syafi’iyah saja. Ulama madzhab yang lain juga menggunakannya.

Al-Allamah Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullah –mewakili ulama Malikiyah- menyatakan:

والمستثنى من قاعدة القياس منقسم إلى ما عقل معناه ، وإلى ما لم يعقل . . الخ . .

فالأول : يصح أن يقاس عليه ما وجدت فيه العلة كاستثناء العرايا للحاجة ، فلا يبعد قياس العنب على الرطب في ذلك إذا تبين أنه في معناه ، وكاباحة أكل الميتة للمضطر صيانة لحياته يقاس عليه بقية المحرمات إذا اضطر إليها .

والثاني : لا يصح فيه القياس كشهادة خزيمة وقوله صلى الله عليه وسلم لأبي بردة : ( اذبحها ولن تجزئ عن أحد بعدك ) وكتفريقه صلى الله عليه وسلم بين بول الجارية وبول الغلام ونحو ذلك

“Hukum perkecualian (yakni rukhsah) dari kaedah qiyas terbagi atas rukhsah yang bisa difahami maknanya dan rukhsah yang tidak bisa difahami maknanya..dst.,

Pertama (yaitu perkara yang bisa difahami maknanya): bisa diqiyaskan atasnya ketika ditemukan illat (alasan) yang sama seperti dikecualikannya jual beli Araya (dari pengharaman riba) ketika ada hajat (kebutuhan). Maka meng-qiyaskan anggur atas kurma tidaklah jauh dari kebenaran ketika jelas bahwa anggur adalah semakna dengan kurma. Demikian pula bolehnya memakan bangkai bagi orang yang terpaksa (dharurat) dalam rangka menjaga nyawanya. Maka perkara haram lainnya boleh di-qiyaskan dengan bangkai ketika terpaksa.

Kedua (yaitu perkara yang tidak bisa difahami maknanya): tidak berlaku qiyas padanya seperti persaksian Khuzaimah, juga ucapan Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Abu Burdah: “Silakan menyembelih kurban kambing muda, tetapi setelahmu tidak boleh lagi ada orang yang berkurban dengan kambing muda.” Dan juga seperti sikap beliau shallallahu alaihi wasallam yang membedakan air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan..dst.” (Mudzakkirah Ushulil Fiqh: 260).

Demikian pula menurut ulama Hanabilah, al-Allamah Ibnu Badran al-Hanbali (wafat tahun 1346 H) rahimahullah berkata:

وأما المعدول به عن القياس فلا يخلو من أن تفهم علته أولا فإن فهمت العلة فيه ألحق به ما في معناه كقياس عرية العنب على عرية الرطب فيما دون خمسة أوسق إذ العلة مفهومة وهي الرخصة للناس والتوسعة عليهم إذا احتاجوا إليه..الخ

“Adapun perkara yang dipalingkan dari qiyas, maka perkara tersebut adakalanya bisa difahami illat atau alasannya, atau tidak bisa difahami alasannya. Jika illatnya bisa difahami, maka hukumnya bisa diikutkan dengan perkara yang semakna (dengan teks hadits), seperti meng-qiyas-kan jual beli Araya anggur dengan Araya kurma di dalam kadar kurang dari 5 wasaq, karena illat (alasan) tersebut bisa difahami, yaitu memberikan rukhsah dan kelonggaran kepada manusia ketika mereka membutuhkannya..dst.” (Al-Madkhal ila Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal: 159).

Demikianlah –dari penjelasan para ulama di atas- bahwa rukhsah hajat bisa di-qiyas-kan dengan perkara-perkara yang tidak terdapat dalam teks hadits dengan syarat bahwa illat (alasan) rukhsah bisa difahami. Sehingga jual beli Araya anggur boleh di-qiyaskan atas kurma. Demikian pula memelihara anjing untuk menjaga gudang dan tambak diperbolehkan karena di-qiyas-kan dengan anjing penjaga ternak, dan sebagainya. Wallahu a’lam.

Dan di antara isi surat yang dikirimkan oleh Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu kepada Abu Musa al-Asy’ari radliyallahu anhu:

اعْرِفْ الْأَشْبَاهَ وَالْأَمْثَالَ، ثُمَّ قِسْ الْأُمُورَ عِنْدَ ذَلِكَ، فَاعْمِدْ إلَى أَحَبِّهَا إلَى اللَّهِ، وَأَشْبَهِهَا بِالْحَقِّ، فِيمَا تَرَى

“Kenalilah perkara-perkara yang mempunyai kemiripan illat dan sifat, kemudian lakukan qiyas dalam perkara-perkara tersebut, lalu perhatikan pada perkara yang paling dicintai oleh Allah dan yang paling dekat dengan kebenaran, menurut apa yang kamu lihat!” (Atsar riwayat ad-Darquthni dalam Sunannya: 15 (4/206)).

Kembali kepada Ulama

Di Dalam masalah kekinian seperti yang dicontohkan di atas, kita perlu merujuk kepada para ulama ahlul ijtihad. Ini karena perkara hajat dan dharurat merupakan bentuk rukhsah dan pengecualian dari hukum asal yang haram. Sehingga untuk menghalalkan perkara yang semula haram karena alasan hajat (kebutuhan) dibutuhkan ijtihad seorang ulama ahli.

