Bumi Bulat dalam Isyarat al-Quran

maktabah thibbul qulub
Bumi Bulat dalam Isyarat al-Quran
Kesalahan Penisbatan Bumi Datar kepada Ulama Salaf
 
Oleh dr. M. Faiq Sulaifi
07 Maret 2021

Tidak ada perbedaan di antara ulama bahwa bentuk langit adalah seperti bola. Begitu juga mereka sepakat bahwa bumi dan seluruh gerakannya baik lautan maupun daratan adalah seperti bola.

Daftar Isi

Daftar Isi 1

Pendahuluan. 3

Pengertian Bumi dan Langit. 7

Pergantian Siang dan Malam.. 9

Panggilan Berhaji 10

Bumi dan Langit Melingkar. 11

Bumi Seperti Kulit pada Hari Kiamat. 12

Bumi Dijadikan Datar pada Hari Kiamat. 13

Banyaknya Tempat Terbit dan Terbenamnya Matahari 14

Bulatnya Bumi Mengikuti Bulatnya Langit. 16

Berputarnya Siang dan Malam dalam Falak. 18

Perbedaan Mathla’ dalam Rukyatul Hilal 21

Perbedaan Lamanya Siang dan Malam.. 24

Bumi Diratakan dalam Keadaan Bulat. 25

Bersumpah dengan Penghamparan Bumi 28

Tidakkah Melihat Bagaimana Bumi Dihamparkan?. 30

Bumi sebagai Permadani 32

Bumi sebagai Alas. 33

Dikira Datar Ternyata.. 35

Memahami Ayat Bumi 37

Dimanakah Siang ketika Malam Datang?. 38

Kisah Raja Dzulqarnain dan Khurafat Ahlul Kitab. 40

Kisah Khurafat Gunung Qaf. 45

Bumi Bulat dan Arah Kiblat. 46

Apakah Maksud Pojok atau Tepi Bumi 49

Pernyataan Lembaga Fatwa Negara Arab Saudi 52

Antara Dunia Islam dan Dunia Barat. 53

Kamus Ilmu Bumi 56

Berfikir dengan Manhaj Yang Benar. 57

Penutup. 59

Pendahuluan

الحمد لله الواحد القهار، العزيز الغفار، مكور الليل على النهار، تذكرة لأولي القلوب والأبصار، وتبصرة لذوى الألباب والاعتبار، وأشهد أن لا إله إلا الله البر الكريم، الرؤف الرحيم، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، وخليله، الهادى إلى صراط مستقيم، والداعى إلى دين قويم. صلوات الله وسلامه عليه، وعلى سائر النبين، وعلى آله وأصحابه، وسائر الصالحين.(أما بعد):

Orang-orang yang percaya bahwa bumi itu datar sangat bergembira karena kepercayaannya ternyata telah ‘diakui’ oleh al-Quran.

Kelompok ‘bumi datar’ memang semakin gencar membagikan kampanye-kampanye kepercayaannya dibarengi dengan berbagai teori dan sumber dalil keagamaan, tak terkecuali al-Quran. Dalam al-Quran, ada satu ayat yang sering disampaikan kelompok ini dalam setiap kampanyenya, yaitu surat al-Ghasiyah ayat 20:

وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

“Dan bumi bagaimana dihamparkan?”

Kata “dihamparkan” dalam ayat di atas, banyak dimaknai oleh kelompok ‘bumi datar’ bahwa bumi itu datar. Dalil ini sekaligus menggoyang keyakinan kita tentang bulatnya bumi karena tidak sesuai dengan ayat al-Quran di atas.

Tidak terkecuali di kalangan orang-orang yang mengaku mengikuti Manhaj Salaf pun ikut-ikutan mempercayai “Bumi Datar”. Di kalangan mereka ditulis sebuah risalah yang berjudul “Di Dalam al-Quran, Bumi itu Terhampar” karya Ustadz Abu Turab. Tentunya isinya tidak sekedar bumi terhampar, tetapi lebih dari itu, yaitu kesimpulan bahwa bumi itu datar.

Dengan penafsiran jumud tersebut, Kaum Bumi Datar akan menolak banyak fakta sains yang telah membuktikan bahwa bumi itu ternyata bulat. Dan ini bertentangan dengan janji Allah ta’ala yang akan mengungkap dan menyingkap fakta sains dan teknologi yang menunjukkan kebenaran al-Quran dan al-Islam.

Allah ta’ala berfirman:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakkah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fush-shilat: 53).

Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata:

فسيقيم اللّه لكم، ويريكم من آياته في الآفاق كالآيات التي في السماء وفي الأرض، وما يحدثه اللّه تعالى من الحوادث العظيمة، الدالة للمستبصر على الحق.{وَفِي أَنْفُسِهِمْ} مما اشتملت عليه أبدانهم، من بديع آيات اللّه وعجائب صنعته، وباهر قدرته، وفي حلول العقوبات والمثلات في المكذبين، ونصر المؤمنين. {حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ} من تلك الآيات، بيانًا لا يقبل الشك { أَنَّهُ الْحَقُّ } وما اشتمل عليه حق. وقد فعل تعالى، فإنه أرى عباده من الآيات، ما به تبين لهم أنه الحق، ولكن اللّه هو الموفق للإيمان من شاء، والخاذل لمن يشاء.

“Maka Allah akan menegakkan dan memperlihatkan kepada kalian sebagian tanda-tanda kekuasaan-Nya di penjuru bumi seperti ayat-ayat di langit dan di bumi, dan kejadian-kejadian besar yang diciptakan oleh-Nya (seperti pembuktian bahwa bumi itu bulat, pen), yang menunjukkan atas kebenaran bagi orang-orang yang mencari petunjuk, dan juga tanda-tanda kekuasaan-Nya dalam diri mereka dan apa yang dikandung oleh tubuh mereka yang berupa keindahan tanda kebesaran-Nya, keajaiban ciptaan-Nya serta terangnya kekuasaan-Nya, serta tanda kekuasaan-Nya di dalam menurunkan hukuman dan siksaan kepada kaum yang mendustakan kebenaran dan menolong orang-orang yang beriman. Sehingga menjadi jelaslah bagi mereka akan tanda-tanda tersebut dengan penjelasan yang tidak menerima keraguan bahwa al-Quran beserta kandungannya merupana kebenaran. Dan Allah ta’ala telah melakukannya, karena Allah telah memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya sebagian ayat-ayat-Nya yang membuktikan bahwa al-Quran itu benar. Akan tetapi Allah lah yang menunjukkan kepada keimanan terhadap orang yang Ia kehendaki dan Dialah yang menghinakan orang yang Ia kehendaki.” (Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan: 752).

Teori Bumi Datar disebut pseudoscience, seperti ilmiah, padahal tidak ditemukan dasarnya. Begitulah tanggapan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang pernah berdiskusi langsung dengan penggiat Bumi Datar.

Lemah di argumen ilmiah membuat beberapa pendukung Bumi Datar yang Bergama Islam menambahkan ayat al-Quran yang dinilai banyak pihak sebagai pelintiran ayat. Di YouTube bertebaran video seolah-olah ajaran Islam mendukung Bumi Datar dengan mengutip ayat yang menyebutkan Bumi menghampar.

Padahal, kalau membuka lembaran sejarah, justru para ilmuwan muslim yang memastikan Bumi itu bulat pada abad ke-10 atau 6 abad lebih cepat dari Sir Francis Darke pada 1577, yang mengelilingi Bumi untuk membuktikan bumi itu bulat.

Dihimpun detikcom dari berbagai sumber, misalnya Owlcation, ilmuwan itu adalah Abu Rayhan al-Biruni (973-1048 M atau 262-440 H) yang hidup pada masa Khalifah Abbasiyah. Dia adalah ahli fisika, matematika, astronomi, sejarah, geologi, filsafat, geografi, dan ilmu alam lainnya.

Bagaimana al-Biruni menentukan Bumi itu bulat, bahkan mengukur diameter Bumi? Dia cukup bermodalkan alat ukur derajat bintang yang disebut Astrolabe, gunung yang tinggi dengan pemandangan horizon yang rata sempurna dan yang ketiga rumus trigonometri.

Pertama, dia ukur dulu tinggi gunung yang dia naiki. Banyak sumber menyebutkan itu adalah gunung di India atau Pakistan yang masuk wilayah Kekhalifahan Abbasiyah. Mengukur tinggi gunung tidak semudah sekarang, Al-Biruni mengarahkan Astrolabe ke dua titik berbeda di daratan lalu tangen sudutnya dikalikan dan dibagi selisih tangen 2 sudut tersebut dengan rumus trigonometri.

Kemudian al-Biruni mengarahkan Astrolabe ke titik cakrawala, lalu membuat garis imajiner 90 derajat menembus ke dalam Bumi. Dia membuat segitiga siku-siku raksasa antara posisi dia berdiri, titik horizon, dan inti bumi. Al-Biruni pun mengatakan jari-jari Bumi adalah 6.335,725 km. Beberapa sumber lain menyebutkan hasilnya 6.339,9 km.

Kalau jari-jari Bumi sudah ketahuan, tidak sulit mengukur keliling Bumi dengan rumus keliling lingkaran, yaitu hasilnya 40.075 km. Pengukuran Bumi di zaman modern dalam penelusuran detikcom, tercatat dalam World Geodetic System (WGS-84) yang disimpan National Geospatial-Intelligence Agency di Amerika Serikat dan jadi sumber perhitungan untuk Global Positioning System (GPS).

(Lihat: https://news.detik.com/berita/d-3580882/kisah-al-biruni-ilmuwan-muslim-yang-mengukur-bumi-bulat).

Penjelasan dan isyarat tentang bulatnya bumi sudah dijelaskan dalam al-Quran. Allah ta’ala berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89).

Al-Imam Imaduddin Abul Fida’ Ibnu Katsir (wafat tahun 774 H) rahimahullah berkata:

وقوله: { وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ } قال ابن مسعود: [و] قد بين لنا في هذا القرآن كل علم، وكل شيء. وقال مجاهد: كل حلال وحرام. وقول ابن مسعود: أعم وأشمل؛ فإن القرآن اشتمل على كل علم نافع من خبر ما سبق، وعلم ما سيأتي، وحكم كل حلال وحرام، وما الناس إليه محتاجون  في أمر دنياهم ودينهم، ومعاشهم ومعادهم.

“Firman Allah ta’ala “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu,” Ibnu Mas’ud berkata: “Allah telah menjelaskan dalam al-Quran ini segala ilmu dan segala sesuatu.” Mujahid berkata: “Segala perkara halal dan haram.” Pendapat Ibnu Mas’ud itu lebih umum dan lebih meliputi, karena al-Quran mengandung semua ilmu yang bermanfaat, yang berupa berita kaum terdahulu dan ilmu perkara yang akan datang, hukum semua halal dan haram dan segala perkara yang dibutuhkan oleh manusia di dalam dunia, agama, kehidupan dan akherat mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir: 4/594-5).

Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menambahkan:

وحتى إنه تعالى يجمع في اللفظ القليل الواضح معاني كثيرة يكون اللفظ لها كالقاعدة والأساس، واعتبر هذا بالآية التي بعد هذه الآية

‘Dan bahkan Allah ta’ala mengumpulkan -di dalam lafazh yang sedikit dan jelas- beberapa makna yang banyak, yang mana lafazh tersebut seperti pedoman dan dasarnya. Allah menjadikan pelajaran suatu ayat dengan ayat setelahnya..dst.” (Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan: 446).

Sehingga untuk menentukan apakah bumi itu datar ataukah bulat, Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul Abbas Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) rahimahullah memberikan pedomannya. Beliau berkata:

وَالْمَعْرِفَةُ لِمَعَانِي كِتَابِ اللَّهِ إنَّمَا تُؤْخَذُ مِنْ هَذَيْنِ الطَّرِيقَيْنِ : مِنْ أَهْلِ التَّفْسِيرِ الْمَوْثُوقِ بِهِمْ مِنْ السَّلَفِ وَمِنْ اللُّغَةِ: الَّتِي نَزَلَ الْقُرْآنُ بِهَا وَهِيَ لُغَةُ الْعَرَبِ .

“Cara mengetahui makna-makna Kitabullah (tentang alam semesta, pen) hanya diambil 2 (dua) jalan ini: pertama: dari Ahli Tafsir yang terpercaya dari kalangan as-Salaf. Kedua: dari bahasa al-Quran yaitu bahasa Arab.” (Majmu’ al-Fatawa: 6/587).

Akhirnya tiada gading yang tidak retak. Semua kesempurnaan hanyalah dari Allah ta’ala. Segala kesalahan berasal dari Penulis dan syetan dan Penulis ber-istighfar kepada Allah ta’ala. Semoga tulisan ini bisa memberikan tambahan ilmu dan faedah bagi pembacanya dan menjadi timbangan kebaikan bagi Penulis. Aamiin.

إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Modo Lamongan, 7 Maret 2021 M/ 23 Rajab 1442 H

dr. M. Faiq Sulaifi

Pengertian Bumi dan Langit

Sebelum membahas bulatnya bumi, kita perlu mengetahui tentang definisi bumi dalam bahasa Arab. Yang demikian karena al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Dan bahasa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan as-Salaf ash-Shalih pun bahasa Arab.

Al-Imam Abu Nashr Ismail bin Hammad al-Jauhari (wafat tahun 393 H) rahimahullah berkata:

الأرْضُ مؤنثة، وهي اسم جنس. والجمع أَرْضاتٌ وأَرَضونَ. وقد تجمع على أُروضٍ. والأَراضي أيضاً على غير قياس. وكلُّ ما سفل فهو أرض…الخ.

“Lafazh ‘al-Ardhu’ adalah muannats (kata benda perempuan, pen), merupakan isim jenis. Bentuk jamaknya adalah Ardhaat dan Aradhuun, bisa juga Aruudh dan juga Aradhii tanpa qiyas. Setiap tempat yang di bawah disebut bumi..dst.” (Ash-Shihhah Tajul Lughah wa Shihhah al-Arabiyah: 1/10).

Al-Allamah Murtadha az-Zabidi (wafat tahun 1205 H) rahimahullah berkata:

” الأَرْضُ ” الَّتِي عَليْهَا النَّاسُ ” مُؤَنَّثَةٌ “..الخ

“Al-Ardhu (bumi) yang mana manusia berada di atasnya adalah bentuk muannats (kata benda perempuan, pen)..dst.” (Tajul Arus min Jawahiril Qamus: 4567).

Sedangkan untuk pengertian langit dalam bahasa Arab, al-Imam Abu Nashr al-Jauhari rahimahullah berkata:

السَماءُ يذكر ويؤنّث أيضاً، ويجمع على أَسْمِيَةٍ وسماوات. والسَماءُ: كلُّ ما علاك فأظلّك، ومنه قيل لسقف البيت: سَماءٌ.

“Kata ‘as-Sama’ bisa dijadikan kata benda laki-laki juga perempuan. Dijamakkan menjadi ‘Asmiyah’ dan ‘Samawat’. As-Sama’ (langit) adalah setiap sesuatu yang berada di atasmu dan menaungimu. Dari sini dikatakan untuk atap rumah: ‘sama’ (langit).” (Ash-Shihhah Tajul Lughah wa Shihhah al-Arabiyah: 1/332).

Al-Allamah Murtadha az-Zabidi rahimahullah berkata:

وقال الراغب كل سماء بالاضافة الى ما دونها فسماء وبالاضافة الى ما فوقها فأرض الا السماء العليا فأنها سماء بلا أرض وحمل على هذا قوله تعالى الله الذى خلق سبع سموات ومن الارض مثلهن

“Ar-Raghib berkata: “Setiap sama’ (langit) jika dilihat dari sisi bawahnya, maka ia disebut langit (samaa’), dan jika dilihat dari sisi atasnya, maka ia disebut ‘ardhun’ (bumi) kecuali langit yang tertinggi karena ia adalah langit tanpa bumi. Dan atas demikianlah dipahami firman Allah ta’ala “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (Tajul Arus min Jawahiril Qamus: 8437).

Pergantian Siang dan Malam

Di antara ayat yang memberikan isyarat bahwa bumi bulat adalah ayat tentang pergantian siang dan malam. Allah ta’ala berfirman:

خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ بِالْحَقِّ يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لأَجَلٍ مُسَمًّى أَلا هُوَ الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ

“Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Az-Zumar: 5).

Kata ‘Yukawwiru-Takwir’ dalam ayat di atas mempunyai arti melilitkan dan melingkarkan, seperti melingkarkan imamah (sorban) atas kepala.

Al-Allamah Sirajuddin Abu Hafsh Ibnu Adil al-Hanbali (wafat tahun 775 H) rahimahullah berkata:

والتكوير : اللَّفُ واللَّيُّ يقال : كَارَ العَمَامَةَ على رأسه وكَوَّرهَا ،

“Arti ‘at-Takwir’ adalah melilitkan dan memutarkan. Dikatakan bahwa seseorang men-takwir imamah (surban) di kepalanya ketika dia melingkarkannya.” (Al-Lubab fi Ulumil Kitab: 13/401).

