Arsip Kategori: Tak Berkategori

Bumi Bulat dalam Isyarat al-Quran

maktabah thibbul qulub
Bumi Bulat dalam Isyarat al-Quran
Kesalahan Penisbatan Bumi Datar kepada Ulama Salaf
 
Oleh dr. M. Faiq Sulaifi
07 Maret 2021

Tidak ada perbedaan di antara ulama bahwa bentuk langit adalah seperti bola. Begitu juga mereka sepakat bahwa bumi dan seluruh gerakannya baik lautan maupun daratan adalah seperti bola.

Daftar Isi

Daftar Isi 1

Pendahuluan. 3

Pengertian Bumi dan Langit. 7

Pergantian Siang dan Malam.. 9

Panggilan Berhaji 10

Bumi dan Langit Melingkar. 11

Bumi Seperti Kulit pada Hari Kiamat. 12

Bumi Dijadikan Datar pada Hari Kiamat. 13

Banyaknya Tempat Terbit dan Terbenamnya Matahari 14

Bulatnya Bumi Mengikuti Bulatnya Langit. 16

Berputarnya Siang dan Malam dalam Falak. 18

Perbedaan Mathla’ dalam Rukyatul Hilal 21

Perbedaan Lamanya Siang dan Malam.. 24

Bumi Diratakan dalam Keadaan Bulat. 25

Bersumpah dengan Penghamparan Bumi 28

Tidakkah Melihat Bagaimana Bumi Dihamparkan?. 30

Bumi sebagai Permadani 32

Bumi sebagai Alas. 33

Dikira Datar Ternyata.. 35

Memahami Ayat Bumi 37

Dimanakah Siang ketika Malam Datang?. 38

Kisah Raja Dzulqarnain dan Khurafat Ahlul Kitab. 40

Kisah Khurafat Gunung Qaf. 45

Bumi Bulat dan Arah Kiblat. 46

Apakah Maksud Pojok atau Tepi Bumi 49

Pernyataan Lembaga Fatwa Negara Arab Saudi 52

Antara Dunia Islam dan Dunia Barat. 53

Kamus Ilmu Bumi 56

Berfikir dengan Manhaj Yang Benar. 57

Penutup. 59

Pendahuluan

الحمد لله الواحد القهار، العزيز الغفار، مكور الليل على النهار، تذكرة لأولي القلوب والأبصار، وتبصرة لذوى الألباب والاعتبار، وأشهد أن لا إله إلا الله البر الكريم، الرؤف الرحيم، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، وخليله، الهادى إلى صراط مستقيم، والداعى إلى دين قويم. صلوات الله وسلامه عليه، وعلى سائر النبين، وعلى آله وأصحابه، وسائر الصالحين.(أما بعد):

Orang-orang yang percaya bahwa bumi itu datar sangat bergembira karena kepercayaannya ternyata telah ‘diakui’ oleh al-Quran.

Kelompok ‘bumi datar’ memang semakin gencar membagikan kampanye-kampanye kepercayaannya dibarengi dengan berbagai teori dan sumber dalil keagamaan, tak terkecuali al-Quran. Dalam al-Quran, ada satu ayat yang sering disampaikan kelompok ini dalam setiap kampanyenya, yaitu surat al-Ghasiyah ayat 20:

وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

“Dan bumi bagaimana dihamparkan?”

Kata “dihamparkan” dalam ayat di atas, banyak dimaknai oleh kelompok ‘bumi datar’ bahwa bumi itu datar. Dalil ini sekaligus menggoyang keyakinan kita tentang bulatnya bumi karena tidak sesuai dengan ayat al-Quran di atas.

Tidak terkecuali di kalangan orang-orang yang mengaku mengikuti Manhaj Salaf pun ikut-ikutan mempercayai “Bumi Datar”. Di kalangan mereka ditulis sebuah risalah yang berjudul “Di Dalam al-Quran, Bumi itu Terhampar” karya Ustadz Abu Turab. Tentunya isinya tidak sekedar bumi terhampar, tetapi lebih dari itu, yaitu kesimpulan bahwa bumi itu datar.