Asy-Syaikh Dr. Salim bin Ghanim as-Sadlan berkata:

فما قد يكون حاجة بالأمس قد يصبح ضرورة فى اليوم والغد وما لم يكن حاجة فى الماضي قد يصبح حاجة ملحة فى الوقت الحاضر والمستقبل.

ولهذا : يجب الرجوع الى العلماء المختصين وسؤالهم عن حكم الله فيما يطرأ للمؤمن من حاجات يراعي فيها العالم ظروف الواقعة وحالة الشخص السائل دون افراط وتفريط ولا سيما عند تقدير وجود الضرورة والحاجة المقتضية اباحة المحظورات…الخ

“Maka suatu perkara yang merupakan hajat pada waktu kemarin, bisa menjadi dharurat pada hari ini dan besok. Dan suatu perkara yang bukan hajat di masa lampau, terkadang menjadi hajat yang mendesak di waktu sekarang dan yang akan datang.

Oleh karena itu: wajib kembali kepada para ulama khusus dan bertanya kepada mereka tentang hukum Allah di dalam perkara hajat yang baru muncul bagi seorang mukmin, yang mana ulama tersebut memperhatikan batasan kenyataan dan keadaan seorang penanya tersebut tanpa berlebih-lebihan dan mengurang-kurangi, apalagi ketika menentukan adanya dharurat dan hajat yang memberikan konsekuensi bolehnnya perkara yang dilarang..dst.” (Al-Qawa’idul Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a minha: 274-275).

Dari keterangan di atas, kita dapat memaklumi bahwa fatwa tentang rukhsah hajat untuk menggunakan ‘kalender Miladiyah’ dan belajar di ‘Sekolah ikhtilath’ adalah muncul setelah era penjajahan Barat dan jatuhnya kekhalifahan Islam.

Pada masa kekhalifahan Islam, kita tidak menjumpai fatwa-fatwa tentang rukhsah perkara tersebut, tidak pula fatwa Syaikhul Islam, tidak pula fatwa ulama-ulama madzhab yang lainnya. Ini karena perkara tersebut tidak dibutuhkan ketika itu. Pemerintah ketika itu menerapkan aturan-aturan Islam meskipun tidak utuh. Akan tetapi setelah era penjajahan, bangsa Barat menerapkan kalender Miladiyah dan sekolah ikhtilatiyah di berbagai negeri kaum muslimin yang menjadi jajahan. Sehingga kita mendapati ulama-ulama setelah era penjajahan barat berfatwa tentang rukhsah penggunaan kalender miladiyah semisal Lajnah Daimah dan Ibnu Utsaimin. Kita juga menjumpai ulama periode ini yang memberikan rukhsah sekolah ikhtilat karena hajat semisal Ibnu Utsaimin dan an-Najmi sebagaimana keterangan yang telah lalu.

Ini berbeda dengan melakukan shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan. Meskipun membangun masjid di kuburan termasuk pengharaman wasilah, melakukan shalat di masjid tersebut tidaklah termasuk hajat untuk segala jaman.

Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan:

إذا مر الإنسان بمسجد فيه قبر فهل يصلي عليه عند الحاجة؟ نقول: إنه -في الواقع- لا حاجة إلى هذا المسجد، والمسجد المبني على قبر لا تصح الصلاة فيه؛ لأنه محرم، وليس هناك حاجة إلى الصلاة فيه، إذ إن الإنسان يمكن أن يصلي في أي مكان من الأرض؛ لقول النبي ” جعلت لي الأرض مسجدا ” ولم يفصل. نعم.

“Jika seorang manusia berjalan melewati sebuah masjid yang di dalamnya terdapat kuburan, apakah diperbolehkan melakukan shalat di masjid tersebut karena hajat? Kami katakan: “Sesungguhnya –dalam kenyataannya- tidak ada hajat (kebutuhan) kepada masjid ini. Masjid yang dibangun di atas kuburan tidaklah sah melakukan shalat di atasnya karena diharamkan. Dan tidak ada hajat (kebutuhan) untuk shalat di dalamnya di sana, karena seseorang masih dimungkinkan untuk melakukan shalat semua tempat di muka bumi ini, karena sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Bumi dijadikan sebagai masjid untukku.” Dan beliau tidak memberikan perincian, ya.” (Kutub wa Rasail Ibni Utsaimin, Manzhumah fil Qawaid wal Ushul: 253/104).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa kita harus merujuk kepada ulama ahlul ijtihad yang mengetahui seluk beluk perkara yang kita alami. Begitu pula para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mereka juga kembali atau merujuk kepada beliau di dalam menentukan hajat dan dharurat yang mereka alami. Kemudian beliau ber-ijtihad di dalam memberikan rukhsah kepada mereka.