Al-Allamah Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah berkata:

وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: (يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ) (39: 5) تَقُولُ الْعَرَبُ: كَارَ الْعِمَامَةَ عَلَى رَأْسِهِ إِذَا أَدَارَهَا وَلَفَّهَا، وَكَوَّرَهَا بِالتَّشْدِيدِ صِيغَةُ مُبَالَغَةٍ وَتَكْثِيرٍ، فَالتَّكْوِيرُ فِي اللُّغَةِ: إِدَارَةُ الشَّيْءِ عَلَى الْجِسْمِ الْمُسْتَدِيرِ كَالرَّأْسِ، فَتَكْوِيرُ اللَّيْلِ عَلَى النَّهَارِ نَصٌّ صَرِيحٌ فِي كُرَوِيَّةِ الْأَرْضِ،

“Di antara dalil bahwa bumi itu bulat adalah firman Allah ta’ala: “Dia menutupkan (baca: men-takwir, pen) malam atas siang dan menutupkan (men-takwir) siang atas malam.” (QS. Az-Zumar: 5). Orang Arab berkata: “Seseorang men-takwir surban di kepalanya jika dia melilitkan dan memutarkannya.” Kata ‘Takwir’ ditasydid sebagai bentuk mubalaghah (penyangatan, pen). Maka kata ‘at-Takwir’ secara bahasa adalah melingkarkan sesuatu pada benda yang bulat seperti kepala. Maka men-takwir siang dan malam merupakan nash (teks) yang sharih (jelas) bahwa bumi itu bulat.” (Tafsir al-Manar: 1/177).

Sehingga, sebagaimana kepala yang dilingkarkan surban padanya berbentuk bulat, maka bumi yang dilingkarkan siang dan malam padanya juga berbentuk bulat. Wallahu a’lam.

Panggilan Berhaji

Di antara ayat yang memberikan isyarat bahwa bumi itu bulat adalah ayat tentang panggilan berhaji. Allah ta’ala berfirman:

وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

“Dan berserulah (wahai Ibrahim) kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh (amiq).” (QS. Al-Hajj: 27).

Al-Allamah Syihabuddin Abul Abbas as-Samin al-Halabi (wafat tahun 756 H) rahimahullah berkata:

قوله تعالى: {يأتين من كل فج عميقٍ} [الحج:27] أي بعيد. وأصل العمق: البعد سفلًا. يقال: بئر عميق: إذا كان بعيد القعر.

“Firman Allah ta’ala: “Datang dari segenap penjuru yang jauh (amiq).” (QS. Al-Hajj: 27), artinya jauh. Asal kata amiq adalah jauh ke arah bawah. Dikatakan: “Sumur Amiq jika dasar sumur tersebut sangat jauh ke bawah.” (Umdatul Huffazh fi Tafsir Asyrafil Alfazh: 3/124).

Allamah Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullah berkata:

وأكثر ما يستعمل العمق في البعد سفلاً، تقول: بئر عميقة: أي بعيدة القعر

“Kebanyakan kata ‘amiq-umuq’ dipakai untuk jarah jauh ke arah bawah. Dikatakan: “Sumur amiqah maksudnya dasar sumur itu sangat jauh ke bawah.” (Adhwa’ul Bayan fi Idhahil Quran bil Quran: 23/90).

Penafsiran di atas menunjukkan bahwa bumi itu bulat. Jika menelusuri keliling bola bumi, maka semakin jauh jarak suatu negara dari kota Makkah, maka semakin ke bawah letaknya dari kota Makkah. Maka orang-orang yang berhaji dari Jepang dan Amerika akan berangkat dari bawah menuju atas, yaitu kota Makkah, karena jika letak kota Makkah di atas bola bumi, maka Jepang dan Amerika jauh di bawah bola bumi. Wallahu a’lam.

Bumi dan Langit Melingkar

Di antara ayat yang memberikan isyarat bahwa bumi itu bulat adalah ayat tentang tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Allah ta’ala berfirman:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12).

Al-Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm al-Andalusi (wafat tahun 456 H) rahimahullah membawakan sanadnya dari al-Imam Sa’id bin Jubair rahimahullah bahwa beliau berkata:

جَاءَ رجل إِلَى ابْن عَبَّاس فَقَالَ أَرَأَيْت قَول الله عز وَجل {سبع سماوات وَمن الأَرْض مِثْلهنَّ} قَالَ ابْن عَبَّاس هن ملتويات بَعضهنَّ على بعض

“Seseorang datang kepada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dan bertanya tentang firman Allah ta’ala “tujuh langit dan seperti itu pula bumi”, maka beliau menjawab: “Sebagian dari mereka (yakni langit dan bumi, pen) melingkarkan kepada sebagian lainnya.” (Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal: 2/80).

Kata ‘Multawiyat’ berasal dari kata ‘Iltawa-yaltawi’ yang berarti saling melingkari.

Al-Allamah al-Lughawi Jamaluddin Abul Fadhel Ibnu Manzhur al-Ifriqi (wafat tahun 711 H) rahimahullah berkata:

ولاوَتِ الحَيَّةُ الحَيَّةَ لِواءً التَوَت عليها

“Ular melingkari ular lainnya, dikatakan pada kata ‘iltawat alaiha’.” (Lisanul Arab: 15/263).

Maka ucapan Ibnu Abbas “Sebagian dari mereka (yakni langit dan bumi, pen) melingkarkan kepada sebagian lainnya,” Menunjukkan bahwa bumi dan langit itu bulat dan melingkar.

Bumi Seperti Kulit pada Hari Kiamat

Di antara ayat yang menunjukkan bahwa bumi itu bulat adalah ayat tentang dibentangkannya bumi pada hari kiamat seperti kulit yang disamak. Allah ta’ala berfirman:

وَإِذَا الأَرْضُ مُدَّتْ () وَأَلْقَتْ مَا فِيهَا وَتَخَلَّتْ

“Apabila bumi diratakan, dan dilemparkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong.” (QS. Al-Insyiqaq: 3-4).

Al-Imam Abul Faraj Ibnu Jauzi al-Hanbali (wafat tahun 597 H) rahimahullah berkata:

وإذا الأرض مدت قال ابن عباس تمد مد الأديم ويزاد في سعتها

“Ayat “Apabila bumi diratakan,” Ibnu Abbas berkata: “Bumi diratakan seperti dibentangkannya kulit yang disamak dan ditambah luasnya.” (Zaadul Masir fi Ilmit Tafsir: 9/63).

Al-Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وقوله: { وَأَلْقَتْ مَا فِيهَا وَتَخَلَّتْ } أي: ألقت ما في بطنها من الأموات، وتخلت منهم. قاله مجاهد، وسعيد، وقتادة،

“Firman-Nya “dilemparkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong,” maksudnya bahwa bumi melemparkan isi perutnya yang berupa orang-orang mati dan menjadi kosong. Ini adalah pendapat Mujahid, Said dan Qatadah.” (Tafsir Ibnu Katsir: 8/356).

Al-Allamah Muhammad ath-Thahir bin Asyur al-Maliki (wafat tahun 1393 H) rahimahullah berkata:

ومد الأرض : بسطها وظاهر هذا أنها يزال ما عليها من جبال كما يمد الأديم فتزول انثناءاته… ومن معاني المد أن يزال تكويرها بتمدد جسمها حتى تصير إلى الاستطالة بعد التكوير .

“Maksud meratakan bumi adalah membentangkannya. Secara zhahir ini adalah bahwa gunung-gunung di atasnya dihilangkan sebagaimana kulit yang disamak dibentangkan sehingga lipatan-lipatannya menghilang…..dst. Di antara makna meratakan bumi pada hari kiamat adalah bahwa bentuk bulatnya bumi dihilangkan dengan cara membentangkan badan bumi sehingga menjadi bentuk yang memanjang setelah berbentuk bulat.” (At-Tahrir wat Tanwir: 4772-4773).

Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

{وإذا الأرض مدت} هذه الأرض التي نحن عليها الان هي غير ممدودة، أولاً: أنها كرة مدورة، وإن كانت جوانبها الشمالية والجنوبية منفتحة قليلاً ـ أي ممتدة قليلاً ـ فهي مدورة الآن، ثانياً: ثم هي أيضاً معرجة فيها المرتفع جداً، وفيها المنخفض، فيها الأودية، فيها السهول، فيها الرمال، فهي غير مستوية لكن يوم القيامة {وإذا الأرض مدت} أي تمد مدًّا واحداً كمد الأديم يعني كمد الجلد، كأنما تفرش جلداً أو سماطاً، تُمد حتى إن الذين عليها ـ وهم الخلائق ـ يُسمعهم الداعي، وينفذهم البصر…الخ.

“Ayat “Apabila bumi diratakan,” bumi ini yang sekarang kita berada di atasnya belumlah diratakan. Pertama: karena bentuk bumi sekarang adalah bola bulat, meskipun bagian utara dan selatannya sedikit terbentang, akan tetapi sekarang bentuknya tetap bulat. Kedua: kemudian bumi sekarang juga tidak rata (bergelombang, pen). Ada dataran tinggi ada pula dataran rendah. Ada lembah-lembah dan ada pula tanah yang rata. Ada pula padang pasir. Maka bumi sekarang tidaklah rata. Akan tetapi pada hari kiamat, bumi akan diratakan dengan rata yang sesungguhnya seperti membentangkan kulit yang telah disamak, seolah-olah membentangkan kulit atau taplak meja. Dibentangkan dan diratakan sehingga semua makhluk yang berada di atasnya bisa melihat dan mendengarkan Penyeru…dst.” (Tafsir Juz Amma li Ibni Utsaimin: 110).

Ayat di atas menunjukkan bahwa dibentangkannya bumi seperti kulit yang disamak, pada hari kiamat, memberikan isyarat bahwa sebelum hari kiamat bentuk bumi masih bulat. Wallahu a’lam.

Bumi Dijadikan Datar pada Hari Kiamat

Di antara ayat yang menunjukkan bahwa bumi bulat adalah ayat tentang dijadikannya bumi datar pada hari kiamat. Allah ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا

“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka.” (QS. Al-Kahfi: 47).

Al-Allamah Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad ats-Tsa’alibi al-Maliki (wafat tahun 876 H) rahimahullah berkata:

وقوله سبحانه وترى الأرض بارزة يحتمل أن الأرض لذهاب الجبال والضراب والشجر برزت وانكشفت ويحتمل أن يريد بروز أهلها من بطنها للحشر والمغادرة..الخ

“Firman Allah ta’ala “kamu akan dapat melihat bumi itu datar,” bisa berarti bumi menjadi tersingkap dan tampak karena hilangnya gunung-gunung, bangunan-bangunan dan pepohonan. Bisa juga berarti ditampakkan penghuninya dari perutnya untuk dikumpulkan di padang mahsyar..dst.” (Al-Jawahirul Hisan fi Tafsiril Quran: 2/385).

Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

وقوله تعالى: (وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً) أي: ظاهرة لأنها تكون قاعاً وصفصفاً، وهي الآن ليست بارزة لأنها مكورة، وأكثرها غير بارز، ثم إن البارز لنا أيضاً كثير منه مختفٍ بالجبال، فيوم القيامة لا جبال ولا أرض كروية بل تمد الأرض مدَّ الأديم..الخ

“Firman Allah ta’ala “kamu akan dapat melihat bumi itu datar,” maksudnya bumi menjadi tampak jelas karena bekas gunung-gunung diratakan. Sedangkan bumi sekarang tidaklah datar karena berbentuk bulat. Dan kebanyakan bumi juga tidak rata. Kemudian tempat bumi yang rata juga tidak tampak karena terhalang gunung. Maka pada hari kiamat, tidak ada gunung dan tidak ada bumi bulat, tetapi bumi dibentangkan seperti membentangkan kulit yang telah disamak..dst.” (Tafsir Surat al-Kahfi li Ibni Utsaimin: 81),

Sehingga meskipun sekarang kita tidak bisa melihat orang di Amerika karena bulatnya bumi, tetapi ketika hari kiamat semua orang akan tampak jelas, karena bumi dijadikan datar seperti kulit. Wallahu a’lam.

Banyaknya Tempat Terbit dan Terbenamnya Matahari

Di antara ayat yang menunjukkan bahwa bumi itu bulat adalah ayat yang menyatakan banyaknya tempat terbit dan tenggelamnya matahari. Allah ta’ala berfirman:

فَلا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَالْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُونَ

“Maka aku bersumpah dengan Tuhan Yang memiliki timur-timur dan barat-barat, sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa.” (QS. Al-Ma’arij: 40).

Pada ayat di atas kata timur dan barat berbentuk jamak, yang menunjukkan banyaknya tempat terbit dan banyaknya tempat terbenamnya matahari.

Al-Imam Muhyissunnah al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi asy-Syafi’i (wafat tahun 516 H) rahimahullah berkata:

وقوله: “برب المشارق والمغارب” أراد الله تعالى أنه خلق للشمس ثلثمائة وستين كوة في المشرق، وثلثمائة وستين كوة في المغرب، على عدد أيام السنة، تطلع الشمس كل يوم من كوة منها، وتغرب في كوة منها، لا ترجع إلى الكوة التي تطلع منها إلى ذلك اليوم من العام المقبل، فهي المشارق والمغارب، وقيل: كل موضع شرقت عليه الشمس فهو مشرق وكل موضع غربت عليه الشمس فهو مغرب، كأنه أراد رب جميع ما أشرقت عليه الشمس وغربت.

“Firman Allah “Tuhan Yang memiliki timur-timur dan barat-barat,” Allah ta’ala memaksudkan bahwa Allah menciptakan untuk matahari 360 tempat terbit di timur dan 360 tempat terbenam di barat, sesuai dengan jumlah hari dalam setahun. Maka matahari terbit setiap hari di tempat terbit yang berbeda dan terbenam di tempat terbenam yang berbeda. Dan tidak akan kembali ke tempat semula pada hari berikutnya sampai pada tahun depan. Itulah yang dimaksud dengan kata ‘Timur-timur’ dan ‘Barat-barat.” Ada juga yang berpendapat bahwa setiap tempat dimana matahari terbit padanya disebut timur (baca: tempat terbit, pen). Dan setiap tempat dimana matahari terbenam padanya disebut barat (baca: tempat tenggelam, pen). Seolah-olah yang dimaksud adalah Allah sebagai Rabb semua tempat terbit dan tenggelamnya matahari.” (Ma’alimut Tanzil: 7/34).

Al-Allamah Abu Abdillah Ibnu Arafah al-Maliki at-Tunisi (wafat tahun 803 H) rahimahullah berkata:

قال في سورة المعارج : { فَلآ أُقْسِمُ بِرَبِّ المشارق والمغارب } قال ابن عرفة : إما على أن الأرض كروية فتعدد المشرق والمغرب ظاهر لأن كل موضع مغرب لقوم مشرق لآخرين ، وإن قلنا : إنها بسيطة فهو مغرب واحد ومشرق واحد لكنها تتعدد بالفصول فمشرق الصيف غير مشرق الشتاء .

“Allah berfirman dalam al-Ma’arij: “Maka aku bersumpah dengan Tuhan Yang memiliki timur-timur dan barat-barat,” Ibnu Arafah berkata: “Ayat ini bisa menunjukkan bahwa bumi itu bulat. Maka banyaknya waktu dan tempat terbit serta tenggelamnya matahari menjadi jelas, karena setiap tempat (negara) mempunyai tempat dan waktu terbit dan terbenamnya matahari.” Jika kita katakan bahwa bumi itu datar, maka yang ada hanyalah tempat dan waktu terbit yang satu dan tempat dan waktu terbenam yang satu. Tetapi faktanya adalah berbedanya tempat dan waktu terbit serta terbenam sesuai dengan musim. Maka timurnya musim panas bukanlah timurnya musim dingin.” (Tafsir Ibnu Arafah: 154).

Sehingga antara waktu maghrib London, waktu maghrib Jakarta dan waktu maghrib Tokyo akan berbeda. Dan ini yang menunjukkan bahwa bumi itu bulat. Wallahu a’lam.

Bulatnya Bumi Mengikuti Bulatnya Langit

Langit itu berbentuk bulat dan bentuk bumi pun bulat, karena mengikuti bentuk langit. Di sini ada beberapa pembahasan:

Pertama: bentuk langit adalah atap yang bulat seperti kubah. Allah ta’ala berfirman:

وَجَعَلْنَا السَّمَاء سَقْفًا مَّحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا مُعْرِضُونَ

“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya.“ (QS. Al-Anbiya’: 32).

Al-Allamah Ahmad bin Faris (wafat tahun 395 H) rahimahullah berkata:

(سقف) السين والقاف والفاء أصل يدلُّ على ارتفاعٍ في إطلال وانحناء. من ذلك السقف سقف البيت، لأنه عالٍ مُطلٌّ.

“Kata Saqfun adalah asal sesuatu yang menunjukkan ketinggian dalam keadaan melingkupi dan melengkung. Dari situ ada kata ‘Saqful Bait’ (atap rumah), karena tinggi lagi melingkupi.” (Maqayis al-Lughah: 3/66).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa bentuk langit itu adalah bulat seperti kubah. Dari Abi Shalih rahimahullah:

عن ابن عباس – وعن مُرَّة، عن ابن مسعود، وعن ناس من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم:”والسّماء بناء”، فبناءُ السماء على الأرض كهيئة القبة، وهي سقف على الأرض

“Dari Ibnu Abbas, dan dari Murrah dari Ibnu Mas’ud dan dari sekelompok sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Ayat “Kami menjadikan langit sebagai bangunan,” bangunan langit di atas bumi itu seperti kubah. Ia menjadi atap bagi bumi.” (Atsar riwayat ath-Thabari dalam Tafsirnya: 478 (1/367) dan Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya: 222 (1/56)).

Oleh karena itu al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:

وقوله: { وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا } أي: على الأرض وهي كالقبة عليها..الخ

“Firman-Nya “Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap,” maksudnya di atas bumi. Langit itu seperti kubah yang melingkupi bumi…dst.” (Tafsir Ibnu Katsir: 5/340).

Dan yang namanya kubah, pastilah bentuknya bulat. Al-Imam Abus Sa’adat Ibnul Atsir al-Jazari asy-Syafi’i (wafat tahun 606 H) rahimahullah berkata:

القُبَّة من الخيام : بَيْتٌ صغير مُسْتدير وهو من بيوت العرب

“Kubah dari tenda adalah rumah kecil yang berbentuk bulat. Dan itu termasuk rumah-rumah orang Arab.” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar: 4/4).

Kedua: kemudian bentuk bumi itu mirip dan mengikuti bentuk langit, yaitu berbentuk bulat. Allah ta’ala berfirman:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأَرْضِ مِثْلَهُنَّ

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS. Ath-Thalaq: 12).

Al-Allamah Sirajuddin Abu Hafsh Ibnu Adil al-Hanbali (wafat tahun 775 H) rahimahullah berkata:

واختلف الناس في المثليَّة .فقيل : مثلها في العدد .وقيل : في بعض الأوصاف؛ فإن المثليَّة تصدق بذلك ، والأول المشهور .

“Para ulama berbeda pendapat tentang kemiripan bumi dengan langit. Ada yang berpendapat: “Mirip jumlahnya (yakni: sama-sama tujuh, pen).” Ulama lain menyatakan bahwa bumi juga mirip dengan langit dalam sebagian sifat, karena kemiripan itu benar adanya. Pendapat pertama itu yang terkenal.” (Al-Lubab fi Ulumil Kitab: 15/343).

Al-Allamah Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’i asy-Syafi’i (wafat tahun 885 H) rahimahullah berkata:

وظاهره يدل على أنها كما هي مثلها في العدد فهي مثلها في الكرية وإحاطة كل واحدة منها بالتي تحتها..الخ

“Zhahir dari ayat di atas menunjukkan bahwa bumi sebagaimana mirip dengan langit dalam hal jumlahnya (yakni: tujuh, pen), juga mirip dengan langit dalam bentuknya yang bulat dan masing-masing lapisannya melingkupi lapisan yang berada di bawahnya..dst.” (Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayat was Suwar: 9/67).

Berputarnya Siang dan Malam dalam Falak

Falak adalah tempat atau garis edar atau orbit bintang, matahari dan bulan. Al-Imam Ibnu Qutaibah ad-Dainuri (wafat tahun 276 H) rahimahullah berkata:

و” الفَلك “: مدار النجوم الذي يضمها، قال الله عزّ وجلّ (وكلٌّ في فَلَك يَسْبَحُون) سمَّاه فَلكاً لاستدارته، ومنه قيل ” فَلكَةُ المِغْزَلِ ” وقيل ” فَلَكَ ثَدْيَ المرأة ” . وللفلك قُطبان: قطبٌ في الشمال، وقطبٌ في الجنوب، متقابلا.

“Falak adalah tempat beredarnya (baca: garis orbit, pen) bintang-bintang yang mengumpulkannya. Allah ta’ala berfirman: “Masing-masing berputar di dalam Falak.” Dinamakan Falak karena bentuknya bulat. Dari kata Falak muncul kata ‘Falakatul Mighzal’ (yaitu: alat mainan gasing, pen) dan muncul kata ‘Falaka Tsadyil Mar’ah’ (yaitu: puting payudara yang berputar atau terpeluntir, pen). Falak mempunyai dua kutub; kutub di utara dan kutub di selatan yang saling berhadapan.” (Adabul Kitab li Ibni Qutaibah: 18).

Allah ta’ala berfirman:

لا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ

“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yasin: 40).

Ayat ini menunjukkan bahwa bumi itu bulat dari beberapa sisi:

Pertama: pada kata ‘malam pun tidak dapat mendahului siang’. Maksudnya adalah tidak ada dua siang berturut-turut tanpa diselingi malam. Dan sebaliknya, tidak ada dua malam berturut-turut tanpa diselingi siang.

Al-Allamah Abul Hasan al-Mawardi asy-Syafi’i (wafat tahun 450 H) rahimahullah berkata:

قوله (ولا الليلُ سابق النهار ) فيه وجهان :

أحدهما : يعني أنه لا يتقدم الليل قبل استكمال النهار وهو معنى قول يحيى بن سلام .

الثاني : أنه لا يأتي ليل بعد ليل متصل حتى يكون بينهما نهار منفصل ، وهو معنى قول عكرمة .

Firman-Nya (‘malam pun tidak dapat mendahului siang’) ada dua sisi makna:

Sisi pertama: maksudnya adalah bahwa malam tidak akan maju sebelum sempurnanya siang. Ini adalah makna ucapan Yahya bin Salam.

Sisi kedua: bahwa tidak akan datang satu malam setelah malam lainnya secara bersambung sampai dipisah oleh siang di antara keduanya. Ini adalah makna ucapan Ikrimah.” (An-Nukat wal Uyun: 3/444).

Penjelasan Ikrimah di atas menunjukkan bahwa bumi itu bulat karena di bagian belahan bumi manapun tidak terjadi dua malam berturut-turut dan dua siang berturut-turut. Jika daerah Makkah mengalami siang, maka Mexico mengalami malam dan sebaliknya.

Oleh karena itu al-Allamah Muhammad Shiddiq Hasan Khan al-Qinnuji (wafat tahun 1307 H) rahimahullah menyatakan:

وأما في أنفسها فإن كروية الأرض تقتضي أن يكون بعض الأوقات في بعض الأماكن ليلاً وفي مقابله نهاراً.

“Adapun dalam diri bumi, maka bulatnya bumi memberikan konsekuensi bahwa sebagian waktu di sebagian tempat adalah malam, sedangkan di tempat yang berkebalikan waktunya siang.” (Fathul Bayan fi Maqashidil Quran: 6/18).

Sehingga jika kita mengikuti teori Bumi Datar, maka tidak ada selang-seling antara siang dan malam. Yang ada hanyalah siang berturut-turut atau malam berturut-turut. Jika Makkah mengalami siang, maka Meksiko harusnya ikut mengalami siang, menurut teori Bumi Datar. Wallahu a’lam.

Kedua: bulatnya bumi mengikuti bulatnya Falak (garis edar). Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وقوله: { وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ } يعني: الليل والنهار، والشمس والقمر، كلهم يسبحون، أي: يدورون في فلك السماء. قاله ابن عباس، وعِكْرِمة، والضحاك، والحسن، وقتادة، وعطاء الخراساني

“Firman-Nya “Dan masing-masing beredar pada garis edarnya,” maksudnya adalah bahwa siang dan malam, matahari dan bulan, semuanya berenang, yakni berputar di Falak langit. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah, adh-Dhahhak, al-Hasan, Qatadah dan Atha’ al-Khurasani.” (Tafsir Ibnu Katsir: 6/579).

Secara khusus Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma menerangkan:

الشمس بمنزلة الساقية، تجري بالنهار في السَّمَاء في فلكها، فإذا غربت جرت الليل في فلكها تحت الأَرْض حتي تطلع مِنْ مشرقها، وكذلك القمر

“Matahari menduduki putaran kincir air. Ia berjalan pada siang hari di langit pada Falak (garis edarnya). Jika ia terbenam, maka ia berjalan di malam hari di Falaknya di bawah bumi sampai terbit di tempat terbitnya. Demikian juga bulan.” (Atsar riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya: 13136 (9/39). Isnadnya di-shahih-kan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: 6/350).

Ibnu Katsir juga menambahkan:

قال ابن عباس وغير واحد من السلف: في فَلْكَةٍ كفَلْكَة المغْزَل.

“Ibnu Abbas dan ulama Salaf lainnya menyatakan bahwa mereka berputar dalam Falak (garis edar) seperti berputarnya permainan gasing.” (Tafsir Ibnu Katsir: 6/579).

Al-Imam Abu Abdillah al-Qurthubi al-Maliki (wafat tahun 671 H) rahimahullah berkata:

وقال الحسن: الشمس والقمر والنجوم في فلك بين السماء والأرض غير ملصقة، ولو كانت ملصقة ما جرت، ذكره الثعلبي والماوردي.

“Al-Hasan al-Bashri berkata: “Matahari, bulan dan bintang-bintang berjalan di Falak di antara langit dan bumi, tanpa menempel (baca: berpotongan pada langit dan bumi, pen). Jika mereka menempel, maka tidak akan bisa berjalan. Ini disebutkan oleh ats-Tsa’labi dan al-Mawardi.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran: 15/33).

Keterangan as-Salaf di atas menunjukkan bahwa bumi itu bulat, karena jika tidak, maka garis edar benda-benda langit tersebut akan memotong garis datarnya bumi dan terjadilah tubrukan dan kiamat. Wallahu a’lam.

Perbedaan Mathla’ dalam Rukyatul Hilal

Di antara dalil bahwa bumi itu bulat adalah adanya perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal) di dalam menentukan awal puasa dan hari raya. Masing-masing negara mempunyai tempat terbitnya hilal sendiri-sendiri.

Dari Kuraib bin Abi Muslim (ulama tabi’in, wafat tahun 98 H) rahimahullah:

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

Bahwa Ummul Fadhl binti al-Harits mengutusnya untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata, “Ketika sampai di Syam, aku pun menyelesaikan keperluan Ummul Fadhl. Dan saat masuk Ramadhan, aku masih di Syam. Aku melihat bulan (hilal) pada malam Jum’at. Kemudian, pada akhir Ramadhan, aku telah datang kembali di Madinah. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menanyakan kabarku dan menyinggung soal hilal. Dia berkata; ‘Kapan kalian melihat hilal?’

Aku berkata; ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Ibnu Abbas berkata; ‘Kamu melihatnya sendiri?’ Aku berkata; ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah juga puasa.’ Ibnu Abbas berkata; ‘Tetapi kami melihatnya malam Sabtu, dan kami sekarang masih puasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari atau melihat bulan.’ Aku pun berkata; Apa kamu tidak cukup dengan rukyah Muawiyah dan puasanya?’ Kata Ibnu Abbas; ‘Tidak. Seperti inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kita.” (HR. Muslim: 2580, Abu Dawud: 2332, an-Nasai: 2111 dan at-Tirmidzi: 693).

Al-Imam Abu Zakariya an-Nawawi (wafat tahun 676 H) rahimahullah berkata:

بَابُ بَيَانِ أَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ وَأَنَّهُمْ إِذَا رَأَوُا الْهِلَالَ بِبَلَدٍ لَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ لِمَا بَعُدَ عَنْهُمْ

“Bab Penjelasan bahwa setiap negara mempunyai rukyat sendiri-sendiri. Dan bahwa jika kaum muslimin melihat hilal di suatu negara maka hukumnya tidak berlaku di negara yang letaknya jauh dari mereka.” (Syarh an-Nawawi ala Muslim: 7/197).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

تَخْتَلِفُ الْمَطَالِعُ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِهَذَا، فَإِنْ اتَّفَقَتْ لَزِمَهُ الصَّوْمُ وَإِلَّا فَلَا وَهُوَ الْأَصَحُّ لِلشَّافِعِيَّةِ وَقَوْلٌ فِي مَذْهَبِ أَحْمَدَ

“Mathla’ (tempat terbit hilal) itu berbeda-beda (menurut daerahnya masing-masing, pen) berdasarkan kesepakatan para ulama yang mengetahui permasalahan ini. Jika (dua negara atau lebih) mempunyai mathla’ yang sama, maka wajib bagi mereka berpuasa (ketika terlihat hilal di salah satu negara tersebut, pen). Dan jika tidak mempunyai persamaan mathla’, maka tidak wajib mengikuti puasa negara lain. Ini adalah pendapat yang paling shahih di kalangan Syafi’iyah dan salah satu pendapat di dalam madzhab al-Imam Ahmad.” (Al-Fatawa al-Kubra: 5/375).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat tahun 852 H) rahimahullah berkata:

وقال أجمعوا على أنه لا تراعي الرؤية فيما بعد من البلاد كخراسان والاندلس

“(Al-Imam Ibnu Abdil Barr) berkata bahwa para ulama bersepakat bahwa rukyat tidak berlaku untuk negara yang berjauhan seperti Khurasan dan Andalusia.” (Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari: 4/123).

Al-Allamah Fakhruddin Utsman bin Ali az-Zaila’i al-Hanafi (wafat tahun 743 H) rahimahullah berkata:

وَلَا عِبْرَةَ بِاخْتِلَافِ الْمَطَالِعِ وَقِيلَ يُعْتَبَرُ …. وَالْأَشْبَهُ أَنْ يُعْتَبَرَ لِأَنَّ كُلَّ قَوْمٍ مُخَاطَبُونَ بِمَا عِنْدَهُمْ وَانْفِصَالُ الْهِلَالِ عَنْ شُعَاعِ الشَّمْسِ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَقْطَارِ كَمَا أَنَّ دُخُولَ الْوَقْتِ وَخُرُوجَهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَقْطَارِ حَتَّى إذَا زَالَتْ الشَّمْسُ فِي الْمَشْرِقِ لَا يَلْزَمُ مِنْهُ أَنْ تَزُولَ فِي الْمَغْرِبِ وَكَذَا طُلُوعُ الْفَجْرِ وَغُرُوبُ الشَّمْسِ بَلْ كُلَّمَا تَحَرَّكَتْ الشَّمْسُ دَرَجَةً فَتِلْكَ طُلُوعُ فَجْرٍ لِقَوْمٍ وَطُلُوعُ شَمْسٍ لِآخَرَيْنِ وَغُرُوبُ لِبَعْضٍ وَنِصْفُ لَيْلٍ لِغَيْرِهِمْ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا مُوسَى الضَّرِيرَ الْفَقِيهَ صَاحِبَ الْمُخْتَصَرِ قَدِمَ الْإِسْكَنْدَرِيَّة فَسُئِلَ عَمَّنْ صَعِدَ عَلَى مَنَارَةِ الْإِسْكَنْدَرِيَّةِ فَيَرَى الشَّمْسَ بِزَمَانٍ طَوِيلٍ بَعْدَمَا غَرَبَتْ عِنْدَهُمْ فِي الْبَلَدِ أَيَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ فَقَالَ لَا وَيَحِلُّ لِأَهْلِ الْبَلَدِ لِأَنَّ كُلًّا مُخَاطَبٌ بِمَا عِنْدَهُ وَالدَّلِيلُ عَلَى اعْتِبَارِ الْمَطَالِعِ مَا رُوِيَ عَنْ كُرَيْبٌ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ..الخ

“Dan adanya perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal, pen) tidak perlu diperhitungkan. Pendapat lain menyatakan perlu diperhitungkan….dst. Yang sesuai dengan kebenaran adalah diperhitungkan adanya perbedaan mathla’, karena setiap kaum mendapatkan perintah sesuai dengan apa yang ada pada mereka. Terpisahnya hilal (bulan sabit) dari pancaran cahaya matahari itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat, sebagaimana keluar dan masuknya waktu shalat juga berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat. Sampai sekalipun jika matahari tergelincir di daerah timur, maka tidak mengharuskan tergelincirnya matahari di daerah barat. Demikian pula terbitnya fajar dan terbenamnya matahari, bahkan setiap kali matahari bergerak 1 (satu) derajat, maka akan terjadi terbitnya fajar pada suatu kaum, terbitnya matahari pada kaum yang lain, terbenamnya matahari pada kaum lainnya lagi serta terjadi tengah malam pada kaum yang lainnya lagi. Dan diriwayatkan bahwa Abu Musa adh-Darir al-Faqih, Penulis al-Mukhtashar tiba di kota Aleksandria Mesir dan ditanya tentang seseorang yang menaiki menara Aleksandria, kemudian dia melihat matahari pada waktu yang lama setelah terbenamnya matahari menurut penduduk kota, apakah halal baginya untuk berbuka puasa? Maka beliau menjawab: “Tidak boleh baginya, tetapi boleh bagi penduduk kota Aleksandria (untuk berbuka, pen) karena masing-masing orang mendapatkan perintah sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. Dalil tentang dianggapnya perbedaan mathla’ hilal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib bahwa Ummul Fadhel mengutusnya pergi kepada Muawiyah di Syam..dst.” (Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzid Daqaiq: 4/78).

Dan al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim an-Najdi al-Hanbali (wafat tahun 1392 H) rahimahullah mengomentari penjelasan Ibnu Taimiyah di atas:

وقطع به غير واحد، وصححوه، وتأخر سير القمر عن الشمس، معلوم بالحس، فإنه يطلع خلفها، ويغرب بعدها، في أخر نصف كرة الأرض، فضلاً عن كلها، فرؤية أهل المغرب، لا تكون لأهل المشرق، بخلاف عكسه.

“Banyak ulama yang memastikan adanya perbedaan mathla’ dan membenarkannya. Terlambatnya perjalanan bulan dari matahari itu diketahui secara inderawi, karena bulan itu terbit di belakang matahari dan terbenam setelahnya di akhir setengah bola bumi, apalagi keseluruhannya. Maka rukyat penduduk barat tidak bisa menjadi rukyat penduduk timur, berbeda dengan sebaliknya.” (Hasyiyah ar-Raudhil Murabbi’ Syarh Zadil Mustaqni’: 3/357).

Keterangan hadits dan juga keterangan para ulama di atas menunjukkan atau mengisyaratkan bahwa bumi itu bulat.

Perbedaan Lamanya Siang dan Malam

Di antara dalil bahwa bumi itu bulat adalah perbedaan waktu siang dan malam setiap harinya. Allah ta’ala berfirman:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan bahwasanya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Hajj: 61).

Al-Allamah Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi (wafat tahun 745 H) rahimahullah berkata:

قال ابن عباس ، ومجاهد ، والحسن ، وقتادة ، والسدي ، وابن زيد : المعنى ما ينتقص من النهار يزيد في الليل ، وما ينتقص من الليل يزيد في النهار ، دأباً كل فصل من السنة ،

“Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi dan Ibnu Zaid: “Makna ayat di atas adalah bahwa waktu siang yang berkurang akan ditambahkan ke dalam malam dan waktu malam yang berkurang akan ditambahkan ke dalam siang (sehingga tepat 24 jam, pen), yang menjadi ciri khas setiap musim di dalam setahun.” (Tafsir al-Bahrul Muhith: 3/186).

Al-Allamah Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad an-Naisaburi (wafat tahun 850 H) rahimahullah memberikan alasan:

لأن زيادة أحدهما تستلزم نقصان الآخر ضرورة كون مجموعهما أربعاً وعشرين ساعة . أو كيف يختلفان في الأمكنة فإن نهار كل بقعة تقابلها ضرورة كروية الأرض .

“Ini karena bertambahnya waktu dari salah satunya (yakni siang dan malam, pen) menyebabkan berkurangnya waktu yang lainnya sebagai kemestian bahwa jumlah lamanya siang dan malam adalah 24 jam. Atau bagaimana siang dan malam berbeda-beda di berbagai tempat di bumi, karena waktu siang setiap tempat itu dihadapkan pada kemestian bulatnya bumi.” (Gharaibul Quran wa Raghaibul Furqan: 1/387).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa bumi itu bulat. Wallahu a’lam.

Bumi Diratakan dalam Keadaan Bulat

Di antara dalil yang digunakan oleh Kelompok Pro Bumi Datar adalah firman Allah ta’ala:

وَالأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا

“Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.” (QS. An-Nazi’at: 30).

Al-Imam Abu Abdillah Ibnu Abi Zamanain al-Maliki (wafat tahun 399 H) rahimahullah berkata:

قال والأرض بعد ذلك دحاها بسطها بعد خلق السماء

“Allah berfirman: “Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya,” yakni diratakan-Nya setelah menciptakan langit.” (Tafsir Ibnu Abi Zamanain: 2/300).

Al-Imam Abul Qasim Ibnu Juzzai al-Kalbi al-Maliki (wafat tahun 741 H) rahimahullah berkata:

واستدل بها من قال: إن الأرض بسيطة غير كروية وقد ذكرنا في فصلت الجمع بين هذا وبين قوله ثم استوى إلى السماء

“Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang menyatakan bahwa bumi itu datar dan tidak bulat. Dan kami telah menyebutkan kompromi dalam tafsir surat Fushshilat antara pendapat ini dan firman-Nya “Kemudian Allah menuju langit,”…dst.” (At-Tas-hil li Ulumit Tanzil: 2/450).

Jawaban:

Pertama: kata ‘Dahaa’ tidak menunjukkan terbentang atau datar secara mutlak, tetapi dibentangkan agar bisa didirikan rumah di atasnya, bisa ditanami dan sebagainya.

Dari Sa’id bin Jubair rahimahullah:

عن ابن عباس: { دَحَاهَا } وَدَحْيها أن أخرج منها الماء والمرعى، وشقق [فيها] الأنهار، وجعل فيها الجبال والرمال والسبل والآكام

“Makna ‘Dahaaha’, maksud ‘ad-Dahyu’ adalah mengeluarkan air dan tempat penggembalaan bumi, dimunculkan sungainya, dijadikan gunung-gunung, padang pasir, jalan-jalan dan lembah-lembah di atas bumi.” (Tafsir Ibnu Katsir: 8/316).

Oleh karena itu al-Allamah Syihabuddin al-Khafaji al-Hanafi (wafat tahun 1069 H) rahimahullah berkata:

أي بسطها ومهدها للسكنى

“Maksud ‘Dahaahaa’ adalah membentangkannya dan memudahkannya untuk dijadikan tempat tinggal.” (Hasyiyah asy-Syihab ala Tafsir al-Baidhawi: 7/389).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa makna ’Dahaaha’ bukanlah meratakan secara mutlak –sebagaimana anggapan kelompok Bumi Datar- tetapi menjadikan gunung-gunung di atas bumi, menjadikan lembah, sungai, padang pasir, jalan-jalan di atasnya agar bisa dimanfaatkan oleh manusia.

Kedua: bentuk bumi yang bulat dan begitu besar menyebabkan potongan-potongannya tampak datar dan terbentang. Al-Allamah Sirajuddin Abu Hafsh Ibnu Adil al-Hanbali (wafat tahun 775 H) rahimahullah berkata:

قال ابن الخطيب : وهذا القول إنَّما يتمٌّ إذا قلنا : الأرض مسطحةٌ لا كرةٌ وأصحاب هذا القول ، احتجوا عليه بقوله تعالى : { والأرض بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا } [ النازعات : 30 ] وهو مشكل من وجهين :

الأول : أنَّه ثبت بالدليل أنَّ الأرض كرةٌ ، فإن قالوا : قوله تعالى : مد الأرض ينافي كونها كرة .قلنا : لا نسلم؛ لأنَّ الأرض جسم عظيم ، والكرة إذا كانت في غاية الكبر كان لكم قطعة منها تشاهدُ كالسَّطح …الخ

والثاني : أنَّ هذه الآية إنَّما ذكرت ليستدلّ على وجود الصَّانع؛ والشروط فيه أن يكون ذلك أمراً مشاهداً معلوماً ، حتى يصح الاستدلال به على وجود الصانع لأنَّ الشيء إذا رأيت حجمه ، ومقداره ، صار ذلك الحجم ، وذلك المقدار عبرة..الخ

“Ibnul Khathib berkata: “Pendapat ini akan sempurna jika kita katakan bahwa bumi itu datar bukanlah berbentuk bola. Kelompok pendapat ini berargumen dengan firman Allah: “Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.” (QS. An-Nazi’at: 30). Pendalilan ini musykil (tidak jelas atau bias, pen) dari 2 (dua) arah:

Arah pertama: telah tetap berdasarkan dalil bahwa bumi berbentuk bulat seperti bola. Jika mereka menyatakan bahwa membentangkan bumi berarti menafikan (meniadakan) bentuknya seperti bola. Maka kami katakan: “Tidak selalu demikian, karena bumi itu benda yang besar. Dan jika bola berukuran sangat besar, maka potongan-potongannya akan terlihat seperti datar..dst.

Arah kedua: ayat ini disebutkan dalam rangka untuk dijadikan dalil tentang adanya Pencipta. Persyaratannya (yakni: dijadikan dalil tentang adanya Pencipta, pen) adalah bahwa perkara tersebut merupakan suatu perkara yang bisa disaksikan dan dilihat, sehingga menjadi sah untuk dijadikan dalil tentang adanya Pencipta, karena sesuatu jika terlihat besarnya dan ukurannya, maka besar dan ukuran bumi akan menjadi pelajaran..dst.” (Al-Lubab fi Ulumil Kitab: 9/380).

Begitu pula menurut al-Allamah Abul Qasim Ibnu Juzzai al-Kalbi al-Maliki (wafat tahun 741 H) rahimahullah. Beliau berkata:

مد الأرض  يقتضي أنها بسيطة لا مكورة وهو ظاهر الشريعة وقد يترتب لفظ البسط والمد مع التكوير لأن كل قطعة من الأرض ممدودة على حدتها وإنما التكوير لجملة الأرض..الخ.

“Lafazh “membentangkan bumi” memberikan pengertian bahwa bumi itu datar bukan bulat dan ini adalah zhahir dari syariat. Penggandengan kata ‘membentangkan’ dengan kata ‘takwir’ (menjadikan bulat, pen), karena setiap potongan bumi itu terbentang (datar) menurut batasannya dan bulatnya bumi itu dalam ukuran globalnya…dst.” (At-Tas-hil li Ulumit Tanzil: 2/36).

Maka keterangan Ibnu Adil dan Ibnu Juzzai di atas menunjukkan bahwa bagian bumi yang tampak datar atau terbentang tidaklah menafikan bulatnya bumi.

Ketiga: di antara arti ‘Dahaa Yad-huu’ adalah melemparkan atau menggelindingkan sesuatu yang bulat.

Al-Allamah Ibnu Manzhur al-Ifriqi rahimahullah berkata:

ويقال للاَّعِب بالجَوْز أَبْعِدِ المَرْمَى وادْحُه أي ارْمِهِ… والدَّحْوُ هو رَمْيُ اللاَّعِب بالحَجَر والجَوْزِ وغيرهِ

“Dan dikatakan kepada orang yang bermain kacang walnut (kalau sekarang kelereng, pen): “Jauhkan tempat lemparannya dan ‘Ud-huhu’ yakni: Lemparkan!”…..dst. Ad-Dahwu adalah lemparan seorang pemain dengan batu, kacang walnut atau lainnya (seperti kelereng, pen).” (Lisanul Arab: 14/251).

Dengan adanya pilihan kata ‘Dahaaha’ dengan makna seperti di atas, maka al-Allamah Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah berkata:

وَفِيهِ دَلَالَةٌ أَوْ إِشَارَةٌ – عَلَى الْأَقَلِّ – إِلَى أَنَّهَا كُرَةٌ أَوْ كَالْكُرَةِ فِي الِاسْتِدَارَةِ،

“Di dalamnya (yakni: kata Dahaa Yad-huu yang berarti melemparkan benda bulat, pen) terdapat isyarat minimalnya bahwa bumi itu bulat atau seperti bola di dalam bulatannya…dst.” (Tafsir al-Manar: 1/208).

Bersumpah dengan Penghamparan Bumi

Kelompok pendukung Bumi Datar juga berdalil dengan sumpah Allah ta’ala atas penghamparan bumi untuk mendukung keyakinan bahwa bumi itu datar.

Allah ta’ala berfirman:

وَالأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا

“Dan (demi) bumi serta penghamparannya.” (QS. Asy-Syams: 6).

Mereka berdalil dengan ayat di atas untuk mendukung bahwa bumi itu datar.

Jawaban:

Pertama: kata ‘menghamparkan’ tidak menafikan bahwa bumi itu bulat. Dan karena bola bumi itu sangat besar, maka potongan-potongannya terlihat datar.

Al-Allamah Muhammad Jamaluddin al-Qasimi (wafat tahun 1332 H) rahimahullah berkata:

وَالْأَرْضِ وَما طَحاها أي بسطها. من كل جانب، لافتراشها وازدراعها والضرب في أكنافها. قال الإمام: وليس في ذلك دليل على أن الأرض غير كروية، كما يزعم بعض الجاهلين. أي بتحريفه الكلم عن معناه المراد منه

“Ayat “Dan (demi) bumi serta penghamparannya,” maksudnya bahwa Allah membentangkannya dari segala sisi agar bisa dijadikan alas, bisa ditanami dan dilalui di atasnya. Al-Imam (Fakhruddin ar-Razi, pen) berkata: “Di dalam ayat ini tidak ada dalil yang menyatakan bahwa bumi itu tidak bulat sebagaimana yang disangkakan oleh orang-orang yang bodoh, maksudnya dengan cara memalingkan kalimat (yakni: kata thahaaha, pen) dari makna yang dimaksud sebenarnya..dst.” (Mahasinut Ta’wil: 9/481).

Kedua: makna ‘thahaaha’ itu seperti makna ‘dahaaha’. Sehingga jika kata “Dahaa-Yadhuu” mempunyai makna melemparkan sesuatu yang bulat, maka kata “Thaha-Yath-huu” juga mempunyai makna yang sama.

Al-Allamah Ismail Haqqi al-Istambuli al-Hanafi (wafat tahun 1127 H) rahimahullah berkata:

والطحو كالدحو بمعنى البسط وابدال الطاء من الدال جائز…الخ

“Kata ‘Thahaa’ seperti kata “Dahaa” dengan arti membentangkan. Mengubah huruf Tha’ menjadi Dal adalah boleh.” (Ruuhul Bayan fi Tafsiril Quran: 17/277).

Ketiga: kata ‘thahaaha’ memberikan pengertian datar yang bersifat lokal, bukan keseluruhan bumi.

Al-Allamah Abu Nashr Ismail bin Hammad al-Jauhari (wafat tahun 393 H) rahimahullah berkata:

طحا: طَحَوْتُهُ مثل دَحَوْتُهُ، أي بسطته. والطَحا مقصورٌ: المنبسط من الأرض.

“Kata “Thahaa”: “Thahautuhuu” seperti kata “Dahautuhuu”, yakni: Aku membentangkannya. “At-Thahaa” dengan alif maqshurah: “Bagian bumi yang rata.” (Ash-Shihhah Tajul Lughah wa Shihhahul Arabiyah: 1/419).

Jadi kata “ath-Thahaa” menunjukkan datar yang bersifat lokal, bukan keseluruhan bumi. Wallahu a’lam

Tidakkah Melihat Bagaimana Bumi Dihamparkan?

Kelompok pendukung Bumi Datar juga berdalil dengan surat al-Ghasyiyah tentang penciptaan unta, langit, gunung dan bumi. Allah ta’ala berfirman:

أَفَلا يَنظُرُونَ إِلَى الإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ () وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ () وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ () وَإِلَى الأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20).

Mereka kemudian menukilkan keterangan dari Tafsir al-Jalalain:

وقوله : (سطحت) ظاهر في أن الأرض سطح وعليه علماء الشرع لا كرة كما قاله أهل الهيئة وإن لم ينقص ركنا من أركان الشرع

“Firman Allah “Dihamparkan,” adalah jelas bahwa bumi itu terhampar (datar, pen) -dan ini merupakan pendapat ulama syariat- bukannya bulat sebagaimana pendapat ahli sains. Meskipun (pendapat bumi bulat, pen) tidak mengurangi satu rukun dari rukun-rukun syariat (yakni: tidak dapat dikafirkan atau di-tabdi’, pen).” (Tafsir al-Jalalain: 805).

Jawaban:

Pertama: makna dihamparkan atau dijadikan datar tidaklah menunjukkan bentuk bumi datar sebagaimana dikatakan gunung itu datar jika puncaknya rata dan dapat dinaiki dan ditempati. Padahal bentuk gunung itu tetaplah kerucut. Demikian pula ketika dikatakan bahwa bumi diratakan atau dihamparkan jika permukaannya datar dan dapat dilalui dan ditempati padahal bentuknya bulat.

Oleh karena itu al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat tahun 310 H) rahimahullah berkata:

وقوله:( وَإِلَى الأرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ) يقول: وإلى الأرض كيف بُسطت، يقال: جبل مُسَطَّح: إذا كان في أعلاه استواء.

“Firman Allah “Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” adalah bagaimana bumi dibentangkan. Dikatakan bahwa gunung musaththoh (yang datar, pen), jika terdapat bagian yang rata (atau lurus, pen) di bagian puncaknya.” (Jami’ul Bayan an Ta’wil Ayil Quran: 24/389).

Sehingga jika dikatakan bahwa gunung itu datar dengan arti puncaknya rata sehingga bisa didaki dan ditempati padahal bentuknya tetap seperti kerucut, maka demikian pula dapat dikatakan bahwa bumi itu rata dengan arti permukaannya rata padahal bentuknya tetap bulat. Wallahu a’lam.

Kedua: sesuatu yang berbentuk bulat dan berukuran besar maka potongan-potongan kecil dari permukaannya akan tampak lurus dan datar.

Al-Allamah Muhammad bin Ahmad al-Khathib asy-Syarbini asy-Syafi’i (wafat tahun 977 H) rahimahullah berkata:

{كيف سطحت} سطحاً بتمهيد وتوطئة فهي مهاد للتقلب عليها. واستدلّ بعضهم بذلك على أنّ الأرض ليست بكرة. قال الرزاي: وهو ضعيف لأنّ الكرة إذا كانت في غاية العظمة تكون كل قطعة منها كالسطح.

“Firmannya “bumi bagaimana ia dihamparkan?” dengan hamparan yang dapat diinjak dan dijadikan buaian. Maka bumi merupakan hamparan untuk berbolak-balik (atau berguling-guling) di atasnya. Sebagian orang berdalil dengan ayat ini bahwa bumi tidaklah bulat. Fakhruddin ar-Razi berkata bahwa itu pendapat lemah karena bola jika berukuran sangat besar, maka masing-masing potongannya seperti datar.” (Tafsir as-Sirajul Munir: 5170).

Demikian pula menurut al-Allamah Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’i asy-Syafi’i (wafat tahun 885 H) rahimahullah. Beliau berkata:

وهذا لا ينافي أن تكون كرية ، لأن الكرة إذا عظمت كان كل قطعة منها تشاهد كالسطح ..الخ

“Ayat ini tidak menafikan (baca: menolak, pen) bahwa bumi itu bulat, karena bola jika berukuran sangat besar, maka setiap potongan akan dilihat seperti datar..dst.” (Nazhmud Durar fi Tanasubis Suwar: 4/325).

Dan perhatikanlah bahwa al-Khathib asy-Syarbini dan Ibrahim al-Biqa’i sama-sama bermadzhab Syafi’i seperti penulis Tafsir al-Jalalain dan hidup mereka pun dalam kurun waktu yang hampir berdekatan. Hanya saja penafsiran keduanya lebih mendekati pendalilan daripada penafsiran al-Jalalain yang terkesan Jumud (kaku). Wallahu a’lam.

Ketiga: yang dimaksud dengan ‘bumi’ yang dibentangkan adalah bumi setiap kaum, bukan bumi secara keseluruhan.

Al-Allamah Muhammad ath-Thahir bin Asyur al-Maliki rahimahullah berkata:

ومعنى سطحت : يقال سطح الشيء إذا سواه ومنه سطح الدار والمراد بالأرض أرض كل قوم لا مجموع الكرة الأرضية

“Makna ‘suthihat’ (dihamparkan, pen), dikatakan ‘Sath-thaha asy-Syai’ jika ia meratakannya. Dari kata itu ada kata ‘Sath-hut Dar’ (yaitu atap rumah yang rata, pen). Yang dimaksud dengan bumi pada ayat ini adalah bumi masing-masing kaum, bukan keseluruhan bola bumi..dst.”(At-Tahrir wat Tanwir: 4808).

Bumi sebagai Permadani

Kaum Bumi Datar juga berdalil dengan ayat dalam surat Nuh tentang datarnya bumi. Allah ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ بِسَاطًا () لِتَسْلُكُوا مِنْهَا سُبُلاً فِجَاجًا

“Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan (permadani), supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu.” (QS. Nuh: 19-20).

Jawaban:

Pertama: maksud bumi dihamparkan adalah diratakan dalam arti tidak banyak memiliki gundukan sehingga mudah dilalui untuk perjalanan.

Al-Allamah Muhammad Shiddiq Hasan Khan al-Qinnuji (wafat tahun 1307) rahimahullah berkata:

(والله جعل لكم الأرض بساطاً) أي فرشها وبسطها لكم تتقلبون عليها تقلبكم على بسطكم في بيوتكم، ولم يجعلها مسنمة

“Firmannya “Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan (permadani),” maksudnya bahwa Allah membentangkannya dan menghamparkannya untuk kalian. Kalian berbolak-balik di atasnya seperti berbolakbaliknya kalian di atas permadani kalian di rumah-rumah kalian. Dan Allah tidak menjadikan bumi bergunduk-gunduk dan berpunuk-punuk.” (Fathul Bayan fi Maqashidil Quran: 14/339).

Kedua: bulatan bumi yang sangat besar akan tampak lurus dan datar pada bagian-bagian yang kecil darinya.

Al-Allamah Syihabuddin Mahmud bin Abdillah al-Alusi al-Husaini (wafat tahun 1270 H) rahimahullah berkata:

{ والله جَعَلَ لَكُمُ الارض بِسَاطاً } تتقلبون عليها كالبساط وليس فيه دلالة على أن الأرض مبسوطة غير كرية كما في «البحر» وغيره لأن الكرة العظيمة يرى كل من عليها ما يليه مسطحاً ثم إن اعتقاد الكرية أو عدمها ليس بأمر لازم في الشريعة لكن كريتها كالأمر اليقيني وإن لم تكن حقيقية..الخ

“Ayat “Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan (permadani),” kalian berbolak-balik di atas bumi seperti (di atas) permadani. Ini tidak menunjukkan bahwa bumi itu datar dan tidak bulat sebagaimana keterangan kitab ‘al-Bahr’ dan lainnya, karena suatu bola yang besar akan dilihat oleh orang yang berada di atas bola besar tersebut ketika melihat sekitarnya sebagai suatu yang datar. Kemudian meyakini bahwa bumi itu bulat atau tidak bulat, bukanlah perkara yang wajib secara syariat, akan tetapi bulatnya bumi itu seperti perkara yang yakin meskipun tidak hakiki..dst.” (Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Quran al-Azhim wa as-Sab’il Matsani: 21/322).

Ketiga: penyebutan bumi sebagai permadani merupakan “Tasybih Baligh” atau penyerupaan dengan unsur penyangatan, dalam ilmu balaghah.

Al-Allamah Muhammad ath-Thahir bin Asyur al-Maliki rahimahullah berkata:

والبساط : ما يفرش للنوم عليه والجلوس من ثوب أو زريبة فالإخبار عن الأرض ببساط تشبيه بليغ أي كالبساط . ووجه الشبه تناسب سطح الأرض في تعادل أجزاءه بحيث لا يوجع أرجل الماشين ولا يقض جنوب المضطجعين وليس المراد أن الله جعل حجم الأرض كالبساط لأن حجم الأرض كروي…الخ

“Bisath (permadani) adalah sesuatu yang dijadikan alas untuk tidur dan duduk yang berupa pakaian atau permadani (karpet). Mengkhabarkan bahwa bumi itu permadani merupakan “Tasybih Baligh” yang artinya bahwa bumi itu laksana permadani. Arah persamaannya adalah bahwa ratanya bumi itu meliputi kesamaan bagian-bagiannya dengan sekira tidak menyakiti kaki orang yang berjalan dan tidak melukai lambung (atau kulit) orang yang berbaring. Yang dimaksud pada ayat ini bukanlah Allah menjadikan badan bumi seperti permadani karena badan bumi itu berbentuk bulat..dst.” (At-Tahrir wat Tanwir: 4576).

Bumi sebagai Alas

Kaum Bumi Datar juga berdalil dengan ayat 20 surat al-Baqarah untuk membela pendapatnya. Allah ta’ala berfirman:

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشاً وَالسَّمَاءَ بِنَاء

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,” (QS. Al-Baqarah: 22).

Jawaban:

Pertama: tujuan dijadikan bumi sebagai hamparan adalah agar mudah ditempati dan dimanfaatkan.

Al-Imam Ibnu Abi Zamanain al-Maliki (wafat tahun 399 H) rahimahullah berkata:

وقوله فراشا أي لم يجعلها بحيث لا يمكن الاستقرار عليها

“Firman-Nya “sebagai hamparan” maksudnya adalah bahwa Allah tidak menjadikan bumi menjadi tempat yang tidak mungkin dijadikan tempat tinggal.” (Tafsir Ibnu Abi Zamanain: 1/6).

Kedua: dijadikannya bumi sebagai hamparan dan alas tidak menunjukkan bahwa bumi itu tidak bulat, alias datar.

Al-Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi (wafat tahun 745 H) rahimahullah berkata:

وقد استدل بعض المنجمين بقوله : { جعل لكم الأرض فراشاً } على أن الأرض مبسوطة لا كرية ، وبأنها لو كانت كرية ما استقر ماء البحار فيها. أما استدلاله بالآية فلا حجة له في ذلك ، لأن الآية لا تدل على أن الأرض مسطحة ولا كرية ، إنما دلت على أن الناس يفترشونها كما يتقلبون بالمفارش ، سواء كانت على شكل السطح أو على شكل الكرة ، وأمكن الافتراش فيها لتباعد أقطارها واتساع جرمها.

“Sebagian ahli astronomi berdalil dengan ayat “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu,” untuk menyatakan bahwa bumi itu datar, tidak bulat. Dan juga dengan dalil jika bumi itu bulat maka air laut tidak akan bisa tetap di tempatnya. Adapun berdalil dengan ayat ini, maka tidak ada dalil atasnya, karena ayat ini tidak menunjukkan bahwa bumi itu datar dan juga tidak menunjukkan bahwa bumi itu bulat. Ayat ini hanyalah menunjukkan bahwa manusia menjadikan bumi sebagai alas sebagaimana mereka berbolak-balik di karpet atau tikar, baik itu berbentuk datar ataukah berbentuk bulat. Dan masih mungkin untuk menjadikannya alas dengan alasan karena saling berjauhannya pojok-pojoknya dan begitu luasnya badan bumi.” (Tafsir al-Bahrul Muhith: 1/114).

Demikian pula menurut al-Allamah Abus Su’ud al-Imadi (wafat tahun 982 H) rahimahullah. Beliau berkata:

ومعنى جعلها فراشا جعل بعضها بارزا من الماء مع اقتضاء طبعها الرسوب وجعلها متوسطة بين الصلابة واللين صالحة للقعود عليها والنوم فيها كالبساط المفروش وليس من ضرورة ذلك كونها سطحا حقيقيا فإن كرية شكلها مع عظم جرمها مصححة لافتراشها..الخ

“Makna menjadikan bumi sebagai hamparan adalah menjadikan sebagian bumi terbebas dari air padahal tabiatnya adalah memunculkan endapan, dan menjadikan bumi mempunyai sifat yang pertengahan antara keras dan lunak, sangat cocok untuk duduk dan tidur di atasnya, seperti permadani yang dibentangkan. Dan keadaan ini tidak mengharuskan keadaan bumi itu datar secara hakiki, karena bentuk bumi yang bulat dan disertai ukurannya yang besar menjadikannya sangat cocok untuk dijadikan alas..dst.” (Irsyadul Aqlis Salim ila Mazaya al-Kitabil Karim: 1/61).

Dikira Datar Ternyata..

Kelompok Bumi Datar membawakan banyak ayat yang isinya bahwa Allah ta’ala ‘membentangkan bumi’, dalam ayat lain ‘menghamparkan bumi’meratakan bumi’ dan sebagainya untuk dibawa kepada pemahaman bahwa bumi itu datar.

Sebagai contoh ayat yang mereka bawakan adalah firman Allah ta’ala:

وَالأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنبَتْنَا فِيهَا مِن كُلِّ شَيْءٍ مَّوْزُونٍ

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Hijr: 19).

Juga firman Allah ta’ala:

وَالأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنبَتْنَا فِيهَا مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ

“Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.” (QS. Qaf: 7).

Juga firman Allah ta’ala:

وَالأَرْضَ وَضَعَهَا لِلأَنَامِ

“Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk(Nya).” (QS. Ar-Rahman: 10).

Dan contoh-contoh lainnya masih banyak

Jawaban:

Pertama: ayat-ayat di atas tidak menunjukkan sama sekali atas bumi datar.

Al-Allamah Abul Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari (wafat tahun 538 H) rahimahullah berkata:

فإن قلت : هل فيه دليل على أنّ الأرض مسطحة وليست بكريّة؟ قلت : ليس فيه إلا أن الناس يفترشونها كما يفعلون بالمفارش ، وسواء كانت على شكل السطح ، أو شكر الكرة ، فالافتراش غير مستنكر ولا مدفوع ، لعظم حجمها واتساع جرمها وتباعد أطرافها . وإذا كان متسهلاً في الجبل وهو وتد من أوتاد الأرض ، فهو في الأرض ذات الطول والعرض أسهل .

“Jika kamu bertanya: “Apakah ayat di atas menjadi dalil bahwa bumi itu datar, tidak bulat?” Maka aku jawab: “Tidak ada dalil dari ayat di atas kecuali bahwa bumi itu dijadikan alas oleh manusia sebagaimana manusia menggunakan alas-alas (seperti tikar, pen) yang lainnya, baik itu berbentuk datar ataukah berbentuk bulat. Menjadikan bumi sebagai alas tidaklah diingkari dan tidak pula ditolak, karena begitu besar dan luasnya badan bumi dan berjauhannya pojok-pojoknya. Maka jika kita mudah menjadikan gunung sebagai alas padahal gunung berfungsi sebagai pasak (paku) bumi, maka menjadikan bumi yang sangat lebar dan panjang sebagai alas lebih mudah lagi.” (Al-Kasysyaf: 1/55).

Demikian pula menurut al-Imam Abul Barakat Abdullah bin Ahmad an-Nasafi (wafat tahun 710 H) rahimahullah. Beliau berkata:

وليس فيه دليل على أن الأرض مسطحة أو كرية إذ الافتراش ممكن على التقديرين

“Dalam ayat di atas tidak ada dalil yang menyatakan bahwa bumi itu datar ataukah bulat, karena menjadikan bumi sebagai alas sangat mungkin menurut dua pandangan (antara bumi datar atau bulat, pen).” (Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil: 1/26).

Kedua: justru adanya gunung yang digunakan sebagai pasak untuk menahan gerakan bumi itu menunjukkan bahwa bumi itu bulat.

Al-Allamah al-Qadhi Nashiruddin al-Baidhawi asy-Syafi’i (wafat tahun 685 H) rahimahullah berkata:

وَأَلْقى فِي الْأَرْضِ رَواسِيَ جبالاً رواسي. أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ كراهة أن تميل بكم وتضطرب، وذلك لأن الأرض قبل أن تخلق فيها الجبال كانت كرة خفيفة بسيطة الطبع، وكان من حقها أن تتحرك بالاستدارة كالأفلاك، أو أن تتحرك بأدنى سبب للتحريك فلما خلقت الجبال على وجهها تفاوتت جوانبها وتوجهت الجبال بثقلها نحو المركز فصارت كالأوتاد التي تمنعها عن الحركة.

“Allah menjadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh agar tidak bergerak dan bergetar. Yang demikian karena bumi sebelum diciptakannya gunung itu berupa bola kecil yang permukaannya rata. Dan ia mudah bergerak sebab bentuknya yang bulat seperti Falak atau sebab apapun. Ketika gunung diciptakan di atas permukaan bumi, maka permukaan bumi berkembang meluas dan gunung-gunung semakin menancap karena beratnya menuju pusat bumi, maka gunung ini seperti paku yang menghalangi bumi dari bergerak.” (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil: 3/222).

Memahami Ayat Bumi

Termasuk memahami tanda kekuasaan Allah ta’ala di bumi adalah memahami luasnya bumi sebagai tempat kehidupan manusia dan binatang dan sebagai tempat ketenangan padahal bentuk bumi adalah bulat.

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat tahun 751 H)  rahimahullah berkata:

فقال { وفي الأرض آيات للموقنين * وفي أنفسكم أفلا تبصرون } فآيات الأرض أنواع كثيرة منها خلقها وحدوثها بعد عدمها ….الخ. ومنها سعتها وكبر خلقها ومنها تسطيحها كما قال تعالى { وإلى الأرض كيف سطحت } ولا ينافى ذلك كونها كرية فهي كرة في الحقيقة لها سطح يستقر عليه الحيوان..الخ.

“Maka Allah berfirman: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada diri kalian sendiri. Maka apakah kalian tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 20-21). Maka ayat-ayat bumi itu bermacam-macam. Diantaranya adalah diciptakannya bumi dari tidak ada…dst. Di antara ayat bumi adalah luas dan besarnya bumi, di antaranya juga adalah diratakannya bumi sebagaima firman Allah ta’ala: “Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al-Ghasyiyah: 20). Dan ratanya bumi tidaklah menafikan (baca: menolak, pen) keadaan bumi yang bulat. Maka secara hakekat bumi itu berupa bola yang permukaannya rata sehingga binatang-binatang dapat berdiam di atasnya..dst.” (At-Tibyan fi Aqsamil Quran: 183).

Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan yang sama. Beliau berkata:

واعلم أن تسطيحها لا ينافي أنها كرة مستديرة، قد أحاطت الأفلاك فيها من جميع جوانبها، كما دل على ذلك النقل والعقل والحس والمشاهدة، كما هو مذكور معروف عند أكثر  الناس…الخ.

وأما جسم الأرض الذي هو في غاية الكبر والسعة  ، فيكون كرويًا مسطحًا، ولا يتنافى الأمران، كما يعرف ذلك أرباب الخبرة.

“Ketahuilah bahwa ratanya permukaan bumi tidaklah menafikan (baca: menolak, pen) keadaan bumi sebagai bola yang bulat, yang diliputi oleh Falak dari segala penjurunya sebagaimana ditunjukkan penukilan (al-Quran dan as-Sunnah, pen), akal, panca indera dan persakisan, sebagaimana telah disebutkan dan dikenal menurut kebanyakan manusia..dst.

Adapun badan bumi yang berukuran sangat besar dan luas, maka bumi berbentuk bulat dan rata. Keduanya (yakni: antara rata dan bulat, pen) tidaklah saling meniadakan sebagaimana dikenal oleh orang yang mempunyai ilmu.” (Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan: 922).

Dimanakah Siang ketika Malam Datang?

Isyarat bahwa bumi itu bulat didapatkan dalam jawaban Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap pertanyaan Heraklius, raja Romawi.

Dari Sa’id bin Abi Rasyid rahimahullah:

أنّ هِرَقْل كَتَبَ إلى النبي صلى الله عليه وسلم: إنك دَعَوْتني إلى جنة عَرْضُها السماوات والأرض، فأين النار؟ فقال النبي  صلى الله عليه وسلم: “سُبْحَانَ اللهِ! فأين الليل إذَا جَاءَ النَّهَارُ؟”

“Bahwa raja Heraklius menulis surat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Sesungguhnya Engkau mengajakku kepada surga yang lebarnya adalah langit dan bumi. Maka dimanakah neraka?” Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Subhaanallaah! Kalau begitu dimanakah malam ketika siang datang?” (HR. Ahmad: 15655 dan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya: 7831 (7/209) dari Ya’la bin Murrah radhiyallahu anhu. Ibnu Katsir berkata bahwa hadits gharib dan isnadnya laa ba’sa bih. Lihat al-Bidayah wan Nihayah: 5/19-21. Isnad-nya juga dikuatkan dalam kitab Tanbihul Qari ala Taqwiyati Maa Dha’afahul Albani: 165).

Dari Thariq bin Syihab:

أن عمر أتاه ثلاثة نفر من أهل نجران، فسألوه وعنده أصحابه فقالوا: أرأيت قوله:”وجنة عرضها السموات والأرض”، فأين النار؟ فأحجم الناس، فقال عمر:”أرأيتم إذا جاء الليل، أين يكون النهار؟ وإذا جاء النهار، أين يكون الليل؟” فقالوا: نزعت مثَلها من التوراة.

“Bahwa Umar didatangi oleh tiga orang dari Nashrani Najran. Mereka pun bertanya kepada Umar sedangkan Umar disertai para sahabatnya. Mereka bertanya: “Bagaimana menurutmu dengan firman Allah “surga yang lebarnya langit dan bumi,” maka dimanakah neraka?” Umar menjawab: “Tahukah kalian jika siang datang, maka dimanakah malam?” Maka mereka menyatakan: “Keterangan seperti itu sudah dicabut (yakni: dihilangkan oleh para pendeta, pen) dari kitab Taurat.” (Atsar riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya: 7833 (7/211)).

Al-Hafizh Ibnu Kasir rahimahullah menyatakan:

وهذا يحتمل معنيين:

أحدهما: أن يكون المعنى في ذلك: أنه لا يلزم من عدم مشاهدتنا الليل إذا جاء النهار ألا يكون في مكان، وإن كنا لا نعلمه، وكذلك النار تكون حيث يشاء الله عز وجل، وهذا أظهر كما تقدم في حديث أبي هريرة، عن  البزار.

الثاني: أن يكون المعنى: أن النهار إذا تغشى وجه العالم من هذا الجانب، فإن الليل يكون من الجانب الآخر، فكذلك الجنة في أعلى عليّين فوق السماوات تحت العرش، وعرضها كما قال الله، عز وجل: { كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالأرْضِ } [الحديد:21] والنار في أسفل سافلين. فلا تنافي بين كونها كعرض السماوات والأرض، وبين وجود النار، والله أعلم.

“Hadits di atas mempunyai dua kemungkinan makna:

Pertama: tidaklah mesti jika kita tidak melihat malam ketika datangnya siang bahwa malam itu tidak berada pada suatu tempat. Walaupun kita tidak mengetahuinya. Begitu pula neraka, ia berada di suatu tempat sesuai kehendak Allah ta’ala. Ini yang paling jelas sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu dalam riwayat al-Bazzar.

Kedua: bahwa ketika siang menutupi wajah alam di sisi ini, maka malam akan menutupi pada sisi yang lainnya. Demikian pula surga di Illiyyin yang tertinggi di atas langit di bawah Arsy. Lebarnya adalah seperti firman Allah ta’ala “seperti lebar langit dan bumi,” (QS. Al-Hadid: 21). Dan neraka berada di tempat yang paling bawah. Maka tidak ada saling penafian antara lebarnya surga selebar langit dan bumi dengan adanya neraka. Wallahu a’lam.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/118).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa bumi itu bulat dan isyarat tentang bulatnya bumi itu sudah dihilangkan dari kitab Taurat karena ulah tangan pendeta-pendeta Ahlul Kitab. Wallahu a’lam.

Kisah Raja Dzulqarnain dan Khurafat Ahlul Kitab

Kelompok Bumi Datar berdalil dengan Kisah Raja Dzulqarnain untuk menunjukkan bahwa bumi itu datar. Pada kisah tersebut Raja Dzulqarnain menempuh perjalanan yang jauh untuk mencari tempat terbenamnya matahari dan tempat terbitnya.

Allah ta’ala berfirman:

حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا

“Hingga apabila dia (Raja Dzulqarnain) telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat.” (QS. Al-Kahfi: 86).

Jawaban:

Pertama: kata ‘matahari terbenam dalam laut’ tidak menunjukkan bahwa bumi itu datar, tetapi menunjukkan pandangan mata yang melihat seolah-olah matahari terbenam dalam laut.

Al-Allamah Sirajuddin Abu Hafsh Ibnu Adil al-Hanbali rahimahullah berkata:

ثبت بالدَّليل أنَّ الأرض كرة ، وأنَّ السماء محيطة ، وأنَّ الشمس في الفلك الرابع ، وكيف يعقل دخولها في عينٍ؟ ….الخ، فكيف يعقل دخولها في عين من عيون الأرض؟ وإذا ثبت هذا فنقول : تأويل قوله تعالى : { تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ } من وجوه :

الأول : أنَّ ذا القرنين لما بلغ موضعاً من المغرب ، لم يبق بعدهُ شيءٌ من العماراتِ ، وجد الشَّمس كأنَّها تغربُ في عينٍ مظلمةٍ ، وإن لم يكن كذلك في الحقيقة كما أنَّ راكب البحر يرى الشمس كأنَّها تغيبُ في البحر إذا لم يرَ الشطَّ ، وهي في الحقيقة تغيبُ وراء البحر ..الخ

“Telah tetap dengan dalil bahwa bumi itu berbentuk seperti bola dan bahwa langit itu melingkupi bumi dan bahwa langit berada di falak keempat. Maka bagaimana bisa masuk akal masuknya matahari ke dalam laut yang berlumpur hitam?…dst. Bagaimana mungkin masuknya matahari ke dalam laut dari lautan bumi? Maka jika dalil bahwa bumi itu bulat telah tetap, maka penafsiran ayat “dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam,” dari beberapa segi:

Segi pertama: bahwa Dzulqarnain ketika telah sampai di suatu tempat di barat dan tidak terdapat suatu negeri pun, maka ia mendapatkan matahari seolah-olah terbenam ke dalam laut yang berlumpur hitam. Meskipun hakekatnya tidak demikian sebagaimana seorang yang naik perahu melihat matahari seolah-olah tenggelam dalam laut, ketika ia tidak melihat tepi laut. Dan secara hakekat matahari terbenam di belakang laut tersebut..dst.” (Al-Lubab fi Ulumil Kitab: 11/14).

Begitu pula menurut al-Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir rahimahullah. Beliau berkata:

وقوله: { وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ } أي: رأى الشمس في منظره تغرب في البحر المحيط، وهذا شأن كل من انتهى إلى ساحله، يراها كأنها تغرب فيه، وهي لا تفارق الفلك الرابع الذي هي مثبتة فيه لا تفارقه .

“Firman Allah “dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam,” maksudnya adalah bahwa Raja Dzulqarnain melihat matahari menurut pengelihatannya, terbenam di samudera (yakni: Samudra Atlantik, pen). Ini adalah keadaan orang yang telah sampai di pantai laut lepas. Ia akan melihat matahari terbenam dalam lautan. Padahal matahari tidaklah berpisah dari Falak (garis edar, pen) yang keempat, yang mana matahari berjalan menurut orbit tersebut dan tidak berpisah darinya.” (Tafsir Ibni Katsir: 5/191).

Al-Imam Abu Abdillah al-Qurthubi al-Maliki (wafat tahun 671 H) rahimahullah juga berkata:

المراد أنه انتهى إلى آخر العمارة من جهة المغرب ومن جهة المشرق، فوجدها في رأي العين تغرب في عين حمئة، كما أنا نشاهدها في الارض الملساء كأنها تدخل في الارض..الخ

“Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah bahwa Dzulqarnain telah sampai pada ujung negeri (persemakmuran, pen) di arah timur dan di arah barat. Maka ia melihat matahari menurut pengelihatan mata, tenggelam dalam lautan yang berlumpur hitam, sebagaimana kita menyaksikan matahari di tanah gurun, seolah-olah masuk ke dalam bumi..dst.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran: 11/50).

Penjelasan dari Ibnu Adil, al-Qurthubi dan Ibnu Katsir di atas justru menunjukkan bahwa bentuk bumi itu bulat, bukannya datar.

Oleh karena itu asy-Syaikh Mushthafa al-Adawi hafizhahullah pernah ditanya:

السؤال : يقول تبارك وتعالى في سورة الكهف: {حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ} [الكهف:86] هل هذا يتعارض مع ما وصفه العلماء أن الأرض كروية؟

 الجواب: ليس هناك أي تعارض، واقرأ تفسير الآية فلن تجد أي تعارض.

“Pertanyaan: Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Kahfi: “Hingga apabila dia (Raja Dzulqarnain) telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam,” (QS. Al-Kahfi: 86). Apakah ayat ini bertentangan dengan penjelasan para ulama bahwa bumi itu bulat?”

Jawaban: “Tidak ada pertentangan sama sekali dalam ayat ini. Silahkan kamu baca tafsir ayat ini, maka kamu tidak akan menjumpai pertentangan sama sekali.” (Silsilah at-Tafsir li Mushthofa al-Adawi: 47/19).

Demikian juga menurut asy-Syaikh Athiyyah Muhammad Salim rahimahullah. Beliau berkata:

إذا كان علماء الإسلام يثبتون كروية الأرض ، فماذا يقولون في قوله تعالى? : {أَفَلاَ يَنظُرُونَ إِلَى ?لإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ} ـ إلى قوله ـ {وَإِلَى ?لاٌّرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ}. وجوابهم كجوابهم على قوله تعالى? : {حَتَّى? إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ ?لشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِى عَيْنٍ حَمِئَةٍ}، أي في نظر العين ، لأن الشمس تغرب عن أمة ، وتستمر في الأفق على أمة أخرى ،

“Jika para ulama Islam telah menetapkan bahwa bumi itu bulat, maka bagaimana menurutmu tentang firman Allah: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,” sampai dengan ayat, Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20)?” Maka jawaban para ulama adalah seperti menjawab atas tafsir firman Allah: “Hingga apabila dia (Raja Dzulqarnain) telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam,” (QS. Al-Kahfi: 86). Maksudnya adalah menurut pandangan mata (bahwa bumi itu datar dan matahari tenggelam dalam lautan, pen). Ini karena ketika matahari terbenam di suatu negeri, maka ia belum terbenam di negeri yang lain…dst.” (Titimmah Adhwa’ul Bayan: 2/62).

Kedua: jika dipandang dari sisi Khurafat dan Takhayul, maka ayat ini mendukung Pengikut Aliran Bumi Datar. Oleh karena itu al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengingatkan:

وما يذكره أصحاب القصص والأخبار من أنه سار في الأرض مدّة والشمس تغرب من ورائه فشيء لا حقيقة له. وأكثر ذلك من خرافات أهل الكتاب، واختلاق زنادقتهم وكذبهم

“Kisah yang disebutkan oleh para tukang kisah dan berita bahwa Dzulqarnain berjalan di atas bumi di suatu waktu dan matahari terbenam di sebelah belakangnya, maka itu merupakan sesuatu yang tidak ada hakekatnya. Kebanyakannya diambil dari khurafat (atau takhayul) Ahlul Kitab dan kebohongan yang dibuat-buat oleh orang-orang zindiq mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir: 5/191).

Ibnu Katsir mencontohkan:

عن سعيد بن أبي هلال؛ أن معاوية بن أبي سفيان قال لكعب الأحبار: أنت تقول: إن ذا القرنين كان يربط خيله بالثريا؟ فقال له كعب: إن كنت قلت ذلك، فإن الله تعالى قال: {وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا}.

وهذا الذي أنكره معاوية، رضي الله عنه، على كعب الأحبار هو الصواب ، والحق مع معاوية في الإنكار؛ فإن معاوية كان يقول عن كعب: “إن كنا لنبلو  عليه الكذب” يعني: فيما ينقله، لا أنه كان يتعمد نقل ما ليس في صحيفته ، ولكن الشأن في صحيفته  ، أنها من الإسرائيليات التي غالبها مبدل مصحف محرف مختلق ولا حاجة لنا مع خبر الله ورسول الله [صلى الله عليه وسلم] إلى شيء منها بالكلية، فإنه دخل منها على الناس شر كثير  وفساد عريض. وتأويل كعب قول الله: { وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا } واستشهاده في ذلك على ما يجده في صحيفته من أنه كان يربط خيله بالثريا غير صحيح ولا مطابق؛ فإنه لا سبيل للبشر إلى شيء من ذلك، ولا إلى الترقي  في أسباب السموات.

“Dari Sa’id bin Abi Hilal bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu bertanya kepada Ka’ab al-Ahbar (ulama tabi’in mantan pendeta yahudi, pen): “Apakah kamu yang berpendapat bahwa Raja Dzulqarnain mengikat kudanya dengan bintang Soraya?” Ka’ab menjawab: “Sesungguhnya aku yang menyatakan demikian karena Allah ta’ala menyatakan: “Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu,” (QS. Al-Kahfi: 84).”

Perkara yang diingkari oleh Muawiyah atas Ka’ab itulah yang benar. Kebenaran bersama Muawiyah di dalam mengingkari Ka’ab. Ini karena Muawiyah pernah berkata tentang Ka’ab: “Sesungguhnya kami menguji kedustaan atasnya.” Yakni: di dalam penukilan Ka’ab, bukan karena ia menukil dari luar kitab-kitabnya. Tetapi yang bermasalah adalah kitab-kitabnya. Kitab-kitab tersebut termasuk berita Israiliyat yang kebanyakannya sudah diubah-ubah, ditambah-tambahi dan dikarang-karang. Sehingga kita tidak membutuhkannya sedikit pun jika sudah ada berita dari Allah dan rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam. Yang demikian karena kejelekan yang banyak dan kerusakan yang luas akan memasuki manusia dari sisi berita Israiliyat. Penakwilan Ka’ab terhadap firman Allah “Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu,” dan berdalil dengan keterangan dari kitab-kitabnya bahwa Dzulqarnain mengikat kudanya dengan bintan Soraya, adalah tidak benar dan tidak sesuai, karena tidak ada jalan bagi manusia untuk mencapai itu dan juga tidak ada jalan untuk mencapai tangga-tangga langit.” (Tafsir Ibnu Katsir: 5/190).

Yang benar bahwa jalan untuk mencapai sesuatu adalah ilmu. Ibnu Katsir berkata:

وقوله: { وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا } : قال ابن عباس، ومجاهد، وسعيد بن جبير، وعكرمة، والسدي، وقتادة، والضحاك، وغيرهم: يعني علمًا.

“Firman Allah “Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu,” maka Ibnu Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, as-Suddi, Qatadah, adh-Dhahhak dan lainnya menyatakan bahwa jalan tersebut adalah ilmu.” (Tafsir Ibnu Katsir: 5/190).

Kisah Khurafat Gunung Qaf

Kelompok Bumi Datar juga berhujah dengan adanya Gunung Qaf yang mengitari bumi untuk membela pendapat mereka bahwa bumi itu datar. Padahal keberadaan Gunung Qaf merupakan khurafat atau takhayul Ahlul Kitab yang kemudian diadopsi oleh kaum muslimin.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وقد أكثر كثير من السلف من المفسرين، وكذا طائفة كثيرة من الخلف، من الحكاية عن كتب أهل الكتاب في تفسير القرآن المجيد، وليس بهم احتياج إلى أخبارهم، ولله الحمد والمنة، حتى إن الإمام أبا محمد عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي، رحمه الله، أورد هاهنا أثرا غريبا لا يصح سنده عن ابن عباس فقال:

حدثنا أبي قال: حدثت عن محمد بن إسماعيل المخزومي: حدثنا ليث بن أبي سليم، عن مجاهد، عن ابن عباس قال: خلق الله من وراء هذه الأرض بحرًا محيطًا، ثم خلق من وراء ذلك جبلا يقال له “ق” السماء الدنيا مرفوعة عليه. ثم خلق الله من وراء ذلك الجبل أرضا مثل تلك الأرض سبع مرات. ثم خلق من وراء ذلك بحرا محيطًا بها، ثم خلق من وراء ذلك جبلا يقال له “ق” السماء الثانية مرفوعة عليه، حتى عد سبع أرضين، وسبعة أبحر، وسبعة أجبل، وسبع سموات. قال: وذلك قوله: { وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ } [لقمان: 27]. فإسناد هذا الأثر فيه انقطاع،

“Kebanyakan ahli tafsir dari kalangan as-Salaf, begitu juga banyak kelompok dari al-Khalaf, memperbanyak kisah dari kitab-kitab milik Ahlul Kitab di dalam menafsirkan al-Quran yang mulia ini. Padahal mereka tidaklah membutuhkan kepada cerita-cerita Ahlul Kitab. Segala puji bagi Allah, sampai-sampai al-Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim ar-Razi rahimahullah pun membawakan di sini sebuah atsar yang gharib (aneh) yang mana sanadnya tidak shahih dari Ibnu Abbas. Maka beliau (Ibnu Abi Hatim) berkata: “Telah menceritakan kepadaku, ayahku, ia berkata: Aku diberitahu oleh Muhammad bin Ismail al-Makhzumi: Telah menceritakan kepadaku Laits bin Abi Sulaim dari Mujahid dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata: “Allah menciptakan di belakang bumi ini suatu laut yang luas. Kemudian Allah menciptakan di balik itu sebuah gunung yang diberi nama Gunung Qaf. Langit dunia diangkat darinya, sampai beliau menghitung tujuh bumi, tujuh laut, tujuh gunung dan tujuh langit. Ibnu Abbas berkata: “Itulah tafsir dari ayat “Dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya,” (QS. Luqman: 27). Maka di dalam sanad dari atsar ini terdapat inqitha’ (terputusnya sanad, pen).” (Tafsir Ibnu Katsir: 7/394).

Bumi Bulat dan Arah Kiblat

Kaum Pengikut Bumi Datar menyatakan kalau bumi itu datar, maka kita bisa menghadap ke kiblat. Kemudian jika bumi itu bulat, maka shalat menghadap ke mana?

Jawaban:

Allah ta’ala memerintahkan kita menghadap kiblat dengan menggunakan kata-kata yang tepat yang sesuai dengan keadaan bumi yang bulat. Allah ta’ala berfirman:

وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ

“Dan dimana saja kalian berada, palingkanlah wajah kalian ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144 dan 150).

Kata ‘Syathrahu’ (ke arahnya) pada kedua ayat di atas mempunyai beberapa pembahasan:

Pertama: kata ‘Syathrahu’ menunjukkan bahwa kita tidak harus tepat menghadap Ka’bah, tetapi ke arahnya atau yang mendekati.

Al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah meriwayatkan:

عن أبي العالية:”شَطْرَ المسجد الحَرَام”، يعني: تلقاءه.

“Dari Abul Aliyah bahwa makna “Syathral Masjidil Haram” adalah ke arahnya.” (Tafsir ath-Thabari: 2237 (3/176)).

Beliau juga meriwayatkan:

عن ابن عباس:”شطر المسجد الحرام”، نحوَه.

“Dari Ibnu Abbas bahwa makna “Syathral Masjidil Haram” adalah ke arahnya.” (Tafsir ath-Thabari: 2237 (3/176)).

Beliau juga meriwayatkan:

عن البراء:”فولوا وجُوهكم شَطره” قال، قِبَله.

“Dari al-Bara’ bahwa makna “hadapkan wajah kalian ‘syathrahu’” adalah menghadap ke arahnya.” (Tafsir ath-Thabari: 2245 (3/177)).

Jadi kata-kata ‘nahwahu’, ‘tilqa’ahu’ dan ‘qibalahu’ menunjukkan menghadap ke arah kiblat meskipun ternyata agak melenceng.

Al-Imam Abu Abdillah al-Qurthubi al-Maliki rahimahullah berkata:

لا خلاف بين العلماء أن الكعبة قبلة في كل أفق، وأجمعوا على أن من شاهدها وعاينها فرض عليه استقبالها، وأنه إن ترك استقبالها وهو معاين لها وعالم بجهتها فلا صلاة له، وعليه إعادة كل ما صلى ذكره أبو عمر.

وأجمعوا على أن كل من غاب عنها أن يستقبل ناحيتها وشطرها وتلقاءها، فإن خفيت عليه فعليه أن يستدل على ذلك بكل ما يمكنه من النجوم والرياح والجبال وغير ذلك مما يمكن أن يستدل به على ناحيتها.

“Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa Ka’bah itu kiblat setiap ufuk. Mereka juga ber-ijma’ (konsensus) bahwa orang yang melihat dan menyaksikan Ka’bah, maka wajib baginya untuk menghadap Ka’bah secara langsung. Kalau ia tidak menghadap ke Ka’bah, padahal ia bisa melihat langsung, maka tidak ada shalat baginya. Dan ia wajib mengulang shalatnya. Demikian apa yang disebutkan oleh Abu Umar (Ibnu Abdil Barr, pen).

Para ulama juga bersepakat bahwa semua orang yang tidak bisa melihat langsung Ka’bah (karena jauh, pen) maka cukup menghadap ke arahnya, ke sisinya atau ancer-ancernya (bahasa Jawa) saja. Kalau ia merasa samar atasnya, maka ia wajib mencari petunjuk dengan apapun yang mungkin seperti posisi bintang, angin, gunung dan lainnya dari perkara-perkara yang mungkin untuk dijadikan petunjuk ke arah kiblat.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran: 2/160).

Jadi pada posisi bumi bulat, kita tidak bisa menghadap kiblat secara tepat tetapi mendekati arah kiblat. Wallahu a’lam.

Kedua: selain mempunyai arti ‘arah’ atau ancer-ancer (bahasa Jawa), kata ‘asy-Syathru’ mempunyai konotasi makna ‘jauh’. Dan ini merupakan asal kata ‘asy-Syathru’ yang berarti ‘jauh’.

Al-Allamah Abul Abbas Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi asy-Syafi’i (wafat tahun 770 H) rahimahullah berkata:

و ( شَطَرَتِ ) الدار بعدت ومنزل ( شَطِيرٌ ) بعيد و منه يقال ( شَطَرَ ) فلان على أهله ( يَشْطُرُ ) من باب قتل إذا ترك موافقتهم وأعياهم لؤما وخبثا

“Syathara ad-Dar’ yaitu rumah yang jauh. ‘Manzil Syathir’ yaitu tempat tinggal yang jauh. Dikatakan: “Syathara Fulan ala Ahlihi wa Yasythuru, ketika ia tidak mencocoki keluarganya baik secara akhlak dan buruknya.” (Al-Mishbahul Munir fi Gharib asy-Syarhil Kabir: 1/312).

Dari pemakaian kata ‘asy-Syathru’ -yang bermakna jauh- di dalam bab Kiblat, maka dapat diambil pelajaran bahwa al-Quran memberikan isyarat bahwa kelak Islam akan diikuti oleh seluruh manusia dari penjuru bumi yang jauh. Sehingga mereka ketika shalat menghadap ke arah kiblat dari jarak yang jauh.

Ini berbeda dengan agama lain dan kaum lain sebelum agama al-Islam, kiblat hanya berlaku secara lokal untuk suatu kaum saja. Sehingga Allah ta’ala tidak menggunakan kata “asy-Syathru”.

Allah ta’ala berfirman:

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148).

Al-Allamah Abul Hasan al-Mawardi asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

قوله تعالى : { وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا } يعني ولكل أهل ملة من سائر الملل وجهة هو مولِّيها . وفيه قولان : أحدهما : قبلة يستقبلونها ، وهو قول ابن عباس وعطاء والسدي .والثاني : يعني صلاة يصلونها ، وهو قول قتادة .

“Firman Allah ta’ala “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya,” maksudnya bahwa setiap dari pemeluk agama (millah) dari agama-agama yang ada itu mempunyai arah yang mana mereka menghadap kepadanya. Di dalamnya terdapat dua pendapat; pertama: yang dimaksud adalah kiblat yang mana mereka menghadap kepadanya. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Atha’ dan as-Suddi. Kedua: yang dimaksud adalah shalat yang mereka dirikan. Ini adalah pendapat Qatadah.” (An-Nukat wal Uyun: 1/106).

Ketiga: selain mempunyai makna ‘arah’ dan ’jauh’, kata ‘asy-Syathru’ bisa juga bisa bermakna setengah atau separuh. Al-Allamah Ibnu Manzhur al-Ifriqi rahimahullah berkata:

الشَّطْرُ نِصْفُ الشيء والجمع أَشْطُرٌ وشُطُورٌ وشَطَرْتُه جعلته نصفين… وفي الحديث الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمان…. وشَاطَرَنِي فلانٌ المالَ أَي قاسَمني بالنِّصْفِ… الخ

“Asy-Syathru’ adalah setengah dari sesuatu. Bentuk jamaknya adalah ‘Asythur’ dan ‘Syuthur’. Kalimat “Syathartuhu nishfain” artinya aku menjadikannya dua separuh yang sama….dst. Di dalam al-Hadits: “Kesucian adalah separuh dari keimanan.”…dst. Kalimat “Syatharani Fulan al-Maal” yaitu si Fulan membagikan setengah bagian harta kepadaku…dst. (Lisanul Arab: 4/407).

Sehingga dari penjelasan di atas, kata ‘asy-Syathru’ akan menjadi jawaban bagi orang yang bertanya: “Sampai sejauh mana kaum Muslimin menghadap ke Kiblat dengan arah yang sama?” Maka dijawab: “Sampai sejauh setengah atau separuh lingkaran bola bumi.” Maksudnya bahwa kaum muslimin yang berada di sebelah timur Ka’bah akan menghadap ke barat di dalam shalat mereka sampai dengan jarak setengah bulatan bumi sebelah timur. Lebih dari setengahnya, kaum muslimin harus menghadap ke arah timur ketika shalat, karena mereka sudah berada di sebelah barat Ka’bah.

Sehingga kata ‘asy-Syathru’ di dalam al-Quran yang mempunyai makna ‘arah’, ‘jauh’ dan ‘setengah’ memberikan isyarat bahwa bumi itu bulat. Wallahu a’lam.

Apakah Maksud Pojok atau Tepi Bumi

Kaum Bumi Datar menyatakan bahwa terdapat ayat al-Quran yang menyebutkan tentang pojok atau tepi bumi. Ini menunjukkan bahwa itu datar, karena kalau bulat, maka bumi tidak mempunyai tepi atau pojok.

Allah ta’ala berfirman:

أَوَلَمْ يَرَوْاْ أَنَّا نَأْتِي الأَرْضَ نَنقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi bumi, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?” (QS. Ar-Ra’d: 41).

Jawaban:

Ayat di atas mempunyai beberapa makna:

Pertama: makna pertama adalah berkurangnya negeri dan wilayah orang-orang kafir dan bertambahnya wilayah kaum muslimin.

Al-Allamah Ala’uddin Abul Hasan asy-Syihi yang terkenal dengan al-Khazin (wafat tahun 741 H) rahimahullah berkata:

قال أكثر المفسرين : المراد منه فتح دار الشرك فإن ما زاد في دار الإسلام فقد نقص في دار الشرك والمعنى أو لم يروا أنا نأتي الأرض فنفتحها لمحمد صلى الله عليه وسلم أرضاً بعد أرض حوالى أراضيهم أفلا يعتبرون ، فيتعظون وهذا قول ابن عباس وقتادة وجماعة من المفسرين

“Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas adalah ditaklukkannya negeri kesyirikan, karena jika negara kaum muslimin bertambah maka negeri orang-orang kafir akan berkurang. Maka maknanya adalah “apakah mereka tidak melihat bahwa Kami akan mendatangi bumi mereka lalu Kami menaklukkannya untuk Muhammad shallallahu alaihi wasallam, satu bumi demi satu bumi di sekeliling bumi mereka. Apakah mereka tidak mengambil pelajaran? Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Qatadah dan segolongan ahli tafsir.” (Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil: 4/99).

Maka jika negara kesyirikan berkurang, maka wilayah kaum muslimin akan bertambah. Allah ta’ala berfirman:

وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَارَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ وَأَرْضًا لَّمْ تَطَؤُوهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرًا

“Dan Allah akan mewariskan kepada kalian tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kalian injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 27).

Kedua: di antara makna ayat di atas adalah hancurnya desa orang-orang yang menyimpang sebagai bentuk adzab dari Allah ta’ala.

Al-Imam Abu Abdillah al-Qurthubi al-Maliki rahimahullah berkata:

قيل: المراد به هلاك من هلك من الأمم قبل قريش وهلاك أرضهم بعدهم، والمعنى: أو لم تر قريش هلاك من قبلهم، وخراب أرضهم بعدهم ؟ ! أفلا يخافون أن يحل بهم مثل ذلك، وروي ذلك أيضا عن ابن عباس ومجاهد وابن جريج.

“Ada yang menyatakan bahwa maksud ayat di atas adalah binasanya umat-umat terdahulu sebelum Quraisy dan hancurnya bumi mereka setelahnya. Sehingga makna ayat: apakah orang-orang Quraisy tidak melihat kebinasaan kaum sebelum mereka dan hancurnya bumi mereka setelah itu? Apakah mereka tidak takut jika mereka akan ditimpa seperti kaum sebelum mereka? Ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid dan Ibnu Juraij.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran: 9/334).

Ini seperti firman Allah ta’ala:

وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِن قَرْيَةٍ بَطِرَتْ مَعِيشَتَهَا فَتِلْكَ مَسَاكِنُهُمْ لَمْ تُسْكَن مِّن بَعْدِهِمْ إِلاَّ قَلِيلاً وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ

“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; maka itulah tempat kediaman mereka yang tiada di diami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebagian kecil. Dan Kami adalah Pewaris(nya).” (QS. Al-Qashash: 58).

Ketiga: di antara makna yang lainnya adalah kematian, hilangnya berkah, berkurangnya buah-buahan dan sebagainya.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وقال العوفي عن ابن عباس: نقصان أهلها وبركتها. وقال مجاهد: نقصان الأنفس والثمرات وخراب الأرض. وقال الشعبي: لو كانت الأرض تنقص لضاق عليك حُشُّك، ولكن تنقص الأنفس والثمرات. وكذا قال عِكْرِمة: لو كانت الأرض تنقص لم تجد مكانا تقعد فيه، ولكن هو الموت. وقال ابن عباس في رواية: خرابها بموت فقهائها وعلمائها وأهل الخير منها. وكذا قال مجاهد أيضا: هو موت العلماء.

“Al-Aufi dari Ibnu Abbas berkata: “Yang dimaksud adalah berkurang penduduknya dan keberkahannya.” Mujahid berkata: “Berkurangnya jiwa, buah-buahan dan hancurnya bumi.” Asy-Sya’bi berkata: “Jika bumi itu berkurang, maka gerakmu akan menjadi sempit, akan tetapi yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah berkurangnya jiwa dan buah-buahan.” Demikian juga Ikrimah berkata: “Seandainya bumi itu berkurang, maka kamu tidak akan menemukan tempat untuk duduk, tetapi yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah kematian.” Ibnu Abbas dalam suatu riwayat berkata: “Dan yang dimaksud adalah hancurnya bumi dengan sebab kematian fuqaha’nya, ulamanya dan orang shalihnya.” Demikan juga menurut Mujahid juga: “Maksudnya adalah kematian ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/472).

Keempat: di antara makna ayat di atas adalah bahwa Allah ta’ala akan mengurangi bumi yang dipijak oleh orang-orang kafir dari tepi-tepinya dengan dikuasai oleh kaum muslimin atau dengan cara dihancurkan dan ditenggelamkan sendiri oleh-Nya.

Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata:

والظاهر -والله أعلم- أن المراد بذلك أن أراضي هؤلاء المكذبين جعل الله يفتحها ويجتاحها، ويحل القوارع بأطرافها، تنبيها لهم قبل أن يجتاحهم النقص، ويوقع الله بهم من القوارع ما لا يرده أحد،..الخ.

“Yang jelas –wallahu a’lam- bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah bahwa bumi-bumi mereka yang mendustakan (kebenaran) akan dijadikan oleh Allah ditaklukkan dan dirampas (oleh kaum muslimin, pen), dan muncul bencana-bencana (seperti longsor dan banjir, pen) di tepi-tepi bumi tersebut sebagai peringatan bagi mereka sebelum dikurangi dan sebelum Allah memunculkan berbagai bencana pada mereka dengan sesuatu yang tidak bisa ditolak oleh siapapun..dst.” (Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan: 420).

Pernyataan Lembaga Fatwa Negara Arab Saudi

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ pernah ditanya (pertanyaan ke-4 dari fatwa nomer 9544):

س4 : هل الأرض كروية أو مسطحة ؟

ج 4 : الأرض كروية الكل مسطحة الجزء .

وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

عضو … نائب الرئيس … الرئيس

عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Tanya: “Apakah bumi itu berbentuk bulat ataukah datar?”

Jawab: “Bumi secara keseluruhan berbentuk bulat, dan secara parsial (baca: per daerah, pen) berbentuk datar.

Wabillahit taufiq, washallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wasallam.

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’

Ketua                                      Wakil ketua                             Anggota

Abdul Aziz bin Baz                Abdur Razzaq Afifi                Abdullah bin Ghudayyan

(Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah al-Majmu’ah al-Ula: 26/414).

Antara Dunia Islam dan Dunia Barat

Jauh sebelum orang-orang nasrani di Barat menyatakan bahwa bumi itu bulat, kaum muslimin sudah lebih dahulu mengenal bahwa bumi itu bulat.

Ketika al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bulatnya bumi dalam ucapan beliau:

أن النهار إذا تغشى وجه العالم من هذا الجانب، فإن الليل يكون من الجانب الآخر،

“Sesungguhnya siang jika menutupi wajah bumi di sisi ini, maka malam akan menutupi bumi di sisi yang lainya.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/118).

Maka al-Allamah asy-Syaikh Ahmad Syakir (wafat tahun 1377 H) rahimahullah menyatakan dalam catatan kaki Tafsir Ibnu Katsir:

هذا أحد الدلائل على أن كروية الأرض كانت معروفة عند علماء الإسلام، قبل أن تخطر ببال الإفرنج ومن يشايعهم. ليخزي الله المستهترين بالطعن في علوم الإسلام وعلمائه. جهلا منه وتقليداً.

“Penjelasan Ibnu Katsir ini menjadi salah satu dalil bahwa bulatnya bumi itu sudah dikenal oleh ulama al-Islam sebelum terbersit dalam hati orang-orang Perancis dan semisalnya (yakni: orang barat, pen), agar Allah menghinakan orang-orang yang sibuk mencela ilmu al-Islam dan ulamanya, karena sikap bodoh dan taqlid mereka.” (Umdatut Tafsir Mukhtashar Tafsir Ibni Katsir: 1/415).

Ini karena al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah wafat pada tahun 774 H atau tahun 1373 Masehi. Sedangkan wacana bentuk bumi bundar baru berkembang di Barat pada abad ke-16 Masehi. Adalah Nicoulas Copernicus yang mencetuskannya. Di tengah kekuasaan Gereja yang dominan, Copernicus yang lahir di Polandia melawan arus dengan menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan bola. Sejarah Barat kemudian mengklaim bahwa Copernicus-lah ilmuwan pertama yang menggulirkan teori bumi bulat.

Klaim Barat selama berabad-abad itu akhirnya telah terpatahkan. Sejarah kemudian mencatat bahwa para sarjana Islam-lah yang mencetuskan teori bentuk bumi itu. Para sejarawan bahkan memiliki bukti bahwa Copernicus banyak terpengaruh oleh hasil pemikiran ilmuwan Islam. Para sejarawan  sains sejak tahun 1950-an mengkaji hubungan Copernicus dengan pemikiran ilmuwan Muslim dari abad ke-11 hingga 15 M. (Lihat: https://www.republika.co.id/berita/m1d24q/islam-dan-teori-bumi-bundar).

Bahkan jauh sebelum munculnya Ibnu Katsir telah terjadi kesepakatan kaum muslimin bahwa bumi itu bulat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

السَّمَوَاتُ مُسْتَدِيرَةٌ عِنْدَ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ وَقَدْ حَكَى إجْمَاعَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَئِمَّةِ الْإِسْلَامِ : مِثْلُ أَبِي الْحُسَيْنِ أَحْمَد بْنِ جَعْفَرِ بْنِ الْمُنَادِي أَحَدِ الْأَعْيَانِ الْكِبَارِ مِنْ الطَّبَقَةِ الثَّانِيَةِ مِنْ أَصْحَابِ الْإِمَامِ أَحْمَد وَلَهُ نَحْوُ أَرْبَعِمِائَةِ مُصَنَّفٍ . وَحَكَى الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ بْنُ حَزْمٍ وَأَبُو الْفَرَجِ بْنُ الْجَوْزِيِّ وَرَوَى الْعُلَمَاءُ ذَلِكَ بِالْأَسَانِيدِ الْمَعْرُوفَةِ عَنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَذَكَرُوا ذَلِكَ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَبَسَطُوا الْقَوْلَ فِي ذَلِكَ بِالدَّلَائِلِ السَّمْعِيَّةِ .

“Langit adalah bulat menurut kaum muslimin. Dan banyak ulama kaum muslimin yang menukilkan ijma’nya para ulama dari kalangan para imam seperti Abul Husain Ahmad bin Ja’far bin al-Munadi, salah seorang ulama besar dari thabaqat kedua dari kalangan sahabat al-Imam Ahmad dan beliau mempunyai sekitar 400 tulisan. Ijma’ tentang bulatnya langit juga dinukilkan oleh al-Imam Abu Muhammad bin Hazm dan Abul Faraj Ibnul Jauzi. Para ulama tersebut membawakan riwayat yang bersanad yang dikenal dari kalangan para sahabat dan tabiin. Mereka menyebutkan sandaran tersebut dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya dan membahas secara panjang lebar dengan dalil sam’iyah.” (Al-Majmu’ul Fatawa: 6/586).

Beliau juga menyatakan:

فَمِنْ الْمَعْلُومِ بِاتِّفَاقِ مَنْ يَعْلَمُ هَذَا أَنَّ الْأَفْلَاكَ مُسْتَدِيرَةٌ كُرَوِيَّةُ الشَّكْلِ… لَكِنَّ جِهَةَ الْعُلُوِّ وَالسُّفْلِ لِلْأَفْلَاكِ لَا تَتَغَيَّرُ فَالْمُحِيطُ هُوَ الْعُلُوُّ وَالْمَرْكَزُ هُوَ السُّفْلُ مَعَ أَنَّ وَجْهَ الْأَرْضِ الَّتِي وَضَعَهَا اللَّهُ لِلْأَنَامِ وَأَرْسَاهَا بِالْجِبَالِ هُوَ الَّذِي عَلَيْهِ النَّاسُ وَالْبَهَائِمُ وَالشَّجَرُ وَالنَّبَاتُ وَالْجِبَالُ وَالْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ .

“Sudah diketahui dengan kesepakatan orang-orang yang mengetahui ini bahwa Falak itu bulat seperti bola….dst. Akan tetapi arah atas dan bawah untuk Falak tidak berubah-ubah. Bagian yang melingkupi adalah arah atas dan markaz (pusat bumi) adalah arah bawah dengan keadaan bahwa wajah bumi yang Allah bentangkan untuk makhluknya dan ditancapkan gunung-gunung padanya adalah tempat yang mana manusia, binatang, pohon, tumbuh-tumbuhan, gunung dan sungai yang mengalir terletak di atasnya.” (Al-Majmu’ul Fatawa: 6/565).

Demikian pula penukilan ijma’ (kesepakatan) tentang bulatnya bumi datang dari al-Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm al-Andalusi (wafat tahun 456 H) rahimahullah. Beliau berkata:

وجوابنا وَبِاللَّهِ تَعَالَى التَّوْفِيق إِن أحد من أَئِمَّة الْمُسلمين الْمُسْتَحقّين لاسم الْإِمَامَة بِالْعلمِ رَضِي الله عَنْهُم لم ينكروا تكوير الأَرْض وَلَا يحفظ لأحد مِنْهُم فِي دَفعه كلمة بل الْبَرَاهِين من الْقُرْآن وَالسّنة قد جَاءَت بتكويرها

“Jawaban kami –wabillahit taufiq- bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan ulama kaum muslimin –yang berhak atas keilmuan mereka radhiyallahu anhum- yang mengingkari bulatnya bumi. Dan tidak diketahui adanya penolakan sedikit pun bahwa bumi itu bulat. Bahkan dalil-dalil dari al-Quran dan as-Sunnah datang menerangkan tentang bulatnya bumi..dst.” (Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal: 2/78).

Penukilan ijma’ tentang bulatnya bumi juga datang dari al-Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi al-Hanbali (wafat tahun 597 H) rahimahullah. Beliau berkata:

قال أبو الوفاء بن عقيل: الأرض على هيئة الكرة على تدوير الفلك، موضعه في جوف الفلك كالمحة في جوف البيضة..الخ

“Abul Wafa’ Ibnu Aqil berkata: “Bumi itu bentuknya seperti bola mengikuti bulatnya Falak. Tempatnya di tengah Falak seperti kuning telur di dalam telur..dst.” (Al-Muntazham fi Tarikhil Muluk wal Umam: 1/130).

Dan bahkan jauh sebelum mereka, al-Allamah Muthahhar bin Thahir al-Maqdisi (wafat tahun 355 H) rahimahullah menjelaskan:

وقد اختلف القدماء في هيأة الأرض وشكلها فذكر بعضهم أنها مبسوطة مستوية السطح في أريع جهات والمشرق والمغرب والجنوب والشمال ومن هؤلاء من زعم أنها كهيئة الترس…الخ. والذي يعتمده جماهيرهم أن الأرض مستديرة كالكرة وأن السماء محيطة فيها من كل جانب إحاطة البيضة بالمحة فالصفرة بمنزلة الأرض وبياضها بمنزلة الهواء وجلدها بمنزلة السماء غير أن خلقها ليس فيه استطالة كاستطالة البيضة بل هي مستديرة كاستدارة الكرة المستوية الخرط

“Para ulama terdahulu berbeda pendapat tentang bentuk bumi. Sebagian mereka menyebutkan bahwa bentuk bumi itu datar membentang ke empat arah; timur, barat, selatan dan utara. Di antara mereka ada yang menyangka bahwa bentuknya seperti perisai…dst. Pendapat yang dipegang oleh kebanyakan mereka adalah bahwa bumi itu bulat seperti bola dan bahwa langit itu meliputi bumi dari segala arah seperti putih telur yang meliputi kuning telur. Maka kuning telur diibaratkan seperti bumi, putihnya seperti udara dan kulitnya seperti langit, hanya saja bentuknya tidak lonjong seperti telur, tetapi bulat seperti bola yang permukaannya rata..dst.” (Al-Bad’u wat Tarikh: 76).

Kamus Ilmu Bumi

Kaum muslimin mempunyai kamus besar tentang nama-nama tempat dan negara di muka bumi ini. Kebanyakan para ulama menjadikannya sebagai rujukan ketika mencari nama tempat atau negara yang diisyaratkan dalam al-Quran dan al-Hadits. Kitab tersebut adalah ‘Mujamul Buldan’ karya al-Allamah Syihabuddin Yaqut bin Abdullah al-Hamawi (wafat tahun 626 H) rahimahullah.

Disebutkan dalam kitab Mu’jamul Buldan tentang garis Khatulistiwa:

ويسمى خط الاستواء والاعتدال بسبب تساوي النهار والليل فقط…الخ. وقال غيره خط الاستواء من المشرق إلى المغرب وهو أطول خط في كرة الأرض كما أن منطقة البروج أطول خط في الفلك

“Disebut garis Khatulistiwa dan I’tidal karena persamaan lama siang dan malam saja (di garis tersebut, pe)…dst. Ulama lain menyatakan bahwa garis Khatulistiwa membentang dari timur ke barat dan ia merupakan garis yang paling panjang pada bola bumi, sebagaimana garis Buruj (garis Zodiak, pen) merupakan garis yang terpanjang di Falak.” (Mu’jamul Buldan: 2/378-9).

Berfikir dengan Manhaj Yang Benar

Di antara faedah berpegang pada manhaj Ahlussunnah wal Jamaah adalah seseorang akan mempunyai pemahaman yang mendalam dalam bidang ilmu alam (sains) dan teknologi.

Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْواهُمْ

“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad: 17).

Maka ketika seseorang melakukan kesalahan di dalam memahami dalil –seperti melakukan pentakwilan terhadap ayat dan hadits tentang nama dan sifat Allah ta’ala-, maka ia juga akan mudah melakukan kesalahan di dalam memahami dalil yang berkaitan dengan alam semesta.

Sebagai contohnya adalah ucapan seorang ulama Ahlul Kalam, al-Allamah Abdul Qahir al-Baghdadi rahimahullah –dan beliau adalah seorang yang berakidah Asy’ari tulen- berkata:

وَأَجْمعُوا على وقُوف الارض وسكونها وان حركتها انما تكون بِعَارِض يعرض لَهَا من زَلْزَلَة وَنَحْوهَا خلاف قَول من زعم من الدهرية… وَأَجْمعُوا على أَن الارض متناهية الْأَطْرَاف من الْجِهَات كلهَا وَكَذَلِكَ السَّمَاء متناهية الاقطار من الْجِهَات السِّت خلاف قَول من زعم من الدهرية…الخ.

“Mereka (Ahlussunnah –yang dimaksud adalah kelompok Asy’ariyah-, pen) bersepakat bahwa bumi itu diam dan bahwa gerakannya itu karena ada sesuatu yang berupa gempa dan sebagainya, dalam rangka menyelisihi kelompok yang menyatakan bahwa bumi itu bergerak dari kalangan sekte Dahriyah… Dan mereka juga bersepakat bahwa bumi itu terbatas pojok-pojoknya dari semua arah (yakni: datar, pen). Begitu pula langit juga ada batas pojoknya dari keenam arah, dalam rangka menyelisihi kelompok yang menyatakan bahwa bumi dan langit itu bulat dari kalangan Sekte Dahriyah..dst.” (Al-Farqu bainal Firaq: 318).

Bahkan di antara mereka lebih menyukai khurafat Ahlul Kitab yang dijadikan sebagai doktrin gereja daripada hasil ijtihad ulama kaum muslimin. Sebagai contohnya adalah ucapan al-Imam al-Qurthubi:

والذي عليه المسلمون وأهل الكتاب القول بوقوف الأرض وسكونها ومدها، وأن حركتها إنما تكون في العادة بزلزلة تصيبها.

“Pendapat yang dipegang oleh kaum muslimin dan Ahlul Kitab adalah pendapat yang menyatakan bahwa bumi itu diam dan datar dan bahwa gerakannya itu secara kebiasaan karena gempa yang menimpanya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran: 9/280).

Jawaban:

Penting untuk diketahui bahwa Abdul Qahir al-Baghdadi dan al-Qurthubi termasuk jajaran ulama Ahlul Kalam dari kalangan Asy’ariyah. Mereka lebih mempercayai khurafat Ahlul Kitab bahwa bumi itu datar daripada hasil ijtihad para ulama yang menyatakan bahwa bumi itu bulat.

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengkritik pemikiran mereka:

والطائفة الثانية رأت مقابلة هؤلاء برد كل ما قالوه من حق وباطل وظنوا أن من ضرورة تصديق الرسل رد ما علمه هؤلاء بالعقل الضرورى… وأما الحقائق فكتموها عنهم والذي سلطهم على ذلك جحد هؤلاء لحقهم ومكابرتهم إياهم على ما لايمكن المكابرة عليه مما هو معلوم لهم بالضرورة كمكابرتهم إياهم في كون الأفلاك كروية الشكل والأرض كذلك وأن نور القمر مستفاد من نور الشمس وأن الكسوف القمرى عبارة عن انمحاء ضوء القمر بتوسط الأرض بينه وبين الشمس من حيث انه يقتبس نوره منها والأرض كرة والسماء محيطة بها من الجوانب فإذا وقع القمر في ظل الأرض انقطع عنه نور الشمس كما قدمناه..الخ.

“Kelompok kedua (yakni: Ahlul Kalam, pen) mempunyai pendapat yang berseberangan dengan mereka (yakni: Ahli Filsafat, pen) dengan menolak semua pendapat ahli filsafat baik yang benar ataupun yang batil. Mereka menyangka bahwa termasuk keharusan membenarkan ar-Rasul adalah menolak semua yang diketahui oleh ahli filsafat melalui keharusan akal..dst. Adapun kenyataan fakta (sains, pen), maka mereka (ahlul kalam, pen) menyembunyikannya dari ahli filsafat. Yang mendorong mereka untuk melakukan demikan adalah pengingkaran dan kesombongan mereka terhadap keilmuan ahli filsafat atas sesuatu yang tidak mungkin ditolak yang berupa kanyataan (sains dan alam semesta, pen) seperti penolakan mereka atas fakta bahwa Falak itu berbentuk bulat dan begitu pula bentuk bumi (juga bulat, pen), juga bahwa cahaya bulan itu diperoleh dari cahaya matahari, dan bahwa gerhana bulan adalah matinya cahaya bulan karena dihalangi oleh bumi dari cahaya matahari karena bulan mendapat cahaya dari matahari, dan bahwa bumi itu berbentuk bola dan langit itu meliputinya dari segala arah dan jika bulan masuk ke dalam bayangan bumi, cahaya bulan yang berasal dari matahari akan hilang sebagiaman telah kami jelaskan..dst.” (Miftah Daris Sa’adah: 2/212).

Akhirnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyimpulkan tentang pemahaman Ahlul Kalam tentang alam semesta yang kacau balau. Beliau berkata:

والخطأ فيما تقوله المتفلسفة في الالهيات والنبوات والمعاد والشرائع أعظم من خطأ المتكلمين وأما فيما يقولونه في العلوم الطبيعية والرياضية فقد يكون صواب المتفلسفة أكثر من صواب من رد عليهم من أهل الكلام فإن أكثر كلام أهل الكلام في هذه الأمور بلا علم ولا عقل ولا شرع

“Kesalahan pendapat ahli filsafat dalam masalah ketuhanan, kenabian, hari kiamat dan syariat itu lebih besar daripada kesalahan ahlul kalam. Adapun di dalam masalah ilmu pengetahuan dan sains, maka terkadang kebenaran pendapat ahli filsafat itu lebih banyak daripada kebenaran pendapat ahlul kalam yang membantah mereka. Ini karena kebanyakan pendapat ahlul kalam dalam perkara ini (yakni: sains dan alam semesta, pen) itu tanpa ilmu, tanpa akal dan tanpa syariat.” (Ar-Raddu alal Manthiqiyyin: 311).

Penutup

Menggali fakta alam semesta seperti bulatnya bentuk bumi, perubahan siang dan malam dan sebagainya merupakan seruan dari Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاء مِن مَّاء فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah: 164).’

Al-Allamah Ibnu Arafah al-Maliki rahimahullah berkata:

قوله تعالى : { لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ } . لم يقل : يعلمون ، لأن هذا من باب الاستدلال ( والاستدلال ) مقدمة شرطها العقل وأما العلم نتيجة عن تلك المقدمات فلذلك لم يذكر هنا.

“Firman Allah ta’ala “sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan,” Allah tidak menyatakan “kaum yang mengetahui,” karena ini termasuk dalam Bab Istidlal  (Mencari Dalil atau petunjuk, pen). Istidlal mempunyai syarat pendahuluan yaitu akal. Adapun “ilmu”, maka merupakan hasil (capaian) dari pendahuluan tadi. Oleh karena itu kata ‘ilmu’ tidak disebutkan di sini.” (Tafsir Ibnu Arafah: 207).

Adapun dalam keimanan seperti sifat dan nama-nama Allah ta’ala, maka disebutkan kata ‘ilmu”, bukan “akal”. Allah ta’ala berfirman:

وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (QS. Ali Imran: 7).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ الْوَاقِفُونَ حَيْثُ انْتَهَى عِلْمُهُمْ الْوَاصِفُونَ لِرَبِّهِمْ بِمَا وَصَفَ مِنْ نَفْسِهِ، التَّارِكُونَ لِمَا تَرَكَ مِنْ ذِكْرِهَا لَا يُنْكِرُونَ صِفَةَ مَا سَمَّى مِنْهَا جَحْدًا، وَلَا يَتَكَلَّفُونَ وَصْفَهُ بِمَا لَمْ يُسَمِّ تَعَمُّقًا لِأَنَّ الْحَقَّ تَرَكَ مَا تَرَكَ وَسَمَّى مَا سَمَّى..الخ.

“Orang-orang yang mendalam ilmunya adalah orang-orang yang berhenti pada batas keilmuan mereka. Mereka juga menyifati Rabb mereka dengan sifat-sifat yang mana Allah telah menyifati diri-Nya (dalam al-Quran maupun as-Sunnah, pen). Mereka juga meninggalkan (baca: tidak membahas, pen) apa-apa yang tidak disebutkan oleh-Nya tentang sifat-sifat-Nya. Mereka juga tidak mengingkari sifat-sifat yang telah Allah sebutkan dengan pengingkaran, dan tidak bertakalluf (berdalam-dalam, pen) di dalam menyifati Allah dengan sifat yang belum Allah jelaskan, karena al-Haqq (kebenaran) adalah meninggalkan (tidak membahas, pen) apa yang ditinggalkan (tidak dibahas, pen) oleh Allah dan menamai dengan apa yang Allah namakan diri-Nya dengan nama tersebut…dst.” (Al-Fatawa al-Kubra: 6/418 dan Majmu’ al-Fatawa: 5.46).

Pemahaman di atas akan terjadi berkebalikan dengan pemahaman Ahlul Kalam. Ketika membahas sifat-sifat Allah ta’ala, maka mereka akan memaksakan diri untuk berdalam-dalam di dalam membahasnya sampai muncul pembahasan “Jauhar”, “Jisim” dan sebagainya. Sehingga mereka terjatuh dalam ‘takwil’ (memalingkan makna sifat dari zhahirnya), ‘ta’thil’ (penolakan beberapa sifat Allah) dengan alasan ‘tamtsil’ (menyerupai sifat makhluk). Dan ketika membahas alam semesta seperti bentuk bumi, perbedaan siang dan malam, maka mereka malas bertafakkur dan bertadabbur dengan menggunakan akal mereka. Mereka mencukupkan diri dengan zhahir ayat bahwa bumi itu diratakan yang berarti “datar” atau ikut-ikutan mengikuti khurafat Ahlul Kitab atau doktrin gereja.

رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

2 komentar di “Bumi Bulat dalam Isyarat al-Quran

  1. Alfi 19 Maret 2021 pukul 19.00 Reply

    SEBENARNYA,APAKAH ADA DALIL YANG JELAS TEGAS MENGATAKAN KALAU BONEKA BERBENTUK MAHLUK HIDUP CUMA BOLEH UNTUK ANAK2?

    • budiarso 15 Desember 2021 pukul 08.43 Reply

      Afwan,

      Sampai diburu di pembahasan yg sudah berganti topik…
      Tinggalkan dulu yg meragukan, fokuslah pada ilmu dan amal yg fardhu ain.
      Wallahu a’lam

Tinggalkan komentar