Dengan penafsiran jumud tersebut, Kaum Bumi Datar akan menolak banyak fakta sains yang telah membuktikan bahwa bumi itu ternyata bulat. Dan ini bertentangan dengan janji Allah ta’ala yang akan mengungkap dan menyingkap fakta sains dan teknologi yang menunjukkan kebenaran al-Quran dan al-Islam.

Allah ta’ala berfirman:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakkah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fush-shilat: 53).

Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata:

فسيقيم اللّه لكم، ويريكم من آياته في الآفاق كالآيات التي في السماء وفي الأرض، وما يحدثه اللّه تعالى من الحوادث العظيمة، الدالة للمستبصر على الحق.{وَفِي أَنْفُسِهِمْ} مما اشتملت عليه أبدانهم، من بديع آيات اللّه وعجائب صنعته، وباهر قدرته، وفي حلول العقوبات والمثلات في المكذبين، ونصر المؤمنين. {حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ} من تلك الآيات، بيانًا لا يقبل الشك { أَنَّهُ الْحَقُّ } وما اشتمل عليه حق. وقد فعل تعالى، فإنه أرى عباده من الآيات، ما به تبين لهم أنه الحق، ولكن اللّه هو الموفق للإيمان من شاء، والخاذل لمن يشاء.

“Maka Allah akan menegakkan dan memperlihatkan kepada kalian sebagian tanda-tanda kekuasaan-Nya di penjuru bumi seperti ayat-ayat di langit dan di bumi, dan kejadian-kejadian besar yang diciptakan oleh-Nya (seperti pembuktian bahwa bumi itu bulat, pen), yang menunjukkan atas kebenaran bagi orang-orang yang mencari petunjuk, dan juga tanda-tanda kekuasaan-Nya dalam diri mereka dan apa yang dikandung oleh tubuh mereka yang berupa keindahan tanda kebesaran-Nya, keajaiban ciptaan-Nya serta terangnya kekuasaan-Nya, serta tanda kekuasaan-Nya di dalam menurunkan hukuman dan siksaan kepada kaum yang mendustakan kebenaran dan menolong orang-orang yang beriman. Sehingga menjadi jelaslah bagi mereka akan tanda-tanda tersebut dengan penjelasan yang tidak menerima keraguan bahwa al-Quran beserta kandungannya merupana kebenaran. Dan Allah ta’ala telah melakukannya, karena Allah telah memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya sebagian ayat-ayat-Nya yang membuktikan bahwa al-Quran itu benar. Akan tetapi Allah lah yang menunjukkan kepada keimanan terhadap orang yang Ia kehendaki dan Dialah yang menghinakan orang yang Ia kehendaki.” (Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan: 752).

Teori Bumi Datar disebut pseudoscience, seperti ilmiah, padahal tidak ditemukan dasarnya. Begitulah tanggapan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang pernah berdiskusi langsung dengan penggiat Bumi Datar.

Lemah di argumen ilmiah membuat beberapa pendukung Bumi Datar yang Bergama Islam menambahkan ayat al-Quran yang dinilai banyak pihak sebagai pelintiran ayat. Di YouTube bertebaran video seolah-olah ajaran Islam mendukung Bumi Datar dengan mengutip ayat yang menyebutkan Bumi menghampar.

Padahal, kalau membuka lembaran sejarah, justru para ilmuwan muslim yang memastikan Bumi itu bulat pada abad ke-10 atau 6 abad lebih cepat dari Sir Francis Darke pada 1577, yang mengelilingi Bumi untuk membuktikan bumi itu bulat.

Dihimpun detikcom dari berbagai sumber, misalnya Owlcation, ilmuwan itu adalah Abu Rayhan al-Biruni (973-1048 M atau 262-440 H) yang hidup pada masa Khalifah Abbasiyah. Dia adalah ahli fisika, matematika, astronomi, sejarah, geologi, filsafat, geografi, dan ilmu alam lainnya.

Bagaimana al-Biruni menentukan Bumi itu bulat, bahkan mengukur diameter Bumi? Dia cukup bermodalkan alat ukur derajat bintang yang disebut Astrolabe, gunung yang tinggi dengan pemandangan horizon yang rata sempurna dan yang ketiga rumus trigonometri.

Pertama, dia ukur dulu tinggi gunung yang dia naiki. Banyak sumber menyebutkan itu adalah gunung di India atau Pakistan yang masuk wilayah Kekhalifahan Abbasiyah. Mengukur tinggi gunung tidak semudah sekarang, Al-Biruni mengarahkan Astrolabe ke dua titik berbeda di daratan lalu tangen sudutnya dikalikan dan dibagi selisih tangen 2 sudut tersebut dengan rumus trigonometri.

Kemudian al-Biruni mengarahkan Astrolabe ke titik cakrawala, lalu membuat garis imajiner 90 derajat menembus ke dalam Bumi. Dia membuat segitiga siku-siku raksasa antara posisi dia berdiri, titik horizon, dan inti bumi. Al-Biruni pun mengatakan jari-jari Bumi adalah 6.335,725 km. Beberapa sumber lain menyebutkan hasilnya 6.339,9 km.

Kalau jari-jari Bumi sudah ketahuan, tidak sulit mengukur keliling Bumi dengan rumus keliling lingkaran, yaitu hasilnya 40.075 km. Pengukuran Bumi di zaman modern dalam penelusuran detikcom, tercatat dalam World Geodetic System (WGS-84) yang disimpan National Geospatial-Intelligence Agency di Amerika Serikat dan jadi sumber perhitungan untuk Global Positioning System (GPS).

(Lihat: https://news.detik.com/berita/d-3580882/kisah-al-biruni-ilmuwan-muslim-yang-mengukur-bumi-bulat).

Penjelasan dan isyarat tentang bulatnya bumi sudah dijelaskan dalam al-Quran. Allah ta’ala berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89).

Al-Imam Imaduddin Abul Fida’ Ibnu Katsir (wafat tahun 774 H) rahimahullah berkata:

وقوله: { وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ } قال ابن مسعود: [و] قد بين لنا في هذا القرآن كل علم، وكل شيء. وقال مجاهد: كل حلال وحرام. وقول ابن مسعود: أعم وأشمل؛ فإن القرآن اشتمل على كل علم نافع من خبر ما سبق، وعلم ما سيأتي، وحكم كل حلال وحرام، وما الناس إليه محتاجون  في أمر دنياهم ودينهم، ومعاشهم ومعادهم.

“Firman Allah ta’ala “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu,” Ibnu Mas’ud berkata: “Allah telah menjelaskan dalam al-Quran ini segala ilmu dan segala sesuatu.” Mujahid berkata: “Segala perkara halal dan haram.” Pendapat Ibnu Mas’ud itu lebih umum dan lebih meliputi, karena al-Quran mengandung semua ilmu yang bermanfaat, yang berupa berita kaum terdahulu dan ilmu perkara yang akan datang, hukum semua halal dan haram dan segala perkara yang dibutuhkan oleh manusia di dalam dunia, agama, kehidupan dan akherat mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir: 4/594-5).

Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menambahkan:

وحتى إنه تعالى يجمع في اللفظ القليل الواضح معاني كثيرة يكون اللفظ لها كالقاعدة والأساس، واعتبر هذا بالآية التي بعد هذه الآية

‘Dan bahkan Allah ta’ala mengumpulkan -di dalam lafazh yang sedikit dan jelas- beberapa makna yang banyak, yang mana lafazh tersebut seperti pedoman dan dasarnya. Allah menjadikan pelajaran suatu ayat dengan ayat setelahnya..dst.” (Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan: 446).

Sehingga untuk menentukan apakah bumi itu datar ataukah bulat, Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul Abbas Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) rahimahullah memberikan pedomannya. Beliau berkata:

وَالْمَعْرِفَةُ لِمَعَانِي كِتَابِ اللَّهِ إنَّمَا تُؤْخَذُ مِنْ هَذَيْنِ الطَّرِيقَيْنِ : مِنْ أَهْلِ التَّفْسِيرِ الْمَوْثُوقِ بِهِمْ مِنْ السَّلَفِ وَمِنْ اللُّغَةِ: الَّتِي نَزَلَ الْقُرْآنُ بِهَا وَهِيَ لُغَةُ الْعَرَبِ .

“Cara mengetahui makna-makna Kitabullah (tentang alam semesta, pen) hanya diambil 2 (dua) jalan ini: pertama: dari Ahli Tafsir yang terpercaya dari kalangan as-Salaf. Kedua: dari bahasa al-Quran yaitu bahasa Arab.” (Majmu’ al-Fatawa: 6/587).

Akhirnya tiada gading yang tidak retak. Semua kesempurnaan hanyalah dari Allah ta’ala. Segala kesalahan berasal dari Penulis dan syetan dan Penulis ber-istighfar kepada Allah ta’ala. Semoga tulisan ini bisa memberikan tambahan ilmu dan faedah bagi pembacanya dan menjadi timbangan kebaikan bagi Penulis. Aamiin.

إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Modo Lamongan, 7 Maret 2021 M/ 23 Rajab 1442 H

dr. M. Faiq Sulaifi

Baca lebih lanjut

Perbedaan Pendapat Ulama dan Perpecahan Umat

[maktabah thibbul qulub]
Perbedaan Pendapat Ulama dan Perpecahan Umat
Adab dan Fikih Khilafiyah
Dr. M Faiq Sulaifi
[04 Maret 2019]

 

 

Kajian Literatur tentang Perbedaan Pendapat Ulama, Perselisihan Umat, Macam Khilafiyah, Ranah Ijtihad, Adab dan Fikih Khilafiyah

 

 

Daftar Isi

Daftar Isi 1

Mukaddimah. 2

Niat Baik Ulama Madzhab. 6

Tujuan Yang Mulia. 7

Tingkat Keilmuan Kaum Muslimin. 11

Udzur bagi Ulama Yang Menyelisihi Sunnah. 16

Berprasangka Baik kepada Ulama Umat 30

Perselisihan Kontradiktif dan Perbedaan Variatif 33

Masalah Khilafiyah dan Ranah Ijtihad. 39

Tiga Syariat di Jaman Ibnu Taimiyah. 41

Ciri Khas Perpecahan Hizbiyah (Sektarian) 42

Benarkah Ikhtilaf itu Rahmat?. 55

Hindarilah Perdebatan dan Berbantah-bantah dalam Agama. 59

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Mendamaikan Pertikaian. 63

Perselisihan di Kalangan Sahabat Sepeninggal Nabi 67

Perselisihan adalah Tabiat Manusia. 70

Berbuat Adil ketika Berbeda Pendapat 72

Tidak Melakukan Ilzam dalam Perkara Ijtihad. 74

Orang Jahil Membuat Ikhtilaf Menjadi Runyam.. 77

Tugas Kaum Awam kepada Ulama Negerinya. 79

Persatuan Kaum Muslimin adalah Tujuan Utama. 82

Tidak Menggolong-golongkan Manusia. 85

Penutup. 87

 

 

Mukaddimah

الحمد لله الذي هدانا برسوله، وحبب إلينا سنن نبيه، وزين لنا الإيمان به، وجمعنا معشر الإخوان على طاعته واشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله أرسله بالدين القيم والملة الحنيفية

(أما بعد)

Pada masa sekarang ini kaum muslimin diuji dengan munculnya kaum ‘Sufaha’ atau orang-orang dungu yang memecah-belah agama dan kaum muslimin. Di antara mereka terdapat orang-orang yang bermudah-mudahan di dalam memberikan stempel ‘sesat’, ‘fasik’, atau ‘ahli bid’ah’, atau ‘kafir’ terhadap para ulama yang keliru di dalam melakukan ijtihad. Anehnya lagi adalah bahwa mereka mengaku diri mereka sebagai salafi sejati. Padahal perbuatan mereka sangat jauh dari ajaran as-Salaf ash-Shalih. Berbagai kata kasar mereka sematkan kepada para ulama yang jatuh kepada kekeliruan. Sebagai contohnya adalah tulisan mereka: http://tukpencarialhaq.com/2009/12/25/awas-ada-dajjal-di-al-sofwa-qiblati/. Bahkan guru mereka sendiri yang sangat mereka kultuskan yakni Syaikh Rabi’ hadaahullah juga memberikan contoh dalam menjatuhkan kehormatan para ulama dan para dai. Bukti ucapan sang guru tersebut bisa dilihat di dalam tulisan: http://tukpencarialhaq.com/2016/09/24/asy-syaikh-rabi-muhammad-al-imam-ikhwani-buruk-bahkan-red-lebih-buruk-dari-ikhwanul-muslimin/, juga bisa dilihat dalam tulisan: http://forumsalafy.net/tahdzir-syaikh-rabi-bin-hadi-al-madkhali-hafizhahullah-terhadap-abdul-hadi-al-umairi/. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.

Dalam kaitan ini al-Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah telah menulis kitab yang berjudul ‘Tashnifun Naas bainazh Zhanni wal Yaqiin’ untuk memperingatkan ‘Jamaah Tahdzir’ atau yang dikenal dengan ‘Ghulat at-Tabdi’ dari perbuatan mengkotak-kotak manusia atau men-tahzib mereka dan tahdzir serampangan. Akan tetapi balasan mereka bukanlah ucapan terima kasih, melainkan sikap ‘al-Baghyu’ (melampaui batas) terhadap asy-Syaikh Bakr. Ini menunjukkan kurangnya rasa ikhlas pada asy-Syaikh Rabi’ di dalam mendakwahkan ‘Salafiyah’. Wallahul musta’an. Sikap ‘al-baghyu’ ini merupakan penyebab perpecahan umat sebagaimana akan dibahas di dalam tulisan ini, insya Allah.

Dan jauh sebelum masa al-Allamah Bakr Abu Zaid dan Syaikh Rabi’, seorang ulama besar bermadzhab Syafi’i, yaitu al-Allamah Muhammad Abdur Rauf al-Munawi asy-Syafi’i (wafat tahun 1031 H) rahimahullah mengutip ucapan al-Imam Syamsuddin adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H) rahimahullah:

قال الذهبي: وبين الأئمة اختلاف كبير في الفروع وبعض الأصول وللقليل منهم غلطات وزلقات ومفردات منكرة وإنما أمرنا باتباع أكثرهم صواباً ونجزم بأن غرضهم ليس إلا اتباع الكتاب والسنة وكل ما خالفوا فيه لقياس أو تأويل قال وإذا رأيت فقيهاً خالف حديثاً أو ردّ حديثاً أو حرّف معناه فلا تبادر لتغليطه فقد قال علي رضي الله عنه لمن قال له أتظن أن طلحة والزبير كانا على باطل؟! يا هذا إنه ملبوس عليك إن الحق لا يعرف بالرجال اعرف الحق تعرف أهله..الخ

“Adz-Dzahabi berkata: ‘Di antara para imam terjadi perselisihan yang besar di dalam perkara furu’ (cabang) dan sebagian perkara ushul. Dan juga terdapat sedikit kesalahan, ketergelinciran dan beberapa pendapat gharib yang menyendiri dalam ijtihad mereka. Kita (kaum muslimin) hanyalah diperintahkan untuk mengikuti yang paling banyak kebenarannya di antara mereka dan kita berkeyakinan bahwa tujuan mereka ber-ijtihad tidak ada lain kecuali mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah. Segala pendapat mereka yang menyelisihinya itu karena qiyas atau takwil (ijtihad) atasnya. Beliau berkata: “Jika kamu melihat seorang ulama menyelisihi suatu hadits atau menolaknya, atau melakukan takwil atasnya, maka janganlah kamu cepat-cepat menyalahkannya. Ketika seseorang bertanya kepada Ali radhiyallahu anhu: “Apakah menurutmu Thalhah dan Zubair di atas kebatilan?” Maka beliau menjawab: “Wahai orang ini! Sesungguhnya di dalam dirimu ada kerancuan. Sesungguhnya kebenaran tidaklah diketahui berdasarkan orangnya. Tetapi kenalilah kebenaran itu, maka kamu akan mengetahui orang-orang yang mengikuti kebenaran tersebut..dst.” (Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ish Shaghir: 1/272).

Kemudian mereka juga melakukan kesalahan dengan memusuhi kaum muslimin lain yang mempunyai pemahaman agama yang berbeda. Ada yang memusuhi dengan kata-kata seperti ‘fasik’, ‘ahli bid’ah’ atau ‘orang sesat’ atau ‘hizbi’ dan sebagainya. Sebagiannya memusuhi dengan perbuatan seperti teror, tahdzir, hajr (boikot) dan bahkan pemukulan. Wal iyadzu billah. Padahal perkara yang mereka perselisihkan itu tidak lebih dari sekedar perkara ijtihadiyah seperti berdakwah melalui televisi, mendirikan yayasan, mendirikan sekolah formal dan sebagainya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) rahimahullah mengingatkan:

وَأَمَّا الِاخْتِلَافُ فِي ” الْأَحْكَامِ ” فَأَكْثَرُ مِنْ أَنْ يَنْضَبِطَ وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ وَلَقَدْ كَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا سَيِّدَا الْمُسْلِمِينَ يَتَنَازَعَانِ فِي أَشْيَاءَ لَا يَقْصِدَانِ إلَّا الْخَيْرَ..الخ

“Adapun perselisihan dalam masalah hukum (yakni: ijtihadiyah, pen), maka itu tidak bisa dihitung jumlahnya. Seandainya setiap kali dua orang muslim berbeda pendapat tentang sesuatu, kemudian keduanya saling memboikot (melakukan hajr, pen), maka tidak akan tersisa lagi penjagaan dan hubungan persaudaraan di antara kaum muslimin. Dan sungguh Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anhuma adalah kedua penghulu kaum muslimin. Mereka berdua saling berselisih di dalam beberapa perkara dan tidaklah keduanya mempunyai tujuan kecuali kebaikan…dst.” (Majmu’ al-Fatawa: 24/173).

Dan ternyata dakwah mereka bukannya mengajak kepada ajaran as-Salaf, tetapi mengajak kepada hizib atau golongan mereka. Ciri khas mereka adalah ucapan: “Jangan ngaji ke Ustadz Fulan!”, “Jangan menghadiri kajian si Allan, dan sebagainya. Di antara buktinya adalah contoh dari Syaikh Rabi’: http://tukpencarialhaq.com/2018/03/25/asy-syaikh-rabi-bin-hadi-al-madkhali-melarang-menghadiri-majelis-syaikh-muhammad-bin-hadi-sampai-dia-bertaubat/.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengingatkan orang seperti Syaikh Rabi’ dan semisalnya:

فَإِذَا كَانَ الْمُعَلِّمُ أَوْ الْأُسْتَاذُ قَدْ أَمَرَ بِهَجْرِ شَخْصٍ ؛ أَوْ بِإِهْدَارِهِ وَإِسْقَاطِهِ وَإِبْعَادِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ : نُظِرَ فِيهِ فَإِنْ كَانَ قَدْ فَعَلَ ذَنْبًا شَرْعِيًّا عُوقِبَ بِقَدْرِ ذَنْبِهِ بِلَا زِيَادَةٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَذْنَبَ ذَنْبًا شَرْعِيًّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعَاقَبَ بِشَيْءِ لِأَجْلِ غَرَضِ الْمُعَلِّمِ أَوْ غَيْرِهِ . وَلَيْسَ لِلْمُعَلِّمِينَ أَنْ يحزبوا النَّاسَ وَيَفْعَلُوا مَا يُلْقِي بَيْنَهُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ بَلْ يَكُونُونَ مِثْلَ الْإِخْوَةِ الْمُتَعَاوِنِينَ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى كَمَا قَالَ تَعَالَى : { وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ } .

“Apabila seorang guru atau ustadz memerintahkan untuk melakukan hajr (boikot) terhadap seseorang, atau untuk menjatuhkan kehormatannya atau menjauhinya dan lain sebagainya, maka hendaknya ditinjau lagi. Jika seseorang tersebut benar-benar melakukan dosa syar’i (yakni: bukan perkara yang diperselisihkan dalam ijtihad, pen), maka ia dihukum sesuai dengan dosanya tanpa tambahan (hukuman lain, pen). Jika ia tidak melakukannya (karena memang yang dilakukannya masih diperselisihkan, pen), maka tidak boleh dihukum karena menuruti kemauan si guru atau lainnya. Dan para guru tidak boleh men-tahzib manusia (yakni: mengkotak-kotak mereka menjadi berbagai hizib, seperti ini Sururi, ini MLM, ini Hajuri, ini Sha’afiqah dsb, pen) serta melakukan sesuatu yang menjadikan mereka saling bermusuhan dan saling membenci. Akan tetapi hendaknya mereka seperti saudara yang tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa sebagaimana firman Allah ta’ala: “Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2).” (Majmu’ al-Fatawa: 28/15).

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ

“Janganlah kalian saling marah, saling hasad dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tak halal seorang muslim menjauhi (mendiamkan) saudaranya lebih dari tiga malam.” (HR. Al-Bukhari: 6065, Muslim: 6690 dan at-Tirmidzi: 1935 dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu).

Hadits ini mengandung ajakan yang mulia, yaitu agar kaum muslimin bersaudara dan menghilangkan penyebab perpecahan dan perselisihan. Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat tahun 795 H) rahimahullah berkata:

وَفِيهِ أَمْرٌ بِاكْتِسَابِ مَا يَصِيرُ الْمُسْلِمُونَ بِهِ إِخْوَانًا عَلَى الْإِطْلَاقِ، وَذَلِكَ يَدْخُلُ فِيهِ أَدَاءُ حُقُوقِ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ مِنْ رَدِّ السَّلَامِ، وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَتَشْيِيعِ الْجِنَازَةِ، وَإِجَابَةِ الدَّعْوَةِ، وَالِابْتِدَاءِ بِالسَّلَامِ عِنْدَ اللِّقَاءِ، وَالنُّصْحِ بِالْغَيْبِ.

“Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk mengusahakan segala perkara yang menjadikan kaum muslimin bersaudara secara mutlak (yakni: tidak membedakan dari hizib mana dia, pen). Termasuk dari upaya ini adalah menunaikan hak-hak muslim atas muslim lain seperti menjawab salam, mengucapkan yarhamukallah kepada muslim yang bersin dan mengucapkan hamdalah, menjenguk muslim yang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan muslim, mengucapkan salam ketika bertemu muslim dan memberikan kebaikan ketika dia tidak ada.” (Jami’ul Ulum wal Hikam: 2/271).

Pada tulisan ini –insya Allah- akan dibahas alasan perbedaan pendapat para ulama, tingkatan kaum muslimin dalam memahami agama, berbagai macam khilafiyah, ciri khas perpecahan hizbiyah dan bagaimana menggapai persatuan umat. Tujuan dari tulisan ini adalah agar kita sebagai kaum muslimin, bersatu di atas al-Quran dan as-Sunnah dengan manhaj as-Salaf, serta meninggalkan sebab-sebab perselisihan.

Jika terdapat kebenaran dalam tulisan ini maka itu berasal dari Allah ta’ala. Dan jika terdapat kesalahan dan kekeliruan, maka itu berasal dari diri Penulis dan dari syetan, maka Penulis ber-istighfar kepada Allah ta’ala.

إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Modo, 27 Jumadal Akhirah 1440

Dr. M Faiq Sulaifi Baca lebih lanjut