Al-Imam Syihabuddin al-Qurafi al-Maliki rahimahullah berkata:

حجة كونه عليه الصلاة والسلام كان يجتهد: ما رُوِي أنه عليه الصلاة والسلام لما قال في تحريم مكة: (( لا يُعْضَد شجرُها ولا يُخْتَلى خَلاَها )): فقال له العباس: إلا الإِذخِر يا رسول الله، فإنَّا نحتاجه لدوابِّنا، فقال: (( إلا الإِذْخِر ))(4088) وهذا يدل على أنه لما بيّن له الحاجة إليه أباحه بالاجتهاد للمصلحة

“Hujjah (dalil) bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam juga ber-ijtihad adalah keterangan yang diriwayatkan bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam berkata -ketika menjadikan Makkah sebagai tanah haram-: “Tidak boleh ditebang pohon-pohonnya dan tidak boleh dipotong semak-semaknya.” Maka Abbas (bin Abdul Muthalib) radliyallahu berkata: “Kecuali pohon Idzkhir, wahai Rasulullah, karena kami membutuhkannya untuk binatang-binatang kami.”[1] Maka beliau menjawab: “Kecuali pohon Idzkhir.” (HR. Al-Bukhari: 3971, Muslim: 2414). Maka ini menunjukkan bahwa ketika Abbas menjelaskan kepada beliau tentang perkara hajat (kebutuhan) atas pohon itu, maka beliau memperbolehkan menebangnya dengan perbuatan ijtihad untuk kemaslahatan.” (Syarh Tanqihil Fushul: 2/178).

Bertakwa kepada Allah

Segala perkara yang diperbolehkan karena ada hajat (kebutuhan), maka harus dilakukan sekedar munculnya kebutuhan akan perkara tersebut. Jika perkara hajat sudah tidak ada, maka kembali kepada larangan semula.

Al-Allamah al-Izz bin Abdis Salam rahimahullah berkata:

لأن ما أحل إلا لضرورة أو حاجة يقدر بقدرها ويزال بزوالها

“Oleh karena perkara yang dihalalkan karena dharurat (keterpaksaan) dan hajat (kebutuhan) haruslah diukur dengan kadar dharurat atau hajat tersebut. Penghalalan tersebut akan hilang dengan hilangnya hajat atau dharurat.” (Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam: 2/141).

Demikian pula menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau menjelaskan:

لان كشف العورة إنما أبيح للحاجة فيقدر بقدرها

“Oleh karena membuka aurat itu hanyalah diperbolehkan untuk keadaan hajat (butuh), maka ia harus diukur dengan kadarnya…dst.” (Syarhul Umdah: 1/143).

Dan keadaan hajat dan dharurat bagi setiap individu adalah berbeda-beda. Ada yang membutuhkan rukhsah dan ada yang tidak membutuhkannya. Al-Imam Abu Ishaq asy-Syathibi al-Maliki rahimahullah menyatakan:

إن الرخصة إضافية لا أصلية، بمعنى أن كل أحد في الأخذ بها فقيه نفسه، ما لم يحد فيها حد شرعي فيوقف عنده..الخ

“Sesungguhnya rukhsah itu bersifat idhafiyah bukan asliyah, dengan arti bahwa setiap individu adalah menjadi ahli fikih atas dirinya di dalam mengambil rukhsah, selagi tidak ada batasan syar’i yang mana ia berhenti padanya..dst.” (Al-Muwafaqat fi Ushulisy Syari’ah: 484).

Sehingga ketika seseorang sudah tidak membutuhkan lagi terhadap perkara hajat tersebut, maka ia harus meninggalkan perkara haram tersebut dan bertakwa kepada Allah ta’ala. Ia tidak boleh terus-menerus melanggar larangan tersebut sementara ia tidak berada dalam keadaan hajat.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقْ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada! Ikutilah kejelekan dengan kebaikan, maka kebaikan akan menghapus kejelekan tersebut. Pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik!” (HR. Ahmad: 20392, at-Tirmidzi: 1910 dan ia berkata hadits hasan shahih dari Abu Dzar radliyallahu anhu dan di-hasan-kan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’: 97).

Maka seseorang dilarang menentukan status ‘hajat dan dharurat’ menurut kemauan dirinya  sendiri –tanpa kaedah syar’iyah- dengan tujuan agar dapat melakukan rukhsah-rukhsah di atas sesuai dengan keuntungan pribadinya.

Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:

الفائدة التاسعة والثلاثون لا يجوز للمفتي تتبع الحيل المحرمة والمكروهة ولا تتبع الرخص لمن أراد نفعه فإن تتبع ذلك فسق وحرم استفتاؤه

“Faedah ke-39: seorang mufti tidak diperbolehkan mencari-cari helat (upaya mengakali hukum syariat, pen) yang diharamkan dan dibenci. Ia juga tidak diperbolehkan mencari-cari rukhsah (keringanan) bagi orang yang mencari keuntungan. Jika ia mencari-cari keringanan (dari berbagai ulama, pen), maka ia telah berbuat fasiq dan haram dimintai fatwa.” (I’lamul Muwaqqi’in: 4/222).

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] Yang benar dalam lafazh al-Bukhari dan Muslim: “karena kami membutuhkannnya untuk kuburan dan rumah-rumah kami